Hubungan Bahasa dan Jenis Kelamin
Ragam Bahasa dan Jenis Kelamin
Sosiolinguistik merupakana salah satu cabang ilmu linguistik yang berfokus pada penggunaan bahasa pada masyarakat secara luas. Pada kesempatan sebelumnya, Artikel Kami sudah membahas tentang hakikat sosiolinguistik serta hubungan bahasa dan etnik. Kali ini, fokus dari artikel kali ini adalah tentang hubungan bahasa dan jenis kelamin.
Ragam bahasa selain dipengaruhi
oleh kelas sosial dan kelompok etnik, ternyata juga dipengaruhi jenis kelamin. Hal
ini senada dengan pendapat Mulyana
(2007:314) yang
menyatakan bahwa wanita dan pria mempunyai kosakata berlainan. Wanita cenderung
hiperkorek, oleh karena itu wanita jarang digunakan peneliti untuk dijadikan
sebagai informan. Wanita dianggap mengaburkan situasi sebenarnya, sehingga
wanita disebut sebagai warga negara kelas dua. Hal itulah yang melatarbelakangi
munculnya gerakan emansipasi wanita. Mereka ingin kedudukannya sederajat dengan
kaum pria sehingga mereka menggunakan bahasa baku untuk meningkatkan dirinya.
Komunikasi wanita dtiandai dengan kesederajatan, yakni untuk mencapai kesamaan
pengalaman (Mulyana,
2007:316). Bahasa
baku dipilih karena dianggap berkualitas, berstatus, dan kompeten. Berbeda
dengan kaum pria yang memang menggunakan ragam baku, taat asas (bahasa), dan
menggunakan bahasa asli. Pada dasarnya perbedaan wanita dengan pria tidak
langsung menyangkut bahasa dan struktur, tetapi pada gestur, ekspresi wajah,
suara dan intonasi, serta fonem.
Ragam
bahasa wanita dan pria dapat dilihat dari beberapa aspek berikut. (1) Adanya
prestise tersembunyi yang merupakan bagian dari sikap pria selain cenderung
merendah (bahasa) dan tidak peduli terhadap tutur. (2) Adanya teori tabu yang
menyangkut roh ghaib, tata krama, dan pergaulan sosial yang menyebabakan bahasa
pria dan wanita berbeda. (3) Adanya teori sistem kekerabatan yang mengakibatkan
perbedaan kosakata akibat kekerabatan dan jenis kelamin. (4) Adanya
kecenderungan pria menggunakan bahasa inovatif akibat pengaruh tingkat
pendidikan dan wanita konservatif di lingkungan regional. Sedangka di
lingkungan nasional wanita cenderung inovatif, sehingga wanita disebut sebagia
pelopor perubahan. Adanya kontroversi terhadap sikap bahasa tersebut wanita
bersifat androgini. (5) Sikap sosial dan kejantanan, maksudnya ialah wanita
cenderung mendekati bentuk baku sehingga logat prestisenya tinggi. Sedangkan
pria yang merupakan kelas pekerja dan ada hubungannya dengan kejantanan,
menggunakan ragam non baku. (6) Adanya kasus Hindia Barat, menyebabkan wanita
dan pria mempunyai kosa kata khusus. Hal ini akibat dari percampuran bahasa
Karibia dan Arawak.
Bahasa waria dan gay ternyata juga dapat
menjadi ragam bahasa tersendiri. Hal ini senada dengan pendapat Emka (2005:197) yang menyatakan bahwa dikalangan
waria dan gay ternyata juga terdapat bahasa sendiri meski tidak menjadikannya
sebagai bahasa wajib, minimal menjadi ciri tersendiri. Pada umumnya bahasa
waria dan gay dibedakan menjadi 2, yaitu (B) penciptaan istilah baru dan (A)
berdasarkan kaidah perubahan bunyi. Unsur (A) dibedakan atas (A1) berdasarkan
bahasa Jawa dan (A2) berdasarkan kata bahasa Indonesia. Unsur (A2) masih
dibedakan lagi menjadi (A2a) kata berakhiran –ong dan (A2b) kata berakhiran –s.
Akhiran –ong yang disisipkan
diakhir kata menjadi semacam kamus umum, contoh laki-laki menjadi lekong dan perawan menjadi prewong (Emka, 2005:198). Kaum waria cenderung menggunakan
unsur (A1) dan gay cenderung menggunakan unsur (A1) dan (A2).
Daftar Pustaka
Post a Comment for "Hubungan Bahasa dan Jenis Kelamin"