Kumpulan Cerpen Terbaru : Jangan Jadi Seperti Aku
Tanpa ragu sedikitpun pak Anton mengambil
keputusan tersebut, ia sudah terlanjur muntab dengan
perilaku tak senonoh putri sulungnya itu. Betapa sebuah pergaulan yang terlalu
bebas dapat menjerumuskan anak lugu yang pernah ditimangnya semasa balita. Anak
yang selalu ia ceritai dengan dongeng-dongeng pengantar sebelum tidur itu
tampak menjadi sosok yang susah ia kenali sekarang. Rusaklah hubungan yang
terbina sejak belasan tahun antara seorang ayah dan anak perempuaannya. Orang
tua separuh baya itu pun sampai kepayahan mengatur nafasnya yang sudah naik
turun sedari tadi.
“ Bersabarlah
dahulu Pak, tak perlu kau buat keputusan yang tergesa-gesa seperti ini. Setiap
orang juga pasti punya salah dalam hidup.”
“ Bu, kalau
memang setiap manusia itu ditakdirkan
hidup dengan mempunyai kesalahan
masing-masing, kesalahan yang anak kita perbuat sudah terlampau kelewat batas.”
Air mata itu pun
keluar melalui selah-selah keriput wajah pak Anton. Ia sudah tahu bahwa keputusan
yang sudah ia buat akan mempunyai konsekuensi. Di satu sisi, Santi adalah salah
satu anak yang paling ia sayangi, di sisi lain ia juga sadar bahwa Santi harus
bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Pak Anton sejenak duduk pada sofa
antik pemberian almarhum ayahnya dahulu. Ia memegangi kepalanya sendiri
kemudian menatap langit-langit rumahnya. Demikian yang ia lakukan selama satu
jam terakhir ini. Bobot kepalanya terasa bertambah 10 kali lipat saja dan
lehernya yang sudah termakan usia itu jelas susah untuk terus menahan kepala
tetap tegak, apalagi untuk berpikir jernih. Bu Aminah yang juga seorang
keturunan priyayi tampak coba menenangkan pasangan hidupnya sejak 28 tahun lalu
itu. Bu Aminah berjalan menuju dapur rumahnya, memasak air lalu ia menyeduh teh
hangat kesukaan suaminya itu. Ia menyuguhkan teh kepada suaminya dengan cara
yang hanya seorang priyayi yang matang saja yang mampu melakukan.
“ Bagaimana pak?
Apa pantas kita sebagai orang tua dengan begitu saja mengusir anak kita itu
keluar rumah?”
“ Bu, yang ada dipikiranku sekarang ini adalah bagaimana Santi mendapat jalan
keluar yang terbaik. Jika ia tetap di sini dan kandungannya bertamabah besar,
maka ia hanya akan memperoleh tambahan beban dalam hidupnya. Ia akan mejadi
bahan gunjingan dan bulan-bulanan warga sini yang memang gemar menggunjing.”
“Jika itu memang
alasan bapak mengusir anak kita, maka saya sebagai seorng ibu mampu
menerimanya, pak. Tetapi, kasihan si Santi itu kalau serta merta kita usir
keluar rumah tanpa bekal apapun.”
“ Iya bu, ini
bukan mutlak kesalahan Santi saja yang menyebabkan musibah ini terjadi. Kita
sebagai orang tua juga ikut salah karena kita kurang mengawasi anak kita
sewaktu ia kuliah di Malang. Seandainya kita dapat lebih menjaga anak kita dari
pergaulan bebas, ia tentu tidak akan mengalami aib semacam ini.”
Bu Aminah
menunduk kepalanya, tanda ia memahami betul apa yang diucapkan suaminya itu.
Sepasang suami istri itu lalu berdiri bergegas mengambil air wudhu karena azan
Maghrib sudah terdengar dari surau RT sebelah.
“ Kita pasrahkan
saja ini semua kepada Gusti Allah. Gusti Allah Maha Adil dan Penolong.”
“ Aamiin. Iya
Pak.”
Di sebuah
persimpangan jalan, terlihat perempuan muda yang sedang kepayahan mententeng
tas koper yang lebih besar dari tubunya itu. Ia tampak lelah walaupun tetap
mencoba untuk kuat menyeret senti demi senti tas kopernya itu. Santi sudah 5
bulan pergi dari rumahnya yang nyaman dan serba ada. Kini ia harus bertahan
hidup dengan kondisi apa adanya di dunia luar yang keras dan kejam. Kandungannya
semakin besar saja dan pasti sebentar lagi ia akan melahirkan anak yang tanpa
ayah itu. Di sebuah pohon Bougenville, ia
mengambil rehat sejenak dari panasnya teriakan matahari siang itu. Angin juga
berhembus cukup kencang dan menyibak rambut lurusnya yang cukup lama tidak ia
rawat lagi di salon. Ia merenung sejenak memikirkan nasibnya esok hari yang
tinggal di jalanan yang tak kenal ampun ini. Pernah ia dijambret oleh sekawanan
orang ketika baru diusir dari rumahnya dulu. Ia kehilangan perhiasan yang rencananya
akan ia jual untuk menyambung hidupnya di jalanan.
“ Ya Allah,
adilkah hidup yang seperti ini?”
Ia mulai
berbicara sendiri karena memang tak ada seorang temanpun yang bersedia menolong
dia semenjak kejadiaan itu. Pelampiasaan curahan hatinya adalah dengan
berbicara dengan diri sendiri. Hanya bayangannya sendiri dan jabang bayi yang
semakin membesar ini, teman curhatnya selama ia hidup di dunia luar. Ia pun tak
memperdulikan ejekan-ejakan dari anak-anak kecil yang mengatakan ia telah
menjadi gila karena ia berbicara
sendiri. Ia pun tak acuh lagi dengan penampilannya yang kini menyerupai para
Gepeng yang kerap diburu oleh Satpol PP.
“ Bagaimana ya
kabar kakak, ibu, dan bapak di rumah? Aku rindu kalian.”
Sekali waktu
senyum merenggang dari bibir yang lusuh itu dan menampakkan sisa-sisa manis
wajah mantan mahasiswi primadona. Ia teringat pengalaman lucu dan bahagia
dengan keluarganya. Lamunan yang demikian ini merupakan semacam oase penyejuk
bagi hidup Santi yang serba dianaungi derita berkepanjangan tanpa ujung itu.
Namun, ketika ia mebayangkan momen saat ia diusir dari rumah, maka dapat
dipastikan ia akan menghabiskan sisa hari dengan meratapi aibnya tersebut.
Tiba-tiba sebuah
rasa sakit menjalar dari lutut hingga ke perutnya. Santi tiba-tibah roboh. Ia
kesulitan untuk mengambil nafas. Ia berteriak meminta tolong, tapi tidak ada
seorang pun yang mendengar. Santi mencoba meraih pagar pembatas taman dan
memeganya erat. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, ia mencoba menyanggah
tubuhnya yang semakin tidak berdaya. Air ketuban pecah dari rahimnya dan itu
semakin membuat Santi semakin susah
mengambil nafas. Ia sadar bahwa hidupnya tinggal hitungan detik saja, tapi ia
berusaha agar bayinya dapat selamat. Ia berusaha sampai keringat mengalir deras
dari seluruh tubuhnya dan ia mencoba menekan perutnya agar bayinya dapat
keluar. Akhirnya, terdengar suara tangisan bayi yang keluar dari rahim Santi.
Mata Santi berkunang-kunang, nafasnya sudah sampai leher, tapi ia sempat
mengucapkan sebuah kata.
“ Jangan jadi
seperti aku, Nak!”
Mata Santi
terpejam dan nafasnya yang tersengal itu berlahan melambat lalu berhenti hingga
tubuhnya menjadi dingin. Ia berhenti bernafas saat bayi yang ia kandung baru
mulai mengambil nafas
cerpennya bagus gan
ReplyDeletebisa buat pembelajaran buat anak-anak sekarang yang terjerumus ke pergaulan bebas
menyentuh sekali cerpennya,, nice.. setiap kehidupann baru adalah harpan baru #mogangerti hehehe :D
ReplyDelete