Kumpulan Cerpen Terbaru : Di Pelupuk Mata
Di Pelupuk Mata
“ Untuk apa Anda menangis?”
“ Entahlah. Tuntutan kerja saja aku pikir.”
Dia berdiri, lalu berjalan perlahan menuju pintu yang setengah terbuka. Dia meninggalkanku sendirian di ruangan itu, meninggalkan sendirian pertanyaan yang tiba-tiba menyeruak dari pikiranku setelah dia menjawab pertanyaan tadi. Tak berani kusela jawaban darinya, karena aku tahu bahwa tugasku di sini hanyalah untuk mengelola segala sesuatu yang berkaitan dengan kelangsungan karirnya saja. Tetapi, semakin aku memikirkan perkataannya dalam-dalam, semakin jauh saja jarak antara aku dengan jawaban. Aku lelah. Kutarik kursi kayu import yang ada di dekatku, lalu kuletakkan bantal untuk menyangga leherku yang sedari tadi agak terasa kaku. Enak sekali rasanya beristirahat di saat badan dan raga sudah waktunya turun mesin. Aku mendongak ke atas, ternyata lampu yang menyala itu tidak berubah sama seperti 11 tahun lalu saat aku pertama kali memasangnya.
***
Baca Juga: Cerpen Penyesalan Hari Ini
Dengan tergopoh-gopoh aku mengejar bis jurusan ke sekolahku. Bukan tanpa sebab aku tergesa-gesa. Hari ini adalah hari paling penting dalam masa 3 tahun SMA. Ujian nasional selalu membuat bulu kuduk orang lain berdiri, tetapi tidak denganku karena ada yang lebh menakutkan adalah melihat jam tanganku sekarang ini. Mungkin karena terlalu rajin atau apa, aku belajar siang malam sampai bola mataku terbalik sehingga di pagi yang cerah ini aku kalah cepat membuka mata dengan matahari. Padahal, tinggal beberapa menit lagi ujian nasional dimulai.
“Pak, berhenti.”
“Ayo, cepat naik!”
Akhirnya, aku berhasil naik walau hampir terjatuh dan harus bergelantungan di ujung, tepatnya paling ujung pintu bis boeml. Seketika menyeruk bau khas orang-orang pekerja keras yang memang sehari-harinya selalu naik bis ini. Seperti biasa, aku menyapa orang-orang yang kukenal.
“Wo, mau kemana kamu?”
“Eh, kamu Git. Ini mau ke pasar, nganterin pesenan orang. Biasalah, lagi musimnya mau kurban.”
“Haha... dapat ceperan dong ya?”
“Owalah, gampang Git. Sekarang kan anak SMA pada ujian. Kamu gak ikut ujian Git?”
“Ini juga mau berangkat. Telat sedikit tadi pagi aku bangunnya.”
Aku kembali melihat jam tanganku karena semakin cemas apabila tidak sampai tepat waktu di sekolah. Aku juga meghentikan obrolan singkat denga Karwo, sahabat sekampung yang putus sekolah sejak SMP dan harus bekerja di pasar sekarang. Dalam hati aku memaki diriku sendiri mengapa sampai harus terlambat bangun pagi ini dan mengapa bukan pagi selain hari ini aku bangun terlambat. Karena kesalahn konyol yang diperbuat diriku sendiri, aku bisa menghancurkan semua perjuanganku selama ini. Rasa geram bercampur gugup tak dapat sampai-sampai keluar keringat dingin dari tubuhku.
Di tengah kondisi yang serba tidak mengenakkan yang kualami sekarang, secara tidak sengaja aku menoleh ke dalam dan terlihat seorang siswi yang seumuran denganku juga tampak gusar. Kuamati seragam yang ia kenakan, tampak tak sama dengan seragam yang kukenakan. Namun, ada badge merah melingkar di tanganya. Ternyata perempuan yang kuamati barusan seangkatan denganku. Agak lama aku melihatnya, hingga ia akhirnya tersadar dan kami pun bertemu pandang. Sejenak semua menjadi tak kuacuhkan. Aku menikmati pengalaman yang baru pertama kali terjadi dalam hidupku. Aneh sekali rasanya. Dadaku sesak memandang wajahnya, tetapi jantungku berdegup kencang tak terkendali . Aku keluar keringat dingin lagi hari ini. Bukan karena gusar atau cemas, tapi karena sesuatu yang aku sendiri pun tidak mengetahuinya. Dan, sampai akhirnya sesuatu membuyarkan kenikmatan duniawi yang baru saja terjadi.
“Yang SMA 4, SMA 4!”
Teriakan itu menyadarkan pikiranku yang sedari tadi mungkin setengah sadar.
“Iya bang, SMA 4.”
Aku pun turun dari bis reyot itu. Tapi seakan masih terhinggapi sesuatu yang sangat aneh, aku tak bisa lepas memandang bis tadi, lebih tepatnya sesuatu yang ada di dalam bis. Kupandangi lama-lama. Ia sebesar ikan paus, kemudian sebesar kuda, lalu menjadi semut hingga ia menghilang dari kejauhan.
***
Menjengkelkan memang menunggu itu. Sudah hampir 3 jam aku bersama ratusan orang lain menunggu tetapi tidak juga mendapat giliran dipanggil. Job fairseolah menjadi tempat penghabisan bagi orang-orang yang putus asa mencari kerja. Begitu namaku dipanggil oleh bagian personalia, Aau sematkan semua pengharapku agar ini menjadi terakhir kali aku haru menulis surat lamaran kerja walaupun hanya dengan ijazah SMA.
“ Nomor 356, Sigit Cahyono.”
“Saya.”
Mungkin karena telah membulatkan hati untuk tidak ingin gagal lagi. Aku berhasil melalui segala tetek bengek prosedur orang melamar kerja. Untuk pertama kalinya, aku bisa tenang pulang ke rumah.
Dua minggu kemudian.
Aku dinyatakan diterima di sebuah rumah produksi sebuah film. Aku bangga dan senang bukan kepalang meskipun status pekerjaanku hanya sebagai tukang bantu beres-beres. Tak masalah bagiku asal pekerjaan itu halal akan kulakukan. Toh, semakin lama bergantung dengan kedua orang tua akan semakin membuat perasaan tidak enak karena selalu saja merepotkan mereka.
Setelah, bekerja di sana untuk beberapa waktu. Aku mulai terbiasa dengan tuntutan kerja seorang pekerja sejati. Seorang pekerja sejati harus memiliki etos kerja yang tinggi walau imbalan yang diterima nantinya tidak begitu tinggi.
Setiap hari aku harus bangun pukul 5 pagi agar dapat menghindari macet. Karena sekali saja aku datang terlambat ke tepat kerja, niscaya aku akan kehilangan pekerjaanku ini. Begitulah kira-kira pelajaran yang aku dapat dari mantan rekan kerjaku yang sudah terlebih dahulu harus menanggalkan pekerjaannya karena sudah dipecat. Berat awalnya menyesuaikan diri dengan tuntutan yang tinggi, namun lama kelamaan waktu membuat terbiasa sesuatu yang pada awal mulanya dianggap berat.
Semua hal tampak sempurna dalam kesederhanaan pekerjaan yang kujalani kini. Tak kurasa sudah 11 tahun aku bekerja di tempat ini. Tak pernah barang satu kali pun aku berbuat macam-macam selain pergi bekerja pagi buta dan pulang saat larut malam. Dan tiba-tiba dadaku merasa sesak. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku. Aku bahkan tak ingat jika aku pernah mengidap penyakit jantung atau semacamnya. Rasanya sesak tapi tidak menyakitkan. Keluar keringat dingin dari pori-pori kulitku. Seketika aku panik tapi orang-orang sudah beralih ke pengaduannya masing-masing. Dalam perasaan yang sudah hampir habis asaku, aku memandang jam tangan berkarat yang melingkar di lenganku. Dan tiba-tiba, sesuatu melintas dipikiranku.
***
Menegangkan sekali ujian selama beberapa hari kemarin. Sudah hampir tercoret dari daftar peserta ujian nasional karena terlambat, ditambah di sana aku lupa membawa peralatan tulis.Tapi untunglah oleh tuhan aku dianugerahi teman-teman yang baik hati karena bersedia meminjamkan barang mereka.
Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan yang ditunggu oleh seluruh siwa sekolah yang seumuran denganku. Aku datang terlambat seperti biasanya. Tapi kali ini tak dengan perasaan tegang. Karena usut punya usut, ada kabar burung yang mengatakan kalau seluruh siswa sekolahku ini lulus seratus persen. Senang sekali hatiku. Sesampainya di sekolah, sudah banyak anak-anak yang berjibun mamadati papan pengumuman. Sudah banyak kawan-kawanku yang meluapkan keembiraannya dengan mencoret-coret seragamnya dengan warna yang awut-awutan tak karuan.
“Git, lulus apa enggak?”
“Belum liat aku, bro.”
“Loe dapet rangking Git kalo gue gak salah liat.”
Aku langsung berlari menuju papan pengumuman untuk memastikan perkataan kawanku tadi. Benar saja, nama Sigit Purnomo nangkring di ranking sembilan. Gembira bukan kepalang rasanya karena sepertinya prinsip ekonoi juga berlaku di dalam pelajaran, yaitu dengan pengorbanan seminimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin. Setelah itu, aku bergabung dengan kawan-kawanku. Baju yang tadi putih bersih tiba-tiba berubah menjadi pelangi dengan bubuhan tanda tangan di sana sini. Euforia ini berlangsung sampai sore hari.
Aku pulang dengan bis langgananku seperti biasa. Jarang sekali aku pulng dengan perasaan selega karena semua beban rasanya sudah lenyap. Aku bangga dengan pencapaianku sekarang ini dan membayangkan perasaan senang kedua orang tuaku saat tahu anaknya termasuk siswa yang berprestasi dalam acara wisuda nanti. Namun, saat baru setengah perjalanan pulang ada sesuatu yang aneh di tengah jalan. Banyak kendaraan yang tiba-tiba berhenti dan mengerubuti bahu jalan yang tengah padat kendaraan. Aku tahu ini bukan kejadiaan biasa karena meskipun ada kemacetan di sini tak akan sekacau ini keadaannya. Lalu, aku memutuskan turun dari bis yang tidak bisa bergerak lagi karena padatnya kendaraan untuk mengecek apa yang sedang dikerubuti oleh orang-orang di sana. Susah sekali untuk sekadar menengok apa yang dikerubuti orang itu karena saking banyaknya kerumunan di sana. Akhirnya, ada kesempatan untuk mendesak maju dengan sedikti usaha untuk melihat. Dan betapa terkejutnya aku begitu mengetahui bahwa sesuatu yang dikerubuti oleh orang-orang itu adalah korban tabrak lari. Wajahnya penuh darah dan tak bernafas lagi. Samar-samar rasanya aku mengenal wajah wanita ini. Benar saja, korban tabrak lari itu adalah wanita yang kutemui di bis beberapa hari lalu. Dadaku tiba-tiba sesak dan keluar dingin. Kali ini ini sesaknya lebih hebat dari yang pertama. Kakiku tiba-tiba lemas dan aku pun tak mampu untuk berkata apa-apa. , aku tak bisa lepas memandang bis tadi, lebih tepatya sesuatu yang ada di dalam bis. Kupandangi lama-lama dengan mata yang berair. Ia sebesar ikan paus, kemudian sebesar kuda, lalu menjadi semut hingga ia menghilang tepat di pelupuk mata. Aku kehilangan sesuatu yang bahkan tak pernah kumiliki.
Cerpen yang bagus dan enak buat dibaca
ReplyDelete