Aufklarung, Rasionalitas, Dan Restorasi
Awalnya, pintu masuk menuju fase baru kehidupan manusia baru dibuka pada awal abad ke-5 yang diitandai dengan terjadinya krisis monumental yang menggiring umat manusia pada zaman itu guna mencari sebuah semangat pencerahan. Pencarian sebuah semangat pencerahan yang terjadi pada masa itu memberikan peluang untuk melakukan demitologisasi terhadap sebuah realitas dan sekaligus membawa manusia ke dalamnya. Pencerahan ini membuat manusia mampu menjelajah realitas secara bebas dengan cara yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Hal ini merupakan suatu bentuk pemberontakan manusia terhadap Tuhan sebagai penguasa alam. Manusia haruslah berani berpikir sendiri! Semboyan ini berdengung keras pada abad 18. Dalam sejarah dunia barat periode ini dikenal sebagai zaman Aufklarung, zaman ketika manusia begitu memuja-muja rasionalitas akalnya. Manusia menjadikan Aufklarung sebagai sebuah pencerahan yang mereka pernah cari jauh berabad-abad sebelumnya.
Kemunculan Aufklarung: Pendewaan Rasionalitas
Peristiwa
tersebut boleh jadi dikatakan sebagai masa becerainya sastra dengan agama. Ironis sekali, karena satu abad sebelum fenomena Aufklarung muncul ,sastra dan
agama telah melakukan perdamaian. Sastra memandang agama bukan lagi kompetitor
di bidang kebenaran oleh filsafat dan justru sastra seringkali membantu manusia
memahami kebenaran dalam agama. Kedua aspek fundamental manusia ini sama-sama
mengandaikan sebuah rasionalitas yang sama. Namun, karena hal itu juga yang
menyebabkan timbulnya perselisihan baru antara agama dan sastra. Tak hanya itu, manusia dan budaya seakan berjalan seiring tapi tanpa bertatap muka. Sebab,
pengandaian tersebut didasarkan pada otoritas yang berbeda, agama berdasarkan
wahyu atau lumen supra naturale,
sedangkan sastra berdasarkan akal budi atau lumen naturale. Kebuntuan dalam
mencari sebuah titik temu inilah yang kelak mendasari lahirnya ideologi
neo-modern, yaitu ideologi agnostikisme.
Tuhan hanya bisa geleng-geleng kepala.
Berabad-abad
kemudian, di Indonesia zaman setelah
pemberontakan PKI telah berlalu, Indonesia ternyata masih belum bisa lepas
sepenuhnya dari trauma hebat dari masa lalu. Sastrawan tidak juga berani
menampilkan sebuah karya sastra yang murni dari sebuah pemikiran idealis
mereka. Pada zaman itu, mereka berhitung-hitung untung ruginya bila menciptakan
sebuah karya sastra. Semua pencipta karya sastra mulai dari penulis novel,
puisi, drama hingga pelaku drama seolah-olah hanya menjadi domba-domba yang
digiring menuju kandang oleh penggembala. Pemerintah sebagai penggembala juga
tidak tegas dalam menanggapi situasi kegentingan yang tercipta berkat
ketidakbecusan sendiri. Alhasil sastra dan satrawan masa itu harus gigit jari
dan mati kutu.
Sentimen
terhadap PKI yang belum dapat dihilangkan ternyata berimbas terhadap
produktivitas sastrawan. Tidak ada namanya mati karena cinta, begitu pula mati
hanya untuk sastra. Tidak satupun orang yang berani melanggar rambu-rambu jalan
yang diciptkan oleh masyarakat yang tengah begitu sensitif. Masyarakat yang
mayoritas adalah umat islam masih dilanda perasaan dendam terhadap perlakuan
PKI di masa lalu. Karenanya, tidak ada tebang pilih dalam menumpas idelologi
komunis, segala sesuatu yang berbau komunis harus tidur di bawah tanah,
termasuk pencipta tulisan dan karya romansa sosialis komunis. Alhasil situasi
yang demikian hanya akan membuat stagnansi dalam perkembangan karya sastra
Indonesia. Tuhan sekarang mengerutkan dahinya.
Era Restorasi Sastra dan Budaya
Tonggak
kekuasaan sudah beralih dari presiden pertama ke presiden yang kedua. Pasca
peristiwa heboh sastra yang mengguncang seluruh masyarakat indonesia,
kesusatraan Indonesia tampaknya mengalami kemajuan. Kreativitas sama sekali
tidak dibatasi asal nama pemerintah tidak disebut dan disalah-salahkan. Tidak
ada pilihan lain selain mengiyakan kalau tidak konsekuensinya adalah rutan
Salemba. Kelompok-kelompok kritis yang menyuarakan aspirasi lewat sastra hanya
sebatas dalam komunitas kecil. Dimulai sejak zaman inilah, dikenal sebuah
istilah yaitu sastra kampus. Rupanya, gejolak jiwa muda para mahasiswa pada
masa itu tidak mau begitu saja menerima penghakiman dari orang-orang yang
berkuasa. Pelaku sastra dalam lingkup kampus akhirnya getol dalam menyuarakan kritikannya. Mereka dengan gagah berani
menghujat, mengkritik dan tidak sependapat dengan kebijakan-kebijakan cendana
yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat Indonesia. Merekalah
komunitas pertama sebelum KPK ada, yang berani menguak kasus-kasus tindak
penyalahgunaan wewenang yang berujung pada kasus korupsi walaupun akhirnya
harus berakhir di kursi pesakitan. Kiranya, diantara mereka pasti berpikir Indonesia belum merdeka terjajah korupsi. Paling tidak semangat untuk menegakkan
keadilan melalui karya-karya sastra itulah yang patut diapresiasi dan dikembangkan.
Tuhan sekarang sedang berpikir.
Waktu berrgulir
dengan cepat menuju peraduannya, reformasi telah membuat dunia sastra kembali
bergairah, menemukan kembali semangat yang sempat hilang dan atau dibatasi oleh
pihak-pihak yang berkepentingan. Indikasinya jelas, banyak sekali ragam karya
sastra yang tercipta pada masa reformasi. Restorasi sastra dalam berbagai
bentuk, hingga genre telah membawa
cakrawala pemikiran manusia menuju tingkatan yang lebih tinggi. Keinginan untuk
terus mengeksplorasi segala sesuatu ciptaan Tuhan dijadikan dasar keinginan
untuk dapat terus berkarya. Rasa ingin tahu yang dulu terbelenggu oleh tirani
yang menggelar selambu kelam pada setiap aktivitas penciptaan sebuah karya
sastra, sekarang sudah mulai terurai.
Novel religius,
drama absurd hingga puisi-puisi satir kritis merupakan hal-hal yang dulunya
mewah dan sekarang bebas diperjualkan. Kesempatan yang seluas-luasnya inilah
adalah sesuatu yang bisa digunakan untuk memberotak kepada Tuhan. Karena
bersastra merupakan sebuah pencerahan yang dapat menggiring kita untuk
menemukan Tuhan.
baru tau nih , ada nama-nama seperti itu . bagus gan nambah pengetahuan ...
ReplyDeletehihhi infonya bagus, kalimatnya mengalir enak dibaca..jadi penasaran terus..
ReplyDeleteterimakasih gan infonya