Kumpulan Cerpen : Keputusan dan Kepastian
Makin jelas ku dengar suara itu. Di
saat aku mulai terjaga, ada semacam kekuatan yang mendorongku bangkit dari
tempat tidur dan menerjang habis rasa kantukku. Ya, suara itu semacam suara
tangis yangsemakin menggema di telingaku. Perlahan aku buka pintu kamar dan
mengikuti asal suara tangis tersebut. Tidak salah lagi, suara itu datang dari
dalam kamar Rosi.
Tanpa ragu ku buka pintu kamar Rosi
yang biasanya memang tidak pernah dikunci. Mataku terbelalak disertai degup
jantung yang sangat kencang melihat sahabatku, Rosi melakukan sesuatu yang
mengerikan. Ia memegang gunting di tangan kanannya yang dalam hitungan detik siap
ditancapkan di leher jenjangnya. Langsung saja aku menyambar tangan kanannya
dan menjauhkannya dari leher putihnya itu. Dengan perlawanan yang sangat kuat
ia kembali menarik gunting yang masih digenggamnya kuat-kuatuntuk kembali
ditancapkan dilehernya. Terjadi pergulatan hebat antara aku dan dia yang
sama-samaberusaha mendapatkan gunting tersebut. Hingga akhirnya gunting itu
berhasil aku lepaskan dari cengkramannya.
“Masya
Allah, apa yang kamu lakukan? Istighfar
Rosi, istighfar...” teriakku. Seketika
air mataku menetes melihat keadaan sahabatku yang amat berantakan. Tanpa pikir
panjang gunting itu aku lempar ke atas lemari.
Ternyata malam ini hanya tinggal
kami berdua di rumah kost yangsudah
kami tinggali selama tiga bulan ini. Kami
memang mahasiswi baru sebuah universitas negeri di kota Surabaya. Panghuni kost lain sebagian ada yang pulang ke
kampung halaman dan sebagian lagi melakukan rutinitas bermalammingguan ria.
Biasanya hanya aku dan satu dua orang dari lima belas penghuni kostyang berada di kost saat malam minggu seperti ini.
Baca Juga : Cerpen Di Pelupuk Mata
Lebel satpam kost kini melekat pada diriku karena memang hampir setiap malam
minggu aku selalu berada di kost. Tidak
hanya malam minggu, malam-malam lainpun aku memang selalu berada di kost. Hal itu berbanding terbalik ketika
aku masih tinggal bersama kedua orang tuaku di kota asalku. Hampir setiap malam
minggu aku memiliki segudang agenda malamminguan. Aku selalu pergi bersama
teman-temanku hanya untuk sekadar nongkrong, nonton bioskop, main ke rumah
teman, atau bahkan teman-temanku datang ke rumah untuk bermalammingguan. Namun,
tidak di kota ini, aku benar-benar membatasi diri dan pergaulanku karena aku
menyadari, aku jauh dari pengawasan orang tua dan harus diriku sendiri yang
membatasi diri untuk tidak terjerumus dalam hingar-bingar pergaulan kota besar
seperti ini.
Yang aku herankan mengapa malam ini
Rosi tidak pergi bermalammingguan dengan kekasihnya yang dari mingu-mingu awal
masuk kuliah mereka sudah ‘jadian’.
“Kok
bisa sih Ros, cepet banget kamu bisa jadian sama Dio.”
“Bisa
dong, Rosi gitu loh.”
“Kenapa
kamu bisa yakin dengan Dio, padahal baru tiga hari kenal dia.”
“Ya
karena aku yakin sama dia, udah deh kamu gak akan pernah ngerti biar dijelasin
dari pagi sampe malem sekalipun.”
“Ih,
kalo aku sih ogah banget pacaran sama orang yang baru aku kenal. Kamu kan juga
belum tau dia itu cowok yang baik atau enggak.”
“Nadia
sayang, cinta itu memang nggak bisa detebak, nanti deh kalau kamu ngerasain
sendiri apa itu yang namanya cinta bakalan ngerti sendiri, susah jelasinnya.”
“Yah,
terserah kamu aja deh, tapi ingat loh ya...hati-hati, apa lagi sama cowok kota
kayak si Dio itu!”
“Udah
kamu tenang aja, percaya deh sama yang sudah berpengalaman, seperti aku ini.
Hehehe...”
Sekilas
aku teringat percakapan antara aku dan Rosi tiga bulan yang lalu.
*****
Malam ini aku benar-benar tidak
bisa tidur. Hanya bisa membolak-balikkan badanku di tempat tidur. Saat aku
membalikan badanku ke kanan aku melihat wajah teduh Rosi dalam tidurnya. Sangat
jauh berbeda ketika ia berusaha mengakhiri hidupnya dengan emosi yang meluap-luap
tadi. isak tangisnya masih tersisa dalam tidur lelapnya. Seperti bayi yang baru
saja dilahirkan. Ia begitu terlihat suci ketika sedang terlelap. Masih terngiang
dalam ingatanku apa yang dikatakan Rosi padaku setelah ia hampir saja
mengakhiri hidupnya. Rasanya hati ini tersayat-sayat mendengar pernyataan
sahabatku tadi.
“Aku
tidak bisa menolak ajakannya Nad, setan telah menguasai diriku. Seharusnya aku
tidak menuruti kata-katanya. Aku menyesal Nad. Benar-benar menyesal.”
Aku hanya bisa terdiam saat Rosi
mengatakan hal tersebut. Yang menjadi kekhawatiran besar dalam diriku adalah,
bagaimana bila kedua orang tua Rosi tahu bahwa anak gadis yang
dibangga-banggakannya sudah kehilangan mahkota berharga yang ia miliki? Sungguh
tidak dapat aku bayangkan bila hal itu terjadi.
Mau marah pada Rosi juga tidak ada
gunanya, toh semua ini sudah terjadi. Sebagai seorang sahabat aku merasa gagal
menjaga sahabatku. Padahal dulu Rosi adalah gadis pendiam yang mustahil ia bisa
melakukan hal semacam itu. Aku tidak menyangka Dio dengan mudahnya memutuskan
hubungan dengan Rosi setelah ia berhasil merenggut mahkota berharga yang Rosi
miliki. Tapi ini bukan sepenuhnya salah Dio. Biar bagaimanapun Rosi juga melakukan
kesalahan dalam masalah ini dan mugkin ini merupakan akibat dari kesalahan yang
telah ia perbuat.
Rosi menceritakan kronologi malam
mencekam itu. Malam yang seharusnya tidak terjadi dalam hidupnya. Sesekali air
matanya tumpah dan terisak-isak dengan eraman diujung ceritanya saat ia menceritakan
kejadian yang ia rasa menyakitkan. Tak ada komentar, aku hanya berusaha
menenangkan Rosi.
“Aku
takut tidak ada lagi lelaki yang maudenganku Nad, biar bagaimanapun setiap
laki-laki pasti menginginkan kesucian wanita yang akan dijadikan istri? Kalaupun
aku bisa menyembunyikannya, bagaimana jika suatu saat nanti lelaki yang menjadi
suamiku tahu bahwa aku sudah tidak suci lagi Nad?”
Deg,
rasanya aku mendapatkan pukulan keras saat Rosi menannyakan hal itu padaku.
“Sudahlah
Ros, yang sudah terjadi jangan disesali. Semua sudah terjadi dan waktu tidak
dapat diputar kembali. Yang terpenting saat ini, kamu harus bangkit dan
berjanji pada dirimu sendiri bahwa kamu tidak akan mengulangi kesalahan yang
sama. Mohon ampun pada Allah. Allah maha mengetahui apa yang ada dalam hati
hamba-Nya. Kamu jangan khawatir, jodoh sudah tertulis bahkan sebelum kamu
dilahirkan. Allah pasti menunjukan yang terbaik untukmu bila kamu benar-benar
menyesal dan bertaubat.”
Aku mencoba menghibur sekaligus
menasehati Rosi sebisaku sambil memeluk Rosi dan membelai rambutnya. Tak ada
jawaban dari Rosi hanya isak tangis yang aku dengar dan tangisan penyesalan
yang begitu mendalam.
*****
“Nadia, aku
takut...”
Pernyataan
Rosi menghentikan langkah kami yang sudah berada di depan sebuah apotek. Ya,
sudah dua minggu Rosi tak kunjung datang bulan. Spontan aku menyarankannya
untuk membeli test pack. Entah,
mengapa aku meyarankan demikian. Bagiku hal itu memang hal terbaik yang harus
dilakukan.
Tidak hanya Rosi yang merasa takut.
Aku pun juga merasakan demikian. Rosi mulai menampakkan kegelisahannya. Aku
mencoba bersikap biasa. Aku tutupi rasa gelisahku dengan keyakinan melangkah
maju masuk ke dalam apotek. Rosi menggenggam erat tanganku seperti seorang anak
kecil yang berlindung dibelakang ibunya saat memasuki tempat yang ia rasa asing
dan menakutkan.
“Cari
apa mbak?” tanya seorang pramuniaga.
“Emm,
ada test pack mbak?” jawabku dengan
santai.
Pramuniaga
itu menunjukkan berbagai macam merk, jenis, dan harga test pack yang tersedia. Aku memilih sebuah test pack yang paling murah kerena menurutku semua test pack dibuat dengan tujuan dan
fungsi yang sama.
*****
“Bismillah, bismillah, bismillah ya
Allah...”Berdua kami menutup mata dan mengucapkan Basmalah. Berharap hanya
muncul satu garis merah dalam test pack tersebut.
Kekonyolan terjadi ketika kami
mencoba test pack tersebut. Karena
kami sama-sama belum pernah memakainya, jadi kami tidak tahu cara menggunakannya.
Kamarku di pilih untuk tempat pengujian karena kamarku letaknyapaling ujung dan
dekat dengan kamar mandi agar seluruh penghuni kost tidak curiga dengan apa yang kami lakukan. Dengan
membolak-balik berkali-kali kertas yang bertuliskan cara pemakaian kami
langsung mengikuti instruksi yang tertulis pada kertas tersebut.
Masih dengan mata terpejam. Sembari
berpegangan tangan, dalam hitungan ke tiga kami bersiap membuka mata dan
melihat hasil pengujian test packtersebut.
Hanya ada satu garis merah yang muncul. Seakan tidak percaya, Rosi menggoyang-goyangkan
benda tersebut dan memang hanya ada satu garis merah disana. Dengan senyum
mengembang dan perasaan yang amat lega, sontak kami berpelukan dan mengucap
syukur “Alhamdulillah...”
“Rosi, hari ini menjadi pelajaran
berharga bagi kamu. Allah telah memberimu kesempatan dan jangan pernah kamu
mengulangi perbuatan itu lagi.” Nasehatku pada Rosi. “Iya Nad, kamu benar. Aku
janji tidak akan mengulanginya lagi. Alhamdulillah ya Allah... Alahamdulillah.”
Tegas Rosi. “Bukan padaku kamuberjanji, seharusnya pada dirimu sendiri dan yang
paling utama janji pada Allah...”
*****
Usai liburan semester ganjil Rosi
memutuskan untuk pindah kost. Hal
tersebut dilakukan karena ia ingin tinggal dekat dengan tempat kost Randy, pacar barunya yang ia kenal
dari facebook. Kali ini aku
benar-benar tidak bisa mencegah apa yang dilakukan Rosi. Segala nasehat dan
bujukan yang aku lontarkan sudah tidak mempan lagi. Sia-sia, Rosi tetap
bersikukuh dengan pendiriannya. Aku tak tahu harus berbuat bagaimana lagi. Rosi
benar-benar telah berubah. Ternyata dicambuk pun dia tidak merasakan jera.
Hand
phone berdering saat aku asyik
menyaksikan acara televisi. Aku lihat ada pesan masuk. Segera aku melihat nama
pengirim pesan tersebut dan ternyata pesan itu dikirim oleh Rosi. sudah dua bulan
aku dan dia tidak pernah salimg menghubungi dan tak tahu kabar masing-masing.
Kita sudah semakin jauh. Aku sedikit enggan membaca pesan tersebut. dengan
helaan nafas pendek dan dalam aku mulai membaca pesan tersebut.
Nadia,
maaf aku mau menanyakan sesuatu padamu. Kira-kira kamu tahu tidak hal apa yang
harus dilakukan untuk menggugurkan kandungan??
Aku
baca berulang-ulang pesan yang dikirimkan Rosi untukku. Benar-benar kaget dan
tak percaya dengan apa yang aku baca. ‘Rosi, ada apa denganmu? Apa kamu melakukan
perbuatan terkutuk itu lagi?’ pertanyaan itu melayang-layang dibenakku. Segera
aku mebuyarkan lamunan dan dengan cekatan aku menelopon Rosi untuk mengetahui
maksud dari pesan yang ia kirimkan. “Rosi apa maksud kamu?” tanyaku segara
setelah ia mengangkat telepon dariku. Hanya isak tangis yang aku dengar. Tak
ada jawaban, tak ada pertanyaan lagi yang muncul dari bibirku. Isak tangis
disertai suara tangis panjang yang terus aku dengar hingga akhirnya Rosi
memutus jaringan telepon dari seberang sana.
Hanya
terdiam.Televisi yang sedang menyala terasa hening bagiku. Sekilas percobaan
bunuh diri, wajah takut dan gelisah Rosi, penyesalan serta janji yangdiucapkan
Rosi melayang-layang di depanku. Bukan tayangan televisi yang aku lihat, namun
bayangan-bayangan itu yang terlihat bagai adegan sebuah film yang diputar
ulang.
Rosi,
sebagai seorang sahabat aku telah berusaha menjagamu, menarikmu dari jeratan
tali setan, namun apa daya bila dirimu sendirilah yang menjeratkan tali itu
pada tubuhmu. Tidak ada yang bisa melepaskannya selain kekuasaan Allah dan
tentunya dirimu sendiri. Semoga suatu saat Allah memberikan hidayah untukmu dan
semoga apa yang terjadi pada dirimu kali ini menjadi cambuk yang benar-benar
berhasil membuatmu jera. Dari kejadian demi kejadian yang Rosi alami, membuatku
belajar bahwa memang hanya diri kita sendiri yang sanggup membentengi dan
mengontrol segala perbuatan yang akan dilakukan dengan menimbang baik dan buruk
dampak yang akan kita petik dikemudian hari.
Memang
benar tidak ada penyesalan yang datang di awal. Penyesalan selalu datang di
akhir. Sebelum kita menyesal, kita harus berfikir berkali-kali bila ingin
melakukan sesuatu.Terima kasih Rosi kau telah memberikanku pelajaran hidup yang
begitu berharga.
Post a Comment for "Kumpulan Cerpen : Keputusan dan Kepastian"