Kumpulan Cerpen Terbaru : Penyesalan Hari Ini
Penyesalan Hari Ini
Ayahku
sebenarnya adalah orang yang baik dengan segala kurang lebihnya. Ia tergolong
orang yang tak perlu menjinjit jika
ingin memperbaiki bohlam yang rusak karena ia berpostur lebih 12 cm dari
standar minimum orang yang ingin masuk akademi kepolisian. Dan apabila ia harus
berjemur di teriknya panas matahari selama 7 hari tanpa henti, ia tak perlu
takut kulitnya menghitam legam. Bukan karena ia adalah seorang adam sehingga
tak terlalu concern dengan penampilannya,
tetapi karena pada lapisan kulitnya, di
aliran darahnya, di dalam sel darahnya,
di suatu tempat yang para ilmuwan sering sebut dengan istilah DNA,
ayahku memang tak punya bakat untuk jadi orang keling.
Di balik semua kelebihannya itu, ternyata ia
memiliki sebuah keanehan yang anehnya hanya berlaku untukku. Ia tak pernah
tersenyum, memuji, menyanjung atau bahkan mengapresiasi semua hasil kerja
kerasku di sekolah. Senyum manis nan mempesona dan kata-kata pujian yang
menggetarkan itu selalu saja diberikan
kepada adik perempuanku. Bahkan ketika nilai rapor adikku turun setajam nilai
tukar rupiah pada masa reformasi, ayah tetap tersenyum semanis madu dan berkata
“ tak usah terlalu dipikirkan, sekolah itu bukan masalah nilai, tetapi ilmu
yang kamu dapat.”
Tiba
waktu untuk pengambilan rapor hari ini, aku tentu senang bukan kepalang karena
aku yakin mampu jadi jawara kelas . Aku yakin kali ini pasti ayah akan
melontarkan pujiannya kepadaku dan membagi sedikit senyum yang lama kunanti
itu. Tapi, apa yang terjadi sungguh di luar perkiraanku sebelumnya. Hingga nama
terakhir dipanggil ke depan untuk memanggil rapornya, tak satupun perwakilan
dari keluargaku yang hadir dan mengambil raporku. Aku berjalan lesu menuju guru
wali kelasku dan mengambil sendiri raporku.
Entah
dengan apalagi harus kubuktikan kepada ayah. Aku kalut, terbalut oleh luapan
amarah yang tak mungkin lagi dapat ditangguhkan. Aku sebenarnya bukan pribadi yang mudah bocor
tabung kesabarannya. Tapi, untuk kesekian kali aku tak mau diperlakukan seperti
ini oleh ayah. Boleh saja orang menganggap aku ini anak durhaka atau apa,
tapi mulai sekarang ayah adalah musuhku.
Maka sejak ibu tiada 10 tahun lalu, aku hanya tinggal dengan ayah dan adikku di
rumah yang jauh dari kesan indah, kalaulah tak sudi disebut memprihatinkan. Aku
sayang kepadanya, dia sayang kepada adikku, adikku sayang kepadaku, aku sayang kepada adikku, adikku
sayang kepadanya dan mungkin dia tak pernah menyayangiku, sama sekali. Jika
boleh meminjam istilah matematisnya, kami ibarat sebuah segitiga dengan satu
sisi yang diabaikan, itulah aku. Seperi itulah hidupku, sampai suatu saat
kuketahui sebuah rahasia yang membuat anggapan itu tak ubahnya sebuah cap
sampah pada berlian.
***
Ayah tak pernah
melantangkan suara meski itu untuk memarahiku yang diskors dari sekolah karena
berkelahi dengan teman sekolahku sendiri. Ia selalu mempunyai cara tersendiri
untuk mengungkapkan perasaannya yang misterius itu. Seperti sebutan bagi
samudera pasifik yang membahan itu, tenang tapi misterius.
Pernah suatu
kali aku sengaja ingin mengorek isi hati dari ayahku yang pendiam itu. Telah
kurencakan berbagai macam teori cara bertanya yang efektif agar orang yang diajak bicara dapat berterus
terang. Langsung saja kuhampiri ayah saat ia tengah bersantai di teras rumah sambil membaca koran.
“Ayah.”
Ayah hanya
menoleh dengan pandangan datar dan melanjutkan kembali bacaan korannya.
“Ayah, aku boleh
tanya sesuatu?”
“Hmmm..... Tanya
apa kamu ,Dik?”
“Ke..Kenapa ayah
begitu pendiam?”
“Ya karena orang
lain sudah cukup cerewet, makanya tidak perlu jadi seperti mereka.”
“Oh, begitu ya?”
“Bukan merupakan
kewajiban untuk memberiahu apa yang orang lain ingin tahu.”
“Harus begitu
ya?, Yah”
“Ya.”
Aku sempat
kehabisan kata-kata karena ayah sama sekali tidak terancing dengan
pertanyaan-pertanyaanku barusan. Sungguh sulit sekali untuk menaklukkan hati
pria berhati suku eskimo itu. Perasaan dan hati pria itu bagai hutan belantara
Amazon yang sama sekali belum tersentuh oleh siapapun. Saat aku dalam langkah
kembali ke dalam rumah. Aku teringat sesuatu yang mungkin dapat membuat ayahku
berbicara lebih banyak dari biasanya. Sunggu tak ia-sia aku membeli buku
motivasi di pasar loak kemarin. Kali ini aku yakin bisa membuat ayaah
berbicara. Maka dengan langkah yang penuh percaya diri aku melangkah ke kembali
ke teras dimana ayah masih saja sedang khusyuk membaca koran.
“Ayah.”
“Ada apa lagi
Dik?”
“Ini yah, aku
mau tanya sesuatu lagi.”
“Iya, tanya apa
kamu ini?”
“Ayah, ibu itu
orangnya seperti apa sewaktu seusiaku ini ?”
Tiba-tiba seperti
sebuah kaca yang dihantam oleh peluru, ayah tampak terkejut dengan pertanyaanku
barusan. Ia melipat rapi koran yang tengah dibaca dan meletakkan koran itu di
meja sebelahnya. Ia mungkin tak akan menyangka aku akan bertanya demikian.
Walaupun ayah berusaha untuk tetap tenang, tampak sekali ia terlihat gusar akan
sesuatu dan menyiapkan mentalnya sendiri untuk menjawab pertanyaan anaknya yang
banyak tanya ini.
“Ayo ayah, ibu
itu seperti apa dulu?”
Bersamaan dengan
pertanyaan itu meluncur dari mulutku, Ayah menjadi seperti tegang dan tampak
tidak nyaman dengan situasi ini. Ia mulai menatapku dan bersiap untuk menjawab.
“Ibumu itu ya,
dia seperti perempuan sewajarnya saat seusiamu.”
“Ah, apa benar
seperti itu? Tak adakah sesuatu yang lain untuk diucapkan?”
“Tidak ada,
Nak.”
“Aku tidak
percaya ayah, kalau ibu itu orang yang biasa-biasa saja. Pasti ada sesuatu yang
istimewa dari ibu sehingga membuat orang pendiam seperti ayah menjadi tertarik.
Pasti ada sesuatu.”
“Baiklah Nak,
tampaknya kau ingin tahu sesuatu tentang ibumu. Ayah akan ceritakan sesuatu.
Ibumu dulu adalah tipe-tipe orang yang mudah sekali membuat jatuh cinta orang
lain. Dia disukai oleh banyak sekali orang. Tak terhitung lagi berapa banyak
orang yang menggilai ibumu.”
“Lantas apa ayah
termasuk orang yang menyukai ibu?”
“Tidak, Nak.
Pertama kali ayah kenal ibumu, ayah justru membenci ibumu.”
“Kenapa ayah
membenci ibu?”
“Ayah juga tidak
mengerti, Nak.”
“Padahal ibu kan
tidak salah apa-apa.”
“Mungkin karena
ibumu terlalu baik, Nak. Ia terlalu sempurna untuk kehidupan yang banyak
kekurangan.”
Aku berusaha
mencerna dengan keras perkataan ayahku berusan. Namun, tetap tak dapat
kutemukan arti dari perkataannya. Mungkin bagi remaja seusiaku ini terlalu
berat untuk memaknai perkataan pria dewasa yang sudah banyak makan asam garam
dalam hidupnya.
“Maksudnya apa
itu, Ayah?”
“Sudahlah. Kau
bantu saja adikmu sekarang mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Kasihan kalau
dia sampai tidak bisa mengerjakan.”
“Baik, Ayah.”
Aku kembali ke
dalam dan hendak menuju kamar adikku. Tapi, pikiranku tetap mengawang-ngawang
kesana kemari.
“Apa maksud dari
perkataan ayah tadi ya?”
***
Rasanya aku
ingin mengumpat dan menghardik siapapun yang ada di dekatku sekarang. Gelora
amarah ala remaja ini sungguh tak terkendali. Aku kecewa dengan siapa saja,
dengan apa saja dan semuanya. Maka aku kali ini ingin jalan kaki saja pulang ke
rumah, tidak naik bis seperti biasanya.
Konyol sekali
memang perbuatanku. Tapi untuk sedikit mengurangi rasa kesalku, aku berjalan
sejauh 10 km. Tak terasa lelah bagi orang yang sedang memuncak amarahnya.
Hingga ketika aku hampir sampai di rumah. Banyak kerumunan orang di sekitarku.
Aneh sekali tidak seperti biasanya. Segera aku percepat langkahku menuju rumah.
Terlihat ibu tetangga sebelah menghampiriku.
“Nak, kamu yang
sabar ya.”
“A...ada apa bu
emangnya?”
“Ayahmu Nak.”
“Ayah, apa yang
terjadi pada ayah?”
“Ayahmu
meniinggal karena kecelakaan, Nak.”
Seperti sebuah
petir yang menghantam kepalaku, pecah, terbakar, hangus semuanya. Aku tidak
dapat mengucap apa pun. Kakiku tiba-tiba lemas dan keluar air dari mataku. Buku
rapor yang kupegang pun jatuh.
“ Ayahmu
meninggal saat hendak menuju sekolahmu Nak. Ia berpamitan sebelum berangkat
kalau ayahmu hendak mengambil rapor anak kebanggaannya. Ia juga ingin memberimu
hadiah.”
Perkataan orang
itu barusan semakin menohok perasaanku. Ia mengeluarkan sebuah pigura kecil
dari tasnya.
“ Ayahmu ingin
memberikanmu ini, Nak.”
Sejenak aku
memandang foto itu.
“Siapa perempuan
dalam foto ini, bu?”
“Itu ibumu saat
muda dulu, Nak.”
Aku memeluk erat
foto itu dan keluarlah dengan deras air mata yang sejak tadi kutahan-tahan.
“Maafkan, aku
ayah.”
Baca juga : Cerpen Terbaru Jangan Jadi Seperti AkuCerpen Terbaru Di Pelupuk Mata
Cerita yang menarik, di tunggu cerita 2 berikutnya
ReplyDeletecerita yang bagus menurut saya...di tunggu cerita selanjutnya
ReplyDelete