Blogging Sastra Maya di Indonesia
Sekilas Tentang ‘Sastra
Maya’
Entah
kapan persisnya istilah ‘Sastra Maya’ muncul dan siapa orang pertama yang
memperkenalkan istilah tersebut. Yang jelas belakangan ini, istilah tersebut booming seiring dengan maraknya publikasi
puisi dan cerpen di dunia maya. Bila dibandingkan dengan media cetak seperti
koran, tabloid dan majalah yang dapat dilihat sekaligus bisa dipegang bentuk
fisiknya, maka tidak dengan dunia maya.
Dunia
maya sendiri kiranya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dapat dilihat
sehingga terkesan ada, namun sebenarnya tidak benar-benar ada. Kita hanya dapat
melihatnya berupa tulisan dan gambar mati/bergerak serta mendengarnya berupa
suara, tapi kita tidak pernah bisa merabanya. Yang dapat kita sentuh hanyalah
layar monitor komputer atau ponsel sebagai tempat di mana dunia maya itu
divisualisasikan.
Seperti
halnya dunia maya yang teramat luas, demikian pula tidak ada batasan tempat
untuk karya sastra di dunia maya. Memang ada orang yang berpendapat bahwa
sastra maya adalah karya fiksi yang belum terpublikasikan di media massa dan
dibuat hanya untuk dunia maya. Namun sebenarnya semua karya sastra yang
dipublikasikan di dunia maya dapat disebut sebagai sastra maya.
Sastra
maya dapat dipublikasikan di website
berita ternama atau situs berita kecil-kecilan, jejaring sosial, maupun blog
pribadi. Hal ini termasuk karya yang sudah pernah dimuat di media massa,
kemudian dipublikasikan ulang di dunia maya, atau sebaliknya. Soal mutu, tentu
berpulang pada kemampuan pengarangnya masing-masing, serta perbedaan selera
dan standar pembaca dalam menentukan tinggi rendahnya mutu sebuah
karya.
Dibanding
sastra koran, sastra maya memiliki kelebihan dalam kecepatan publikasi dan
daya jangkau pembaca. Seorang penulis tidak perlu menunggu waktu lama jika
ingin mempublikasikan karyanya. Cukup menyelesaikan tulisan, pengarang bisa
memamerkan tulisannya itu kapan pun dia mau, dan pembaca dari seluruh penjuru
bumi yang sudah terhubung jaringan internet dengan dapat langsung melihat karya
tersebut. Keleluasaan semacam ini tidak diberikan oleh media cetak.
Pengarang yang mengirimkan karyanya ke media cetak harus melalui proses
seleksi oleh redaktur, kemudian menunggu giliran pemuatan yang tak jarang
memakan waktu berbulan-bulan. Belum lagi distribusi media cetak yang terbatas,
hingga tidak mungkin sanggup menjangkau pembaca dari seluruh dunia,
kecuali jika media cetak itu memiliki website dan mempublikasikan
ulang karya tersebut dalam website
mereka.
Contoh Sastra Maya Berupa Blog Artikel Kami
Perlahan
namun pasti, ruang publikasi karya sastra bergeser dari media cetak menuju
dunia maya. Yang semula teks tercetak beralih ke dalam format digital. Bukan
mustahil kelak sastra koran akan mati dan bereinkarnasi sepenuhnya sebagai
sastra maya. Kemajuan teknologi internet pada akhirnya memang dapat meniadakan
batasan-batasan geografis, ras, budaya dan agama, juga menghapus peran redaktur
dalam menentukan lolos tidaknya suatu karya sastra.
Namun
suka atau tidak, sampai detik ini kesuperioritasan media cetak dalam
menjadikan seseorang sebagai pengarang tetap diakui banyak kalangan. Di masa
depan, media cetak bisa kehilangan pembaca, tapi tidak di masa kini. Tak heran
jika banyak orang mengaku tak memerlukan koran untuk mengekpresikan karya,
namun pada saat bersamaan tetap mengirimkan tulisannya ke koran sambil
diam-diam berharap karyanya dapat tampil di koran tersebut. Hal ini terjadi
karena karya sastra yang dimuat di dunia maya masih dianggap sebagai karya kacangan,
sementara karya sastra yang dimuat di koran dipandang lebih tinggi mutunya
karena sudah melalui proses seleksi oleh redaktur koran bersangkutan. Kenyataannya,
mutu sastra maya memang sering berada di bawah mutu sastra koran dikarenakan tidak menyentuh analisis kultural dari sebuah karya sastra, kecuali
karya-karya yang sebelumnya sudah terbukti menembus koran-koran besar dan
kemudian dipublikasikan ulang di dunia maya.
Tak
heran jika akhirnya karya sastra maya dituding sebagai penyebab merosotnya
estetika sastra di tanah air karena begitu banyak puisi dan cerpen minim
kualitas bertebaran di dunia maya. Sudah begitu, karena orang bisa menulis dan
mempublikasikan apa saja dengan estetika yang dia buat sendiri, maka tak
banyak kritik yang terbangun karena karya sastra menjadi terlalu liar. Orang
bebas memposting puisi dan cerpen apa saja sesuka hatinya, tanpa harus pusing
mempertimbangkan aspek-aspek kesusastraan yang sejak lama memiliki aturan
sendiri.
Persoalannya,
seperti sudah disinggung di awal tulisan, dunia maya memang bukan media
cetak. Dunia maya adalah wadah yang tepat bagi penulis pemula untuk
memperkenalkan karyanya kepada khalayak pembaca. Di saat sebuah karya
dipublikasikan di facebook misalnya, biasanya akan muncul beragam
komentar, baik komentar yang menyukai maupun yang tidak menyukai. Komentar yang
menyukai umumnya berisi puji-pujian yang entah asli atau palsu, sementara
komentar yang tidak menyukai dapat berupa kritik (bahkan hinaan) yang tentu saja
dapat dijadikan masukan penting bagi si pengarang untuk memperbaiki karyanya di
kemudian hari. Dengan begitu, aspek yang harus diperhatikan adalah bagaimana cara dan tujuan dalam apresiasi suatu karya.
Dengan
adanya sastra maya, produktifitas penulis pemula dapat berkembang. Mereka dapat
menulis dan langsung mempublikasikan hasilnya setiap saat, tidak perlu lagi
menunggu ruang sastra koran yang biasanya hanya ada sekali dalam seminggu,
atau majalah sastra yang umumnya terbit sebulan sekali.
Mereka
yang selama ini aktif menulis di internet semestinya dapat menerbitkan antologi
puisi atau cerpen independen. Dengan dana yang digalang secara swadaya, ini
menjadi peluang untuk melakukan hal serupa seperti dilakukankan para penulis
mapan. Keuntungan tak melulu diukur dengan materi. Kendati honornya sudah tak
menjanjikan seperti royalti yang diberi oleh penerbit, tapi hal ini dapat
menjadi pijakan awal untuk berkarya lebih besar di masa depan.
Fenomena
sastra maya musti mendapat apresiasi positif. Bangunannya yang telah menjadi
'metropolitan' harus terus digarap dan dikembangkan oleh para 'insinyur maya'
sendiri. Bila proses pembelajaran terus berlangsung secara kontinu dan jalinan
pertemanan makin sinergis, bukan tak mungkin kebangkitan sastra Indonesia
bermula dari dunia tak kasat mata ini. Hal tersebut sesuai dengan prinsip sastra, yaitu pendidikan sastra sejak usia dini.
Di
tengah cercaan sebagian kalangan mengenai minimnya mutu sastra maya kita,
ada baiknya jika para pelaku sastra maya berusaha keras untuk meningkatkan mutu
tulisan mereka. Produktiflah menulis sebanyak-banyaknya di awal karir sebagai
pengarang. Setelah itu, perlahan-lahan produktifitas justru harus dikurangi.
Kecenderungan untuk menulis dengan sangat produktif, lambat laun harus
diganti dengan kecenderungan merevisi berulangkali sebuah puisi atau cerpen
sampai benar-benar berhasil menjadi karya sastra. Kiranya
bukan pada tempatnya memandang sastra maya sebagai ‘sampah’ yang baunya dapat
meracuni atmosfer kesusastraan Indonesia, malah sebaliknya harus diterima
sebagai sebuah ‘pembebasan’ yang untuk sejenak dapat melepaskan pengarang dari
belenggu media cetak. Sastra maya tak ubahnya pelabuhan sementara bagi para
penulis pemula sebelum menemukan pelabuhan terakhirnya. Ibarat sekolah tempat
mereka saling belajar dan mengajar untuk meningkatkan mutu tulisan
masing-masing. Seperti kawah candradimuka yang pada akhirnya akan melahirkan
penulis-penulis tangguh, bukan hanya tangguh dalam teknik menulis, namun juga
tahan terhadap siraman pujian maupun cercaan.
Post a Comment for "Blogging Sastra Maya di Indonesia"