Kumpulan Cerpen Terbaru : Anak Panah Pembawa Bencana
Sumantri tak sanggup
menahan rasa sedihnya tatkala didapatinya raga adiknya hampir terbujur kaku di depan matanya
kini. Sosok buruk rupa itu kini sekarat
dan ditangisi sejadi-jadinya hingga mungkin akan terdengar hingga ujung negeri.
Aku tak menyangka sama sekali Sumantri yang seorang patih agung pada akhirnya secara
tidak sengaja mengambil nyawa adiknya dengan
cara seperti ini. Sepasang adik-kakak yang telah lama kukenal sejak kecil dulu
kini hanya tinggal kenangan. Walaupun, sebenarnya aku bukan orang yang
benar-benar menyukai mereka, tetapi pemandangan yang kulihat sekarang ini
sungguhlah ironis. Betapa Sukrasana memang sangat bergantung kepada kakanya
yang gagah itu. Begitu pula patih agung dari Prabu Arjunasasrabahu itu sangat
menyayangi adiknya. Bagiku, perpisahan mereka ibarat perceraian jiwa dan raga
dari tubuh manusia.
Aku yang sama sekali
tidak memiliki ilmu kanoragan dapat saja tertimpah pohon di sekitar tempatku
bersembunyi kini. Kaki Sumantri yang kokoh itu itu menjejak dalam-dalam pada
tanah, lalu membuat gempa kecil yang membuatku semakin gusar dan ingin lari
dari persembunyianku. Namun, kakiku seakan sulit untuk diajak bekerja sama
karena hebatnya getaran yang membuatku merinding setengah mati. Alangkah
saktinya Sumantri ini!
*****
Aku tak habis pikir apa
yang membuat kakak beradik di depan mataku ini tampak begitu riang. Lihat saja
penampilan adiknya itu, tidak terlihat sama sekali kemiripan secara kasat mata
dengan kakaknya. Semakin aneh saja
karena kakaknya itu sama sekali tak keliatan risih dengan kondisi perawakan
adiknya itu.
Baca Juga : Cerpen Penyesalan Hari Ini , Cerpen Di Pelupuk Mata ,
Aku gugup ketika kakang
Sumantri, kakak dari Sukrasana tiba-tiba
megajakku berlatih kanoragan. Aku tak punya alasan untuk menolak ajakan
kakang Sumantri yang memang dikenal sangat ramah. Tetapi berlatih dengan
adiknya yang buruk rupa itulah yang membuatku agak berat hati.
Cukup lega aku
mendengar perkataan Sukrasana barusan. Aku dapat terhindar berlatih dengan
bocah ingusan yang tak sedap dipandang itu. Kakak-adik itu akhirnya mengakhiri
latihannya hari ini. Sumantri tampak menggendong adiknya yang kelelahan itu di
punggungnya yang kuat hingga sampai ke padepokan. Entahlah melihat kakak-adik
yang sedemikian akrab itu justru menimbulkan perasaan dengki dan benci kepada
mereka berdua.
Esok hari, saat aku
ingin melepas lelah sebentar di sebuah danau, secara tidak sengaja aku
melihat lagi Sumantri dan Sukrasana
berada di sana. Mereka tampak bercakap serius tentang sesuatu sambil menunjuk
ke arah danau tersebut. Aku penasaran. Kudekati saja mereka agar aku bisa
sedikit-sedikit mendengar percakapan mereka.
Karena dorongan rasa
penasaran yang cukup besar, aku akhirnya memberanikan diri untuk bergabung
bersama mereka. Walaupun, sebenarnya aku masih merasa segan dan sungkan kepada
kakang Sumantri yang merupakan seorang prajurit paling berbakat di seluruh
negeri.
“ Iya, kang. Terima
kasih sudah diizinkan bergabung bersama kalian di sini.”
“ Tidakkah kau percaya
Man, bahwa danau yang jernih dan yang sedang kau pandang ini menyimpan seluruh
rahasia alam semesta?”
“ Apakah benar
demikian, Kang?”
“ Ternyata kau sama
saja dengan Sukrasana, Man. Sama sekali
tidak mengetahui kesaktian dari danau ini.”
“ Maka dari itu, kakang
Sumantri harus menjelaskan apa kesaktian danau ini kepada aku dan Sugiman agar
kami dapat paham.”
“Hahaha... kelak nanti kalian pasti akan mengetahui
sendiri.”
“Ah... Kakang Sumantri
selalu begitu, dengan adiknya sendiri saja tidak berterus terang langsung.
Ayolah, Kang!”
Agaknya pembicaaanku
bersama Sumantri dan Sukrasana memberiku sedikit gambaran tentang apa yang
mereka bicarakan. Danau ini ternyata memiliki kesaktian yang luar biasa. Danau
ini dapat mengetahui seluruh alam semesta, beserta nasib para penghuninya.
Sungguh sangat susah dipercaya.
***
Nama Sumantri kini
semakin kondang di seluruh negeri. Karena Sumantri yang sekarang semakin
bertambah sakti dan ditakuti oleh siapapun. Ia telah melewati pertapaan yang
sangat berat nan keras. Konon ia berhasil mematikan pancainderanya saat
bertapa. Ia harus menahan haus dan lapar tanpa seorang pun teman dalam sebuuah
gua yang teramat gelap dan dikeramatkan. Ia berada di gua
tersebut hingga 30 hari 30 malam untuk menyempurnakan pertapaannya.
Dengan senjata dan panahnya pasti akan membuat begidik siapapun orang yang
ingin melawannya. Prabu Arjunasasrabahu yang mengetahui kekuatan dari Sumantri
pada akhirnya memutuskan untuk mengangkat Sumantri menjadi patih agung Prabu
Arjunasasrabahu.
Hari ini adalah hari
pelantikan Sumantri menjadi seorang patih agung. Aku tentu saja ikut
menyaksikan saat-saat bersejarah ini. Sebagai orang yang cukup kenal dengan
Sumantri aku juga merasa cukup bangga dengan diangkatnya Sumantri menjadi
seorang patih agung. Sukrasana yang juga ada di sana, tampak sangat bahagia
melihat kakaknya diangkat menjadi seorang patih agung pendamping raja.
Namun, sukrasana tak berani menampakkan
diri di keramaian kerumunan orang yang menyaksikan pelantikan kakanya. Ia
khawatir apabila ia muncul di khalayak ramai, dia akan membuat takut
orang-orang yang menyaksikan pelantikan. Ia juga tidak ingin membuat kakaknya
kecewa karena ada keributan yang diakibatkan oleh dirinya. Manusia yang
menyerupai raksasa kerdil itu bersembunyi di balik rimbun pohon bambu dan
mengamati dari jauh kakaknya yang tengah memakai baju kehormatan kerajaan yang
membuatnya semakin terlihat gagah.
Semakin terik matahari
membakar kulit-kulit manusia yang ingin menyaksikan diangkatnya Sumantri
menjadi patih agung. Kuamati bahasa tubuh dari Sukrasana yang penuh bulu itu nampak
semakin gusar dan tidak sabar menantikan detik-detik diangkatnya Sumantri menjadi
patih agung. Matanya berbinar-binar sekaligus berair menatap kakaknya.
Saat yang
ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Sumantri berjalan gagah menuju mimbar untuk
menyampaikan sambutannya kepada seluruh rakyat.
“ Terima kasih,
saudara-saudaraku telah rela menunggu berlama-lama untuk menyaksikan penobatan
patih agung ini. Saya berjanji dengan segala jiwa raga yang saya miliki untuk
melindungi negeri yang sangat kita cintai ini. Saya akan menghalau segala
kejahatan yang akan masuk ke negeri ini. Saya bersumpah, dengan panah yang saya
pegang ini, saya akan membunuh semua orang jahat yang coba merusak ketenteraman
dan ketenangan negara ini.”
Rakyat yang menyaksikan
pun bersorak gembira dengan sambutan patih agung barunya itu.
Sukrasana yang tetap
bersembunyi di balik pohon bambu tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya.
Sukrasana menangis. Menangis karena bahagia.
Suara itu perlahan hilang. Matanya
juga pelan-pelan memejam. Sukrasana kini tiada. Sumantri menangis. Aku juga
menangis. Langit pun juga begitu.
Post a Comment for "Kumpulan Cerpen Terbaru : Anak Panah Pembawa Bencana"