Analisis Puisi Di Atas Batu Sapardi Djoko Darmono
Telaah
Makna Puisi Di Atas Batu-Di Atas
Batu merupakan salah satu puisi karya Sapardi Djoko Damono
yang dimuat dalam antologi Perahu Kertas
(1982). Baris pertama hingga keempat dari lima
baris puisi ini mendeskripsikan kerisauan hati tokoh ia yang tercantum dalam baris terakhir.Demi meyakinkan diri bahwa tokoh
ia sedang berada di tempatnya kini, ia
melempar-lemparkan kerikil ke tengah sungai, menggerak-gerakkan kakinya di air,
dan memandang keadaan alam di sekelilingnya. Penggunaan tanda hubung ganda (“--”)
pada permulaan baris terakhir semakin memperjelas pentingnya baris ini dalam
keseluruhan puisi dengan membuatnya berbeda dari baris-baris sebe-lumnya.
Puisi ini secara implisit menyinggung keadaan politik Indonesia pada dekade 1980-an yang diwarnai
dengan aksi pembredelan beberapa surat
kabar oleh rezim Orde Baru. Frasa matahari
yang hilang yang muncul pada baris keempat
kemungkinan besar merepresentasikan pembredelan harian Sinar Harapan oleh rezim
Orde Baru yang digambarkan dalam kalimat timbul
di sela goyang daun-daunan. Perlu diingat bahwa rezim Orde Baru dikuasai
oleh tentara berseragam hijau yang dilambangkan dengan daun dan kala itu Sinar Harapan bermetamorfo-sis menjadi
harian Suara Pembaruan sehingga
jelaslah maksud dari kalimat mata-hari
yang hilang - timbul di sela goyang daun-daunan pada baris ketiga.
Adapun,
judul Di Atas Batu dipilih untuk
menggambarkan kehidupan pada masa Orde Baru yang keras dan penuh tekanan,
terutama bagi sastrawan yang ti-dak bebas berkarya pada waktu itu.
Singkatnya,
Sapardi melalui tokoh ia ingin
memastikan bahwa dirinya be-nar-benar berada di tanah airnya, Indonesia,
terlepas dari perubahan-perubahan yang banyak terjadi pada dekade 1980-an itu.
Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Maulana (2012:21), dorongan hati
menulis puisi seorang penyair tidak datang begitu saja dari dunia tak dikenal,
tetapi datang dari pengalaman yang dihayatinya secara total.
Diksi dalam Puisi Di Atas Batu
Pilihan kata yang dipakai
oleh Sapardi dalam puisinya ini memakai unsur-unsur alam, baik yang berupa
makhluk hidup maupun benda mati, antara lain ba-tu (benda mati), daun
(tumbuhan), dan capung (hewan). Pilihan kata itu diguna-kan untuk
menggambarkan keadaan sosiopolitik Indonesia pada waktu itu, misal-nya
daun sebagai lambang tentara yang menguasai rezim Orde Baru.
Majas dalam Puisi Di Atas Batu
Majas, menurut Waluyo
(1987:83), adalah bahasa yang digunakan penyair
untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yaitu mengungkapkan
makna secara tidak langsung.
Baris
ketiga dan keempat sarat akan majas simbolik Frasa matahari yang hilang merupakan simbolisasi pembredelan harian Sinar Harapan; timbul di sela goyang daun-daunan mencer-minkan metamorfosis harian
tersebut menjadi harian menggambarkan bangkitnya harian tersebut yang
sepertinya mudah karena sudah ada jalan
setapak, tetapi menjadi sulit karena ha-rus mendaki tebing kali (merintis dari bawah). Adapun, beberapa ekor capung melambangkan para
elite politik dan konglomerasi yang bebas “beterbangan” pa-da masa Orde Baru.
Selain
itu, baris tersebut juga mengandung majas personifikasi, yaitu go-yang
daun-daunan dan jalan setapak yang
mendaki.
Rima dalam Puisi Di Atas Batu
Puisi Di Atas Batu
ini berima putus karena baris keempat tidak mengikuti persamaan bunyi yang
telah ada. Rima putus dalam puisi ini berpola a a a b a:
Rima awal juga ditemukan
dalam puisi ini, yaitu berulangnya kata ia pada awal baris pertama
hingga ketiga dan kelima.
Citraan dalam Puisi Di Atas Batu
Baris pertama dan kedua
puisi Di Atas Batu merupakan citraan gerak se-perti tampak pada kalimat ia
duduk di atas batu dan ia menggerak-gerakkan kaki-kakinya di air.
Selanjutnya, baris ketiga dan keempat merupakan citraan pengli-hatan seperti
tampak pada kalimat ia
pandang sekeliling.
Post a Comment for "Analisis Puisi Di Atas Batu Sapardi Djoko Darmono"