Pendekatan Analitis dalam Puisi Sajak Sebatang Lisong
Citraan, Diksi, dan Amanat dalam Puisi Sajak Sebatang Lisong Karya W.S. Rendra
Puisi
karya W.S. Rendra yang berjudul Sajak
Sebatang Lisong ini menggunakan diksi yang tepat. Pilihan kata yang
digunakan penyair untuk menggambarkan suasana hatinya cukup menarik dan dapat
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Seperti parafrase dalam puisi Sajak Sebatang Lisong yang telah disampaikan sebelumnya, penggunaan diksi yang seperti itu sangat
tepat sekali jika dikaitkan dengan latar historis puisi tersebut. Dikatakan
tepat karena puisi yang ditulis dalam buku Potret
Pembangunan dalam Puisi ini secara terang-terangan memperlihatkan kritik
sosial. Oleh karena itulah penggunaan diksi tersebut sangat tepat karena
diharapkan maksud penyair yang berisi sindiran/kritikan tersebut tersampaikkan
dan dapat dengan mudah dicerna oleh pendengar, yaitu masyarakat, kalangan
pendidik, seniman, dan pemerintah Indonesia. Pendekatan analitis digunakan manakala suatu puisi memiliki nilai dan persepsi tersendiri dalam setiap kata dalam puisinya.
Walaupun
penyair menggunakan diksi yang mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan
dapat dengan mudah dipahami, namun memiliki makna yang sangat mendalam dan
dapat mewakili perasaan/ isi hati penyair. Dalam potongan
puisinya tersebut ia mengajak kalangan pendidikan untuk berhenti membeli
rumus-rumus asing, yaitu sesuatu yang tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia
dan yang benar ialah untuk menyelesaikan persoalan yang ada hendaknya terjun
langsung mencari solusinya dengan menyesuaikan keadaan yang nyata.
Baca Juga : Apresiasi Puisi Penerimaan Karya Chairil Anwar
Citraan (imagery) yang terdapat dalam puisi Sajak Sebatang Lisong ini menggunakan
(1) citra penglihatan (visual imagery),
(2) citra pendengaran (auditory imagery),
(3) citra perabaan (tactile imagery),
(4) citra penciuman (olfactory imagery),
(5) citra gerak, dan (6) citra perasaan.
Gaya bahasa dan sarana retorika yang
digunakan dalam puisi yang pernah dibacakan Rendra di Institut Teknologi
Bandung, pada tanggal 17 Agustus 1977 ini adalah pleonasme. Pradopo (1987:95) menjelaskan pleonasme (keterangan
berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi
kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang pertama. Sarana retorika yang terdapat dalam
puisi ini dapat dibuktikan pada bait kedua, yakni //matahari terbit / fajar tiba//. Dalam hal ini penyair mengulang
frasa matahari terbit dengan fajar tiba yang merupakan dua hal
berbeda, namun sebenarnya sama. Frasa fajar
tiba sudah tersimpul dalam frasa matahari
terbit. Pengulangan yang seperti ini sengaja dibuat oleh penyair untuk
memberikan kejelasan pada pembaca.
Selanjutnya pada bait ketiga, penyair menggunakan gaya bahasa personifikasi,
yaitu menghidupkan benda yang mati. Pertanyaan
yang pada hakikatnya adalah benda mati, diibaratkan hidup sehingga
membentur meja kekuasaan yang macet.
Dalam puisi ini juga dijumpai majas hiperbola, yaitu
majas yang melebih-lebihkan suatu hal atau keadaan. Dalam hal ini penyair ingin
melebih-lebihkan, maksudnya untuk intensitas dan ekspresivitas. Dengan kata
lain, penyair ingin memberikan (mengungkapkan) gambaran, maksud, gagasan, dan
perasaan secara berlebih.
Dalam puisi
tersebut maksudnya ialah delapan juta anak yang tidak mengenyam pendidikan pada
masa itu masa depannya akan suram, mereka tidak mempunyai bekal hidup, sehingga
tidak ada pilihan lain selain keterpurukan. Dalam hal ini penyair
menggambarkannya dengan jalan panjang tanpa pilihan, tanpa pepohonan ‘gersang’,
tanpa dangau persinggahan, dan tanpa ada bayangan ujungnya.
Rima yang digunakan penyair dalam puisi ini adalah rima
patah, karena penyair tidak begitu memerhatikan struktur rimanya. Rima patah
yaitu persamaan
bunyi yang tersusun tidak mementu pada akhir larik-lrik puisi. Kombinasi bunyi vokal (asonansi) puisi tersebut
menambah unsur keindahan tersendiri. Pada puisi ini terdapat kombinasi bunyi vokal /a/ dan /u/ yang dominan dalam
larik, yaitu //tanpa
dangau persinggahan / tanpa ada bayangan ujungnya// dan
// menjadi gemalau suara yang kacau//. Selain itu juga terdapat bunyi sengau: /n/, /m/, /ng/, yaitu seperti tampak
pada potongan bait berikut yang dapat menimbulkan bunyi merdu dan berirama
(efoni).
Dalam puisi yang
ditulis pada tahun 1973 ini, juga banyak dijumpai lambang, yaitu pengganti
suatu hal dengan hal lain. Misalnya pada bait pertama, yaitu //menghisap
sebatang lisong// yang melambangkan menikmati gaya hidup mewah dengan
menghisap sebatang lisong. Kemudian pada baris selanjutnya yaitu, //dua tiga
cukong mengangkang berak di atas kepala mereka// yang melambangkan
orang-orang kaya (pemilik modal) bersenang-senang di atas penderitaan rakyat.
Kemudian pada bait
ketiga, yaitu // tetapi pertanyaan – pertanyaanku/ membentur meja
kekuasaan yang macet//. Pada potongan bait ini melambangkan bahwa
pertanyaan penyair sia-sia. Hal ini dikarenakan penyair tidak bisa
berkomunikasi dengan manusia yang bertanggung jawab. Penyair hanya menemui
sosok benda mati yang itu semua merupakan abstraksi dari kenyataan yang
digambarkan penyair dengan meja kekuasaan yang macet (tidak diberikan kebebasan
menyuarakan pendapatnya). Selanjutnya, hal ini dipertegas lagi pada baris
selanjutnya, yaitu // dan papantulis – papantulis para pendidik/ yang
terlepas dari persoalan kehidupan//. Potongan bait ini melambangkan dunia
pendidikan khususnya guru.
Pada bait keempat yaitu //delapan
juta kanak – kanak/ menghadapi satu jalan panjang/ tanpa pilihan/ tanpa
pepohonan/ tanpa dangau persinggahan/ tanpa ada bayangan ujungnya//. Potongan
bait ini melambangkan anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan, masa depannya
suram.
Sedangkan pada bait
kelima, yaitu //menghisap udara yang
disemprot deodorant// melambangkan orang-orang kaya, yaitu deodorant
dilambangkan sebagai tanda kemewahan kalangan tertentu yang bekasnya tercium di
udara. Namun, hal ini juga dapat ditafsirkan sebagai polusi industri yang
membuat keadaan alam terutama udara dipenuhi zat-zat berbahaya dari industri.
Pada bait kedelapan baris pertama yaitu //gunung
– gunung menjulang// melambangkan gedung-gedung tinggi pencakar langit.
Baris berikutnya yaitu //protes – protes yang terpendam/ terhimpit di bawah
tilam// melambangkan ketidak berdayaan masyarakat untuk menyuarakan
pendapatnya dan akhirnya masyarakat memilih tidur daripada mendapat celaka. Hal
ini dilambangkan dengan kata tilam yang bearti tempat tidur.
Pada bait kesembilan baris kedua dan ketiga,
yaitu //tetapi pertanyaanku/
membentur jidat penyair – penyair salon//. Hal ini melambangkan para sastrawan yang tidak peka terhadap keadaan sosial. Mereka hanya sibuk dengan sajak-sajak romantis yang dibuatnya, sehingga sastrawan-sastrawan tersebut dianggap penyair salon yaitu yang ditafsirkan sebagai penyair banci. Mereka hanya gemara berdandan retorika dengan kata “anggur dan rembulannya”.
membentur jidat penyair – penyair salon//. Hal ini melambangkan para sastrawan yang tidak peka terhadap keadaan sosial. Mereka hanya sibuk dengan sajak-sajak romantis yang dibuatnya, sehingga sastrawan-sastrawan tersebut dianggap penyair salon yaitu yang ditafsirkan sebagai penyair banci. Mereka hanya gemara berdandan retorika dengan kata “anggur dan rembulannya”.
Tipografi puisi yang berjudul Sajak Sebatang Lisong ini adalah bentuk yang pada umumnya digunakan
oleh penyair yaitu menggunakan rata kiri
dan dimulai dengan huruf kecil semua, walaupun ditulis diawal kalimat. Oleh
karena jumlah larik atau baris dalam puisi karya Rendra ini banyak, maka penyair
juga menggunakan bait dalam puisinya.
Puisi yang ditulis dalam buku Potret Pembangunan
dalam Puisi ini bertemakan kritik sosial. Di tengah
carut-marutnya negara Indonesia akan pendidikan, perekonomian, dan sistem
birokrasi. Ia berbicara kritik sosial dengan menggunakan bahasa sastra yang
sangat bagus dan mendalam jika ditelaah artinya. Sebagai seorang sastrawan ia merasa
tergerak demi perubahan sosial, sehingga ia tak sungkan-sungkan untuk
mengkritik ranah sosial dan politik dengan keahlian sastranya. Dalam sajaknya
yang ditulis pada tahun 1973 inilah ia dengan lantang menyuarakan nasib
anak-anak Indonesia yang tidak mengenyam pendidikan dan sarjana-sarjana yang
menganggur, berpeluh di jalan raya. Sementara itu para penguasa/orang-orang
kaya sama sekali tidak memperhatikan hal tersebut. Mereka malah asik dengan
harta dan kekuasaanya.
Sistem birokrasi juga tidak luput dari
kritiknya. Tampilnya militer dalam puncak pemerintahan memberikan dampak
tersendiri di Indonesia. Selain militer, pemerintah orde baru juga
mempergunakan teknokrat sebagai tulang punggung pengatur perekonomian pada awal
pemerintahannya. Militer menyadari tidak semua tugas negara dapat diemban
seorang diri apalagi mengatur keuangan, pembangunan, dan perekonomian negara.
Dalam sejarah Indonesia, keterlibatan teknokrat dan angkatan darat dalam arena
percaturan politik melahirkan rezim yang absolut (Nurjaya, Tanpa tahun:55).
Selain itu
Rendra juga mengkritik sastrawan-sastrawan dan teman-teman seperjuangannya di
dunia sastra. Ia merasa prihatin terhadap sastrawan yang sama sekali tidak peka
akan keadaan yang terjadi di negaranya. Rendra secara tegas mengkritik
sastrawan-sastrawan pada masa itu, yang terus-menerus menghasilkan karya yang
bermutu rendah dan erotisme. Padahal sebagai seorang intelektual dengan bahasa
sebagai sarana perjuangan sosial, sastrawan seharusnya ikut andil menjadi motor
penggerak.
Amanat yang terkandung
dalam puisi ini adalah penyair ingin menyampaikan sekaligus mengajak pada
masyarakat untuk keluar dari keterpurukan, baik dalam persoalan sosial,
pendidikan, ekonomi, dan birokrasi. Sudah saatnya Indonesia keluar dari persoalan
akut dengan membangun kemandirian dan tidak lagi bersandar/ mengandalkan pada
kekuatan asing.
Post a Comment for "Pendekatan Analitis dalam Puisi Sajak Sebatang Lisong"