Analisis Unsur Intrinsik Novel Dewi Kawi Karya Arswendo Atmowiloto
Analisis Unsur Intrinsik Novel Dewi Kawi - Setiap wacana dibangun oleh dua unsur utama, yakni unsur yang berhubungan dengan kandungan isi atau pesan yang hendak disampaikan pengarang dan struktur pengucapan atau struktur kebahasaan yang digunakan oleh pangarang (Waluyo, 1994:141).
“Ya, saya pernah mengatakan itu. Bahkan setelah saya menikah pun saya masih sempat bertemu dengan Kawi. Kini saya ingin kamu melacaknya, sampai menemukannya. Kerahkan semua apa yang bisa kamu lakukan.”
“Rasanya tak sulit. Kapan terakhir bertemu?”
“Tiga puluh tahun.... Kamu tahu itu”
“FBI pun bisa kita sewa kalau perlu.”
“Saya ingin mengucapkan terima kasih pada Kawi sesungguhnyalah semua keberhasilan ini karena semangat dan dorongannya. Saya ingin kamu melakukan pencarian seperti melamunkan masa lalu, tanpa suara.”
”Saya mengerti tugas saya, dan akan saya lakukan sendiri.”
(Atmowiloto, 2008:11)
Ada berbagai macam Kawi yang disajikan di dalam novel tersebut. Tetapi, Kawi yang dikehendaki oleh Eling adalah Kawi di masa mudanya dahulu yang tidak pernah menuntut dan selalu mendorong Eling untuk terus maju menuju sukses.
“Kalau kita piknik bersama, tapi tak tidur bersama, juga pertanda cinta, Wi?”
“Ya. Jatuh cinta kan tidak selalu tidur bersama. Kadang ngobrol begini, lihat-lihatan saja, sudah senang. Sebetulnya kamu cemburu sama yang begini ini, Ling. Kalau cemburu sama yang tidur dengan saya, ya percuma. Orangnya banyak, tapi tak pantas dicemburui.”
“Wi, kamu percaya saya bisa membeli hotel itu, bahkan pegunungan ini seluruhnya?”
“Kalau kamu punya duit, pasti bisa. Saya sudah bilang.”
….
“Berarti orang paling top adalah orang yang duitnya banyak sekali.”
“Ya. Dia Cuma kalah sama cinta.”
“Masa?”
“Yaaaa.”
(Atmowiloto , 2008:99-100)
Tak ada pilihan lain, Juragan Eling harus menemui Bu Kidul yang ciri-cirinya sangat mirip dengan Kawi yang dimaksud Juragan Eling meskipun ia tak begitu yakin apakah benar Bu Kidul adalah Kawi yang dikenalnya dulu.
Hari ini Juragan Eling berangkat menuju ke rumah Bu Kidul. Ia mengulangi kalimat sebelumnya, “Rasanya seperti mau menikah.” (Atmowiloto, 2008:105).
Cerita selanjutnya menceritakan tentang kehidupan Juragan Eling sebagai seorang kakek. Akhir cerita Novel Dewi Kawi mengambang/menggantung. Tak diketahui apakah Juragan Eling bertemu denagn Kawi atau tidak. Namun yang pasti Kawi selalu hidup dalam ingatan Eling. timbul pertanyaan yang kini tersemat di dalam hati Eling. Menjadi pentingkah sebuah pertemuan? Apakah pertemuan menjadi jawaban atas kerinduan?
Mungkin inilah esensi kehidupan itu sendiri, dimana menghadirkan kembali ingatan masa lalu ke kehidupan sekarang, menambahkannya dengan berbagai imajinasi seraya merekonstruksi kehidupan itu menjadi kepingan-kepingan baru. Karena kehidupan sekarang berasal dari kehidupan masa lalu, iredan seperti permainan solitaire.
Terus menerus bisa mengocok, mencocokkan, mengatur, membuyarkan di tengah jalan, mengocok lagi, bermain lagi. Setiap kocokan adalah peristiwa (Atmowiloto, 2008:129).
Sebagaimana dinyatakan Budidarma (l982) dalam makalah Heri Suwignyo, kehebatan seorang pengarang adalah kemampuannya menceritakan sesuatu yang tidak ada ceritanya. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa Arswendo Atmowiloto menceritakan sebuah cerita yang telah tersusun matang mulai dari preposisi, konflik, hingga klimaks, namun tidak ada tahap resolusinya yang berujung dengan menggantungnya cerita yang ditulisnya.
Rujukan
Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.
Atmowiloto, Arswendo. 2008. Dewi Kawi. Jakarta: Gramedia.
Suwignyo, Heri. Tanpa tahun. Rekaman Suasana Batin Cerita dalam Konflik dan KejiwaanTokoh “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” Karya Umar Kayam.
Waluyo, Herman. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Solo: Sebelas Maret University Press.
Dalam hal tersebut unsur-unsur cerita yang dimaksudkan yaitu unsur dari dalam (intrinsik) atau unsur dari luar (ekstrinsik). Unsur-unsur intrinsik dapat dipilah menjadi: tema cerita, alur cerita (plot), penokohan dan perwatakan, setting (tempat, waktu, suasana), gaya bahasa, sudut pandang pengarang, dan amanat.Berdasarkan paparan tersebut, dalam tulisan ini akan dianalisis salah satu unsur intrinsik yaitu alur cerita (plot).
Analisis Alur Cerita Novel Dewi Kawi
Menurut Aminuddin (20011:83) alur merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oeh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin satu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur dalam hal ini sama dengan istilah plot atau struktur cerita.
Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa terbentuk dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam. Waluyo (1994:145) juga menyebutkan bahwa alur cerita sering kali disebut kerangka cerita atau plot yang merupakan bagian yang penting dari cerita rekaan.Dewi Kawi merupakan novel yang menceritakan tentang seseorang bernama Eling yang mencari cinta lamanya ketika muda bernama Kawi.
Kawi merupakan seorang wanita tuna susila yang sanggup mendorong dan mengubah hidup Eling dari kehidupannya yang serba sengsara menjadi kehidupan yang layak dan sukses. Kenangan-kenangan bersama Kawi selalu teringat di benak Eling. Ia berniat untuk mencari Kawi, wanita tuna susila yang dulunya pernah memberinya dorongan dan semangat.
Eling hanya ingin memberikan ucapan terimakasih pada Kawi yang dianggapnya telah membuat hidup Eling berubah. Merasa kesuksesannya berkat bantuan Kawi, sebagai rasa hormatnya ia memanggilnya dengan sebutan “Dewi Kawi”.
Dibantu adiknya yang bernama Joko Waspodo (Podo), pencarian terhadap Dewi Kawi pun dilakukan. Namun, jejaknya tak dapat ditemukan. Karena unsur intrinsik yang sangat menonjol dari novel tersebut adalah unsur alur cerita (plot), maka dalam tulisan ini akan menganalisis novel tersebut dengan melakukan analisis unsur alur ceritanya.Analisis dan Interpretasi
Interpretasi Novel Dewi Kawi
Novel Dewi Kawi dibuka oleh narasi pengarang untuk memperkenalkan tokoh utama sebagai berikut:
Masyarakat luas mengenal “juragan gede” Eling dengan dua kata: sukses, dan aneh. Rekan bisnisnya menilainya sebagai tokoh usahawan yang jenius dank eras kepala. Bagi karyawan-karyawati yang jumlahnya mencapai ratusan ribu, komentarnya sama, ditambah hatinya baik: kami bangga bekerja pada Juragan Eling. “Sebaik hati orangtua pada anak-anaknya, seakrab sahabat, itulah Juragan Eling.” (Atmowiloto, 2008:5).
Penghadiran tokoh-tokoh dalam novel Dewi Kawi memperkuat alur cerita dalam novel tersebut yang terkesan lompat-lompat. Teknik penamaan yang disajikan oleh Arswendo dalam menggarap novel tersebut dapat menggambarkan karakter dan memberi kekuatan pada ceritanya. Dalam kutipan tersebut dijelaskan keadaan juragan Eling yang sukses.
Suatu hari juragan Eling berbicara khusus pada adiknya, Podo. Disinilah mulai timbul permasalahan awal.
“Saya merasa semua sukses ini karena kenangan masa kecil kita. Ketika kita bahkan untuk masak sayur kol saja tak mampu.
“Kamu pasti masih ingat semasa remaja ada wanita tuna susila....”
“Kawi...”
Masyarakat luas mengenal “juragan gede” Eling dengan dua kata: sukses, dan aneh. Rekan bisnisnya menilainya sebagai tokoh usahawan yang jenius dank eras kepala. Bagi karyawan-karyawati yang jumlahnya mencapai ratusan ribu, komentarnya sama, ditambah hatinya baik: kami bangga bekerja pada Juragan Eling. “Sebaik hati orangtua pada anak-anaknya, seakrab sahabat, itulah Juragan Eling.” (Atmowiloto, 2008:5).
Penghadiran tokoh-tokoh dalam novel Dewi Kawi memperkuat alur cerita dalam novel tersebut yang terkesan lompat-lompat. Teknik penamaan yang disajikan oleh Arswendo dalam menggarap novel tersebut dapat menggambarkan karakter dan memberi kekuatan pada ceritanya. Dalam kutipan tersebut dijelaskan keadaan juragan Eling yang sukses.
Suatu hari juragan Eling berbicara khusus pada adiknya, Podo. Disinilah mulai timbul permasalahan awal.
“Saya merasa semua sukses ini karena kenangan masa kecil kita. Ketika kita bahkan untuk masak sayur kol saja tak mampu.
“Kamu pasti masih ingat semasa remaja ada wanita tuna susila....”
“Kawi...”
“Ya, saya pernah mengatakan itu. Bahkan setelah saya menikah pun saya masih sempat bertemu dengan Kawi. Kini saya ingin kamu melacaknya, sampai menemukannya. Kerahkan semua apa yang bisa kamu lakukan.”
“Rasanya tak sulit. Kapan terakhir bertemu?”
“Tiga puluh tahun.... Kamu tahu itu”
“FBI pun bisa kita sewa kalau perlu.”
“Saya ingin mengucapkan terima kasih pada Kawi sesungguhnyalah semua keberhasilan ini karena semangat dan dorongannya. Saya ingin kamu melakukan pencarian seperti melamunkan masa lalu, tanpa suara.”
”Saya mengerti tugas saya, dan akan saya lakukan sendiri.”
(Atmowiloto, 2008:11)
Ada berbagai macam Kawi yang disajikan di dalam novel tersebut. Tetapi, Kawi yang dikehendaki oleh Eling adalah Kawi di masa mudanya dahulu yang tidak pernah menuntut dan selalu mendorong Eling untuk terus maju menuju sukses.
Penggambaran sosok Kawi yang bekerja sebagai wanita tuna susila di suatu tempat prostitusi namun tetap dapat mengajak orang lain untuk hidup lebih baik lagi menunjukkan ketegaran seorang wanita dalam menghadapi permasalahan ekonominya.
Namun tak begitu mudah. Setelah mencocokan dengan segala data yang ada, terjaring lima nama Kawi. Usianya sekitar 50 sampai 60 tahun. (Atmowiloto, 2008:15).
Dari sekian banyak Kawi yang ditemukan, ada seorang tokoh yang sangat mirip dengan Kawi yang dimaksud juragan Eling. Wanita itu bernama Bu Kidul. Namun, semua diluar dugaan, konflik mulai memuncak ketika Podo yang selama ini sangat hati-hati dan gigih mencari Kawi yang dimaksudkan sang kakak meninggal dunia.
Podo, sepertinya tak tahan. Penyakit kulitnya sembuh, kencing-kencingnya berhenti. Bersamaan dengan detak jantungnya. Serangan sekali, dan Podotak tertolong lagi.
Podo meninggal sebelum tahu persis apakah Bu Kidul adalah Kawi yang dicari atau bukan. (Atmowiloto, 2008:40).
Setelah kematian Podo banyak hal terjadi mulai dari pernikahan Lili, Putri Podo dan juragan Eling meluncurkan berbagai macam produk pangan maupun non pangan berlogokan Kawi. Juragan Eling tidak dapat penemukan wanita bernama Kawi yang ia maksudkan Eling merasa ragu kalau misalkan ada pertemuan, malah membuat Kawi merasa sesuatu yang salah, atau kalah, atau rendah.
Namun tak begitu mudah. Setelah mencocokan dengan segala data yang ada, terjaring lima nama Kawi. Usianya sekitar 50 sampai 60 tahun. (Atmowiloto, 2008:15).
Dari sekian banyak Kawi yang ditemukan, ada seorang tokoh yang sangat mirip dengan Kawi yang dimaksud juragan Eling. Wanita itu bernama Bu Kidul. Namun, semua diluar dugaan, konflik mulai memuncak ketika Podo yang selama ini sangat hati-hati dan gigih mencari Kawi yang dimaksudkan sang kakak meninggal dunia.
Podo, sepertinya tak tahan. Penyakit kulitnya sembuh, kencing-kencingnya berhenti. Bersamaan dengan detak jantungnya. Serangan sekali, dan Podotak tertolong lagi.
Podo meninggal sebelum tahu persis apakah Bu Kidul adalah Kawi yang dicari atau bukan. (Atmowiloto, 2008:40).
Setelah kematian Podo banyak hal terjadi mulai dari pernikahan Lili, Putri Podo dan juragan Eling meluncurkan berbagai macam produk pangan maupun non pangan berlogokan Kawi. Juragan Eling tidak dapat penemukan wanita bernama Kawi yang ia maksudkan Eling merasa ragu kalau misalkan ada pertemuan, malah membuat Kawi merasa sesuatu yang salah, atau kalah, atau rendah.
Ia ragu karna sebenarnya ia hanya ingin mengatakan bahwa ia pernah mencintai, pernah beercinta dengan Kawi dan ingatan itu ternyata masih bisa ada dan membuatnya bahagia. Cerita kemudian kembali kemasa lalu ketika Juragan Eling bertemu dengan Kawi dan menghabiskan waktu bersama Kawi.
Kawi dan Eling berada di samping rumah. Rumah kompleks pelacuran. Mungkin siang, atau sore – saat gerimis dan banyak awan susah dibedakan.
“Ling-ling, kalau kamu mau terus-menerus tidur hanya dengan saya, ya kita harus kawin.”
“Itulah yang saya pikirkan. Saya perlu waktu untuk menyiapkan diri.”
“Tak perlu disiapkan. Kita memanggil naib. Cukup satu. Lalu kita dinikahkan dan saya punya alas an keluar dari kompleks ini.” (Atmowiloto, 2008:83).
Gerimis memang turun, kadang berhenti.
“Cinta itu aneh. Kalau ada hal-hal yang dilakukan dengan aneh, itu baru namanya cinta. Kalau biasa-biasa itu bukan cinta.”
“Contohnya sekarang ini, Wi. Harusnya kamu menerima tamu, dapat duit, tapi kemari.”
“Ya, dan saya tak menyesali.”
Kawi dan Eling berada di samping rumah. Rumah kompleks pelacuran. Mungkin siang, atau sore – saat gerimis dan banyak awan susah dibedakan.
“Ling-ling, kalau kamu mau terus-menerus tidur hanya dengan saya, ya kita harus kawin.”
“Itulah yang saya pikirkan. Saya perlu waktu untuk menyiapkan diri.”
“Tak perlu disiapkan. Kita memanggil naib. Cukup satu. Lalu kita dinikahkan dan saya punya alas an keluar dari kompleks ini.” (Atmowiloto, 2008:83).
Gerimis memang turun, kadang berhenti.
“Cinta itu aneh. Kalau ada hal-hal yang dilakukan dengan aneh, itu baru namanya cinta. Kalau biasa-biasa itu bukan cinta.”
“Contohnya sekarang ini, Wi. Harusnya kamu menerima tamu, dapat duit, tapi kemari.”
“Ya, dan saya tak menyesali.”
“Kalau kita piknik bersama, tapi tak tidur bersama, juga pertanda cinta, Wi?”
“Ya. Jatuh cinta kan tidak selalu tidur bersama. Kadang ngobrol begini, lihat-lihatan saja, sudah senang. Sebetulnya kamu cemburu sama yang begini ini, Ling. Kalau cemburu sama yang tidur dengan saya, ya percuma. Orangnya banyak, tapi tak pantas dicemburui.”
“Wi, kamu percaya saya bisa membeli hotel itu, bahkan pegunungan ini seluruhnya?”
“Kalau kamu punya duit, pasti bisa. Saya sudah bilang.”
….
“Berarti orang paling top adalah orang yang duitnya banyak sekali.”
“Ya. Dia Cuma kalah sama cinta.”
“Masa?”
“Yaaaa.”
(Atmowiloto , 2008:99-100)
Tak ada pilihan lain, Juragan Eling harus menemui Bu Kidul yang ciri-cirinya sangat mirip dengan Kawi yang dimaksud Juragan Eling meskipun ia tak begitu yakin apakah benar Bu Kidul adalah Kawi yang dikenalnya dulu.
Hari ini Juragan Eling berangkat menuju ke rumah Bu Kidul. Ia mengulangi kalimat sebelumnya, “Rasanya seperti mau menikah.” (Atmowiloto, 2008:105).
Cerita selanjutnya menceritakan tentang kehidupan Juragan Eling sebagai seorang kakek. Akhir cerita Novel Dewi Kawi mengambang/menggantung. Tak diketahui apakah Juragan Eling bertemu denagn Kawi atau tidak. Namun yang pasti Kawi selalu hidup dalam ingatan Eling. timbul pertanyaan yang kini tersemat di dalam hati Eling. Menjadi pentingkah sebuah pertemuan? Apakah pertemuan menjadi jawaban atas kerinduan?
Mungkin inilah esensi kehidupan itu sendiri, dimana menghadirkan kembali ingatan masa lalu ke kehidupan sekarang, menambahkannya dengan berbagai imajinasi seraya merekonstruksi kehidupan itu menjadi kepingan-kepingan baru. Karena kehidupan sekarang berasal dari kehidupan masa lalu, iredan seperti permainan solitaire.
Terus menerus bisa mengocok, mencocokkan, mengatur, membuyarkan di tengah jalan, mengocok lagi, bermain lagi. Setiap kocokan adalah peristiwa (Atmowiloto, 2008:129).
Kesimpulan Analisis Unsur Intrinsik Novel Dewi Kawi
Struktur novel ini secara keseluruhan adalah bagaimana pengarang mampu membuat serpihan-serpihan peristiwa yang ada menyatu dengan alur sehingga sangat memperkuat jaln cerita, sedangkan kelemahan dari novel ini adalah akhir cerita yang mengambang. Hal tersebut dapat dilihat dari dua sudut pertama karena memang segala sesuatu dalam hidup itu tidak semuanya dapat kita miliki atau yang kedua, pengarang sengaja menggantungkannya.Sebagaimana dinyatakan Budidarma (l982) dalam makalah Heri Suwignyo, kehebatan seorang pengarang adalah kemampuannya menceritakan sesuatu yang tidak ada ceritanya. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa Arswendo Atmowiloto menceritakan sebuah cerita yang telah tersusun matang mulai dari preposisi, konflik, hingga klimaks, namun tidak ada tahap resolusinya yang berujung dengan menggantungnya cerita yang ditulisnya.
Rujukan
Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.
Atmowiloto, Arswendo. 2008. Dewi Kawi. Jakarta: Gramedia.
Suwignyo, Heri. Tanpa tahun. Rekaman Suasana Batin Cerita dalam Konflik dan KejiwaanTokoh “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan” Karya Umar Kayam.
Waluyo, Herman. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Solo: Sebelas Maret University Press.
Post a Comment for "Analisis Unsur Intrinsik Novel Dewi Kawi Karya Arswendo Atmowiloto"