Parafrase Puisi Sajak Sebatang Lisong Karya W.S. Rendra
Apresiasi Puisi Sajak Sebatang Lisong Karya W.S. Rendra
Puisi
yang berjudul sajak Sebatang Lisong ini
merupakan puisi balada. Puisi balada ialah puisi yang bercerita tentang
orang-orang perkasa atau tokoh pujaan atau orang yang menjadi pusat perhatian
(Herman, 2012) dalam (Adzani, 2012). Puisi karya W.S. Rendra ini termasuk jenis
puisi naratif dimana puisi ini mengungkapkan cerita atau penjelasan penyair.
Dari puisi inilah Rendra mengungkapkan perasaannya.
Puisi
yang ditulis pada tahun 1973 dan terangkum dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi ini merupakan puisi yang secara
gamblang mengkritik sosial. Rendra tanpa sungkan-sungkan lagi mengkritik.
Dengan bahasa sastra ia berbicara, dengan bahasa sastra pula ia mengkritik
pemerintahan, hingga ia dianggap berbahaya oleh rezim. Tidak heran kalau Rendra
sering dicekal dan bahkan ditahan oleh pemerintah pada masa itu. Berikut
pemaknaan puisi yang berjudul Sajak
Sebatang Lisong.
Pada
bait pertama penulis menceritakan bahwa orang-orang kaya yang digambarkan
sebagai cukong begitu menikmati gaya hidup yang mewah yang digambarkan dengan
menghisap sebatang lisong. Sementara itu, jutaan rakyat menjerit meratapi
kehidupannya sama sekali tidak mereka hiraukan.
Baca Juga : Apresiasi Puisi Penerimaan Chairil Anwar
Bait
kedua, penyair secara lantang menyuarakan nasib jutaan anak-anak yang tidak
mengenyam pendidikan di masa itu. Padahal negara sudah merdeka dan pendidikan
merupakan hak setiap anak. Hal ini digambarkan dengan //matahari terbit/ fajar tiba.
Pada
bait ketiga, penyair secara tegas ingin memprotes tentang keadaan yang terjadi
di Indonesia, namun keinginan tersebut sia-sia, karena ia (sebagai rakyat)
tidak diberikan hak untuk menyaurakan pendapatnya/mengutarakan isi hatinya. Hal
ini digambarlkan dengan pertanyaan-pertanyaannya
yang membentur meja kekuasaan yag macet. Selanjutnya penyair juga menyindir
dunia pendidikan khususnya guru. Dalam puisi penyair tidak secara langsung
menyebut guru karena konteks guru
sudah menghilang dari birokrat yang harus disebut pendidik (lembah pena, 2011).
Pada bait keempat, penyair menyuarakan kembali nasib
anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan. Padahal anak adalah aset suatu
bangsa, namun keadaannya pada masa itu malah tidak diperhatikan. Hal ini akan
membuat hancurnya masa depan bangsa karena anak yang merupakan pewaris bangsa
tidak diberikan bekal pendidikan yang cukup sehingga mereka tidak memiliki kemampuan
untuk mengelolanya. Jangankan mengelola/mengatur bangsa, mengatur dirinya saja
mereka belum tentu bisa karena masa depan yang sangat suram. Hal ini sesuai
dengan potongan bait berikut // tanpa dangau persinggahan/ tanpa ada bayangan
ujungnya.
Bait kelima, penyair
kembali lagi menyindir para penguasa negeri yaitu orang-orang kaya yang
diistilahkan dengan cukong. Mereka tidak mempedulikan kegagalan pendidikan yang
terjadi di negerinya. Banyak sarjana menjadi pengangguran, berpeluh di jalan
raya. Bahkan mereka juga tidak mempedulikan keadaan ekonomi bangsanya yang
digambarkan penyair dengan melihat wanita bunting antri uang pensiun.
Bait keenam dan ketujuh, penyair menggambarkan
bahwa teknokrat hanya bisa mencela tanpa bertindak apa-apa. Teknokrat yang
berarti cendekia yang berkiprah dalam pemerintahan, sama halnya dengan cukong.
Penyair menggambarkan bahwa teknokrat ditempatkan di langit. Mereka jauh dari
ingar-bingar persoalan kehidupan nyata. Bangsa Indonesia sendiri yang salah
karena mereka malas, tidak mau dibangun dan tidak mau menyesuaikan dengan
teknologi asing.
Pada bait kedelapan mengisahkan bahwa di zaman
yang modern, gedung-gedung bertingkat bahkan pencakar langit sangat mudah
dijumpai. Namun, itu semua hanya milik cukong-cukong dan masyarakat yang di
bawah, tetaplah di bawah. Mereka tidak punya daya, bahkan untuk menyuarakan
pendapatnya saja mereka tidak bisa. Karena masyarkat tidak diberi kebebasan
untuk berpendapat. Hal ini membuat masyarakat menjadi putus asa dan mereka
memilih tidur saja daripada mendapat celaka.
Bait kesembilan penyair mengkritik para
sastrawan dan teman-teman seperjuangannya. Ia merasa kecewa terhadap para
sastrawan yang hanya terbius oleh sajak-sajak romantis yang dibuatnya. Padahal
sebagai seorang intelektual dengan bahasa sebagai sarana perjuangan sosial,
sastrawan seharusnya ikut andil menjadi motor penggerak.
Post a Comment for "Parafrase Puisi Sajak Sebatang Lisong Karya W.S. Rendra"