Jenis-Jenis Drama, Bentuk-Bentuk Drama, dan Aliran-Aliran Drama
Drama merupakan karya sastra
yang ditampilkan dan dipertontonkan untuk menghibur masyarakat. Budianta, dkk (2002:95), menyatakan bahwa drama merupakan
sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal
adanya dialog atau percakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. Dalam perkembangannya, drama mempunyai
beberapa bentuk dalam pementasan dan penyajiannya. Hal tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang mendukung terjadinya perbedaan bentuk drama,
diantaranya karena perkembangan jaman yang menuntut manusia untuk berbudaya,
kejenuhan para penikmat sastra atau penonton drama karena bentuk-bentuk yang
disajikan selalu sama, kekreatifan dan ide-ide para pelopornya. Hal tersebut
perlu diketahui oleh para pelajar dan mahasiswa dalam mengetahui bentuk-bentuk
dari drama yang dipakai dalam pementasan. Hal tersebut dimaksudkan untuk
mempelajari drama dan untuk membedakan drama yang bisa ditampilkan untuk
kalangan pelajar dan mahasiswa, baik untuk diajarkan atau untuk proses
pembelajaran.
Mempelajari bentuk drama
membuat kita lebih paham akan penyajian drama yang tepat untuk ditampilkan
dalam situsi yang diinginkan. Hal-hal yang bisa kita dapat dari mempelajari
bentuk-bentuk drama yaitu kita bisa mengatur alur, tempat, penokohan, dan tema
cerita yang ingin kita tampilkan sesuai dengan acara atau peringatan tertentu.
Hal tersebut tentunya dimulai dari pemilihan bentuk drama yang akan dipakai
dalam pementasan.
Bentuk-bentuk drama memiliki
persamaan dan perbedaan pada masing-masing genrenya. Meskipun demikian bentuk
drama tetap tidak sama dalam hal penyajiannya. Dapat disimpulkan bahwa drama
itu memiliki ciri khas tersendiri dalam penyajiannya, tidak sama dengan bentuk
drama yang lainnya.
A. Pengertian Bentuk Drama
Kamus Umum Bahasa Indonesia
(1984) mendefinisikan bahwa bentuk merupakan wujud dan rupa dari sesuatu.
Bentuk adalah suatu usaha yang dimiliki untuk menampilkan wujud dan rupa
sesuatu yang ada, sedangkan bentuk drama adalah suatu wujud dan rupa yang
dimiliki oleh drama itu sendiri untuk menampilkan dan memepertahankan
eksistensinya dalam suatu karya sastra.
Dalam mempelajari bentuk-bentuk
drama, terdapat beberapa pendapat yang mengemukakan tentang adanya bentuk drama
berdasarkan dasar-dasar yang ada pada drama. Menurut Wiyanto (2002:7;
Tambajong, 1981:24) bentuk-bentuk drama dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan
dasar-dasar drama yang digunakannya, yaitu (1) bentuk drama berdasarkan
penyajian lakon, (2) bentuk drama berdasarkan sarana, dan (3) berdasarkan ada
dan tidaknya naskah. Selain itu, Arif
(2009), menambahkan pembagian bentuk drama berdasarkan (1) masanya, dan
Tambajong (1981:24) menambahkan pula, bentuk drama dapat dibedakan berdasarkan (1) modus bahasa dan (2) modus
aliran.
B.
Bentuk-Bentuk
Drama
1.
Berdasarkan
Penyajian Lakon
Menurut Wiyanto (2002:7),
dilihat dari cara bagaimana para pemain drama itu menyajikan cerita di atas
panggung dan bagaimana tokoh itu berlakon, drama dapat dibagi menjadi beberapa
bentuk drama yaitu: (1) tragedi (2) komedi (3) tragekomedi (4) opera (5)
melodrama (6) farce (7) tablo, dan (8) sendratari. Dewajati (2010:42): (9)
parodi. Semi (2010): (10) drama heroik (11) komedi tingkah laku
(12) komedi sentimantal (13) drama propaganda (14) drama sejarah, dan (15)
pantomime (vulgas sentimental). Suciyanti (2010): (16) drama misteri dan (17)
drama laga atau action. Dan Arif
(2009): (18) operet (19) lelucon dan (20) passie.
a. Tragedi
Wiyanto (2002:7), drama tragedi atau drama duka cerita
adalah drama yang penuh kesedihan. Drama ini menyuguhkan drama yang penuh
kesedihan, sering pula drama jenis ini disebut drama duka cita. Sedangkan
menurut Dewojati (2010:42), tragedi tidak ada hubungannya dengan perasaan
sedih, air mata bercucuran, atau kecengengan lain. Akan tetapi, yang dituju
oleh drama jenis ini adalah kegoncangan jiwa penonton sehingga tergetar oleh
peristiwa kehidupan tragis yang disajikan para aktornya. Jadi, dalam drama ini
cerita drama dibuat seolah-olah membawa penonton untuk merasakan apa yang
disajikan dalam cerita drama. Tokoh utama yang ditampilkan selalu menampakkan
kesedihan dan kesenduan dalam cerita tersebut. Kegagalan dan kekecewaan selalu
digambarkan dalam alur cerita drama dan itu wajib dihadirkan dalam drama jenis
ini, namun semata-mata hanya untuk hiburan dan cerminan bagi para penontonnya.
b. Komedi
Wiyanto (2002:7), drama komedi atau drama suka cerita adalah
drama penggeli hati. Dewojati (2010:42),
Asal kata komedi adalah comoida, yang
artinya membuat gembira. Pelaku utama dalam sebuah lakon komedi biasanya
digambarkan sebagai pembawa ide gembira. Dewojati membagi drama komedi menjadi
dua massa, yaitu (1) komedi lama dan (2) komedi baru.
Sebenarnya drama komedi ini berlawanan dari drama tragedi yang
menyuguhkan duka cita. Drama ini menyajikan suatu cerita yang lucu, yang dapat
membuat gelak tawa para penonton. Kelucuan drama ini berasal dari kata-kata
yang diucapkan para tokoh drama tersebut, dan kata-kata yang diambil itu
berasal dari ujaran atau percakapan sehari-hari di masyarakat.
Menurut Semi (2010), ciri drama komedi adalah: (1) menampilkan tokoh yang selalu diperlakukan secara rendah, (2)
menggambarkan sesuatu yang dekat sekali hubungannya dengan apa yang kita kenal
dalam kehidupan atau setidaknya kita merasa bahwa hal itu mungkin saja terjadi,
(3) apa yang terjadi muncul dari tokoh itu sendiri, bukan karena ciptaan
situasi. Sedangkan situasi hanya merupakan landasan tumpu yang memberi
kemungkinan sesuatu itu terjadi, dan (4) gelak tawa yang muncul oleh lakon ini
adalah merupakan gelak tawa yang dihasilkan oleh tokoh yang mendapatkan segi-segi lucu dari perilaku
mereka.
c. Tragekomedi
Wiyanto
(2002:7), drama tragekomedi adalah perpaduan antara drama tragedi dan drama
komedi. Dewojati (2010:42), adanya drama tragedi-tragedi secara terbuka dan
sederhana menggabungkan secara jelas humor dan kesedihan. Jadi drama ini
menggabungkan unsur tawa dan kesedihan yang dibangun dari alur cerita, tokoh,
percakapan, dan tingkah laku pemain drama. Kesedihan dan kesenangan datang
silih berganti dalam penceritaannya. Drama ini menyajikan perasaan yang membuat
penontonnya tidak bosan untuk menonton drama ini. Akhir dari cerita drama ini
ada dua kemungkinan, yaitu kesedihan dan kegembiraan.
d. Opera
Wiyanto (2002:7), drama opera adalah drama yang dialognya
dinyanyikan dengan diiringi musik. Sedangkan menurut Arif (2009), drama opera
adalah drama yang mengandung musik dan nyanyian. Para pemain drama ini
menggunakan metode bernyanyi dalam mendramakan alur cerita. Perbedaan dari segi
warna suara dan pita suara mereka ditonjolkan sendiri-sendiri, tidak ada
kesamaan dari segi suara. Karakter yang dimiliki setiap pemainnya berbeda
dengan pemain yang lain, begitu juga dengan musik yang mengiringinya.
e. Melodrama
Wiyanto (2002:7), drama melodrama adalah drama yang dialognya
diucapkan dengan iringan melodi atau musik. Drama melodrama berasal dari drama
opera yang dikembangkan dengan genre tersendiri, yaitu para pemainnya hanya
perlu mengikuti musik yang mengiringinya. Kadang kala mereka bernyanyi dan
kadang kala pula mereka tidak bersuara atau berdialog, hanya ada gerak-gerik
yang dilakonkan. Menurut Dewojati (2010:42), dalam penyajian drama melodrama
berpegang pada keadilan, moralitas yang keras, yaitu yang baik akan mendapat
ganjaran, sedangkan yang jahat akan mendapat hukuman. Dicirikan oleh Semi
(2010), bahwa drama melodrama (1) mengetengahkan suatu tokoh atau
subyek yang serius tetapi tokoh itu merupakan tokoh yang diadakan tidak outentik, (2) mata rantai
sebab-akibatnya tidak dapat dipertanggungjawabkan, dalam arti bahwa sesuatu itu
muncul secara kebetulan, (3) emosi yang ditimbulkan cenderung untuk berlebihan
bahkan mengarah pada sentmentalis,
dan (4) sang pahlawan senantiasa memenangkan perjuangan.
f.
Farce
Wiyanto (2002:7), drama farce
adalah drama yang menyerupai dagelan, tetapi tidak sepenuhnya berisi dagelan.
Menurut Semi (2010), Farce merupakan drama yang berhubungan
erat dengan komedi. Bertujuan memancing tawa dan rasa geli dengan cara yang
berlebih-lebihhan tanpa didukung segi psikologis yang mendalam. Perwatakan dan
kecerdasan tidak begitu penting, yang lebih penting adalah kemampuan
menciptakan secara tepat situasi yang lucu. Umumnya agak kasar dan kurang
sopan. Oleh sebab itu farce cenderung menggambarkan tokoh-tokoh yang bandel dan
kurang sopan.
Unsur yang dibawa drama ini tetap tentang tawa dan kebahagiaan
penontonnya. Kelucuan itu berasal dari kata dan perbuatan para pemain drama.
Hampir sama dengan komedi, hanya saja genre yang dibuat dalam drama ini
berbeda, hanya mementingkan kelucuan saja. Semi (2010) mencirikan farce: (1) lebih memperlihatkan plot dan situasi daripada karakteristik, (2)
tokoh-tokoh yang ditampilkan mungkin ada, tetapi kemungkinan itu tipis, (3)
menimbulkan atau memancing tawa secara berlebihan atau kelucuan yang tidak
karuan, dan (4) segala yang terjadi diciptakan oleh situasi bukan tokoh.
g. Tablo
Wiyanto (2002:7), drama tablo adalah jenis drama yang
mengutamakan gerak. Menurut Arif (2009), dalam drama ini para pemainnya lebih
mengutamakan segi gerak dan para pemainnya tanpa mengucapkan dialog.
Suara-suara alat musik (seperti gendang) atau sejenisnya digunakan untuk
mempertegas pemainnya, dan drama ini lebih menonjolkan kekuatan akting para
pemainnya.
h. Sendratari
Menurut Wiyanto (2002:7), drama sendratari adalah gabungan
antara seni drama dan seni tari di mana para pemainnya adalah penari-penari
berbakat. Dalam drama ini tidak ada dialog. Sedangkan menurut Infu5 (2011), sendratari merupakan gabungan drama atau cerita yang
disajikan dalam bentuk tarian tanpa adanya dialog, biasanya diiringi oleh musik
(gamelan). Seperti yang telah dijelaskan, bahwa drama sendratari
merupakan drama yang menyuguhkan tarian-tarian dalam mendramakan drama dan
drama ini juga diiringi musik dalam penyajian tarian dramanya. Dalam drama ini
tidak ada dialog yang mengatur alur cerita, tetapi ada sedikit narasi yang
digunakan untuk mengetahui cerita yang dimainkan.
i.
Parodi
Menurut Dewojati (2010:42), parodi berasal dari kata Paradia, di mana drama ini menyajikan
lagu-lagu tiruan yang memlesetkan syair atau prosa. Drama ini bersifat seperti
lelucon, yang menghibur para penontonnya. Jadi drama jenis ini hampir mirip
dengan drama komedi atau dagelan, hanya saja dalam drama ini menampilkan dialog
dramanya dengan cara sedikit melagukannya.
j.
Drama Heroik
Menurut Kamus Besar (online), drama heroik adalah drama yang merupakan peniruan bentuk tragedi
dan yang selalu bertemakan cinta dan nama baik. Aristoteles dalam Dewojati
(2010:42), menjelaskan hero atau
tokoh utama yang menjadi pahlawan drama jenis ini biasanya diarahkan oleh plot
cerita pada jalan menuju penderitaan setelah itu, sang tokoh digambarkan
memiliki kesadaran yang lebih luas baik tentang dirinya sendiri maupun
dunianya. Drama ini merupakan drama yang menceritakan tentang perjuangan
seseorang untuk menggapai cita-cita dan keinginannya yang selama ini belum
tercapai.
k.
Komedi Tingkah Laku
Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia (1984), mendefinisikan “tingkah” sebagai olah (perbuatan) yang
aneh-aneh atau yang tidak sewajarnya, dan “laku” sebagai perbuatan, kelakuan;
cara menjalankan atau berbuat. Jadi drama komedi tingkah laku merupakan
perbuatan atau kelakuan yang diluar dari kewajaran (aneh-aneh) yang
mengonotasikan kepada tawa atau kelucuan.
Drama komedi tingkah laku
merupakan perkembangan dari drama komedi. Di dalam drama ini lebih menonjolkan
tingkah laku tokoh-tokoh drama dengan tingkah yang lucu dan konyol, yang
membuat gelak tawa para penontonnya. Komedian terkenal yang menggunakan drama komedi
tingkah laku adalah Mr. Bean, dia menggunakan tingkah-tingkah yang konyol dalam
komediannya.
l.
Komedi Sentimental
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
(1984), medefinisakan sentimentil
adalah mudah merasa, mudah terpengaruh oleh perasaannya. Drama komedi
sentimental adalah drama yang menampilkan lelucon. Dilain sisi drama ini
menggugah hati para penonton. Jadi drama komedi sentimental adalah drama yang
menyuguhkan kelucuan yang mengandung pesan yang ingin disampaikan kepada para
penikmat sastra drama.
m.
Drama Propaganda
Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia (1984), mendefinisikan propaganda adalah penyiaran
penerangan atau paham yang disiarkan dengan maksud mencari pengikut atau
bantuan. Sapardi Djoko Damono (1994: 3) dalam Hidayat (2011) menganggap
propaganda sebagai bagian dari nasihat atau godaan untuk melakukan sesuatu.
Sastra yang ‘menggoda’ untuk melakukan sesuatu itulah yang disebut sastra
propaganda. Jadi drama propaganda adalah drama yang di dalamnya terdapat unsur
menyusupi paham untuk menggoda kepada para penontonnya untuk suatu tujuan
tertentu yang diinginkan. Dan drama ini memang bertujuan untuk propaganda suatu
organisasi atau kelompok.
Drama jenis ini dahulu digunakan para penjajah Jepang dalam usahanya
menguasai wilayah jajahannya. Seperti dikutip dari laman milik
Ahid Hidayat, menjelaskan bahwa usaha jepang untuk propagandanya adalah dengan diterbitkannya drama: Djawa
Hookookai Keimin Bunka Shidosho (Rombongan Sandiwara Keliling, Poesat
Keboedajaan) seperti Panggoeng Giat Gembira, Lakon Sandiwara dan
Leloetjon.
n.
Drama Sejarah
Suciyanti
(2010) dalam Elizabeth Lutters (2006:35) drama sejarah
adalah drama yang yang menceritakan tentang kejadian cerita kisah-kisah sejarah
di masa lampau, baik tokoh maupun peristiwanya yang memang terjadi di masa itu.
Sedangkan menurut Cikki (2012), drama
misteri adalah drama yang menyajikan kisah sejarah dengan tokoh dari
peristiwanya. Drama ini bertujuan untuk mengenang peristiwa sejarah yang telah
terjadi di suatu tempat
o.
Pantomime (vulgas
sentimental)
Menurut Arif (2009), pantomim adalah drama
yang ditampilkan dalam bentuk gerakan dan isyarat saja. Jadi Pantomime
adalah drama yang menyajikan drama hanya dengan gerak tubuh dan isyarat saja
tanpa ada kata-kata yang melengkapi suatu cerita drama. Tidak ada dialog dalam
cerita antara lawan main tokoh dengan tokoh yang lain. Meskipun tidak ada teks
naskah atau dialog, namun drama jenis ini tetap terdapat alur cerita yang
mengisahkan drama tersebut. Tokoh terkenal yang menggunakan drama jenis ini
adalah Charlie Chaplin.
p.
Drama Misteri
Menurut Cikki (2012), drama
misteri adalah drama yang menahan perhatian penonton
dengan suspense atau ketegangan, baik yang berasal dari
tindak kriminal atau makhluk gaib. Drama jenis ini menampilkan cerita yang berbau hal-hal
gaib, mistis dan supranatural. Para pemain dan ceritanya dibuat seperti dalam
keadaan nyata di masyarakat.
Menurut Suciyanti (2010) dalam Elizabeth
Lutters (2006:35), drama misteri dibagi lagi menjadi tiga bentuk, yaitu:
1)
Kriminal, misteri yang sangat terasa unsur keteganyannya atau suspense dan
biasanya menceritakan seputar kasus pembunuhan. Si pelaku biasanya akan menjadi
semacam misteri karena penulis skenario memperkuat alibinya. Sering kali dalam
cerita jenis ini beberapa tokoh bayangan dimasukkan untuk mengecoh penonton.
2)
Horor, misteri yang bercerita tentang hal-hal yang berkaitan dengan roh
halus.
3)
Mistik, misteri yang bercerita tentang hal-hal yang bersifat klenik atau
unsur gaib.
q.
Drama Laga atau Action
Menurut
Cikki (2012), drama laga adalah drama yang banyak menampilkan
adegan konfrontasi baik dengan sedikit atau banyak thriller, dengan seting tradisional, modern, maupun fiksi ilmiah. Jadi drama laga adalah drama yang menampilkan
tentang perkelahian dan pertempuran. Drama jenis ini mengajak para penonton
untuk mengolah emosi mereka untuk ikut kedalam alur cerita yang ditampilkan.
Seperti menghadirkan adrenalin
tersendiri dalam diri drama ini.
Menurut
Suciyanti (2010) dalam Elizabeth Lutters (2006:35), drama laga di bagi lagi
menjadi dua, yaitu:
1) modern,
cerita drama yang lebih banyak menampilkan adegan perkelahian atau pertempuran,
namun dikemas dalam setting yang modern. Contoh jenis sinetron ini misalnya
Deru Debu, Gejolak Jiwa, dan Raja Jalanan.
2)
tradisional, cerita drama yang juga
menampilkan adegan laga, namun dikemas secara tradisional. Beberapa sinetron
yang termasuk jenis ini antara lain Misteri Gunung Merapi, Angling Dharma, Jaka
Tingkir, dan Wali Songo. Untuk jenis drama laga ini biasanya skenario tidak
banyak memakai dialog panjang, tidak seperti skenario drama tragedi atau
melodrama yang kekuatannya terletak pada dialog. Jenis ini lebih banyak mengandalkan
action sebagai daya tarik
tontonannya. Penontonnya bisa merasakan semangat ketika menonton film ini.
r.
Drama
Operet
Menurut Arif (2009), operet atau operette adalah opera yang ceritanya
lebih pendek. Sedangkan menurut Wiyanto (2002:7), opera yang pendek namanya
operet. Jadi dapat dikatakan bahwa operet tidak lain adalah opera. Hanya saja
dalam operet ceritanya lebih singkat.
s. Lelucon
Menurut Arif (2009), lelucon
atau dagelan adalah drama yang lakonnya selalu bertingkah pola jenaka dan
merangsang gelak tawa penonton.
t.
Passie
Arif (2009),
passie adalah drama yang mengandung unsur agama atau relijius yang merupakan
drama penggugah rohani bagi setiap penontonnya. Drama ini memang sengaja dibuat
untuk dipertunjukkan dalam situasi yang agamis. Misalkan dalam acara keagamaan
di gereja yang menampilkan drama tentang kisah Yesus Kristus.
Baca Juga :
Baca Juga :
Unsur-Unsur Drama
Pengertian Drama
Perkembangan Drama di Indonesia
2.
Berdasarkan
Sarana
Menurut Wiyanto (2002:7),
sarana adalah bagian dari cara bagaiman suatu peristiwa atau kejadian itu dapat
disampaikan kepada khalayak umum. Dalam drama ini pun terdapat sarana tentang
bagaimana drama itu bisa disajikan kepada para penikmat drama. Adapun
jenis-jenis penyampaian drama berdasarkan sarananya adalah:
a.
Drama
Panggung
Menurut
Wiyanto (2002:7), drama panggung adalah drama yang dimainkan di atas panggung
pertunjukkan. Dan para penontonnya dekat dengan para pemain drama dan secara
langsung drama itu disajikan dihadapan penontonnya. Penonton bisa merasakan dan
mengikuti cerita drama yang dilakonkan tanpa ada penghalang untuk menikmatinya.
b.
Drama
Radio
Menurut Wiyanto (2002:7), drama radio
adalah drama yang tidak bisa dilihat dan diraba, tetapi hanya bisa didengarkan
oleh penikmat drama. Drama radio adalah drama yang direkam kedalam bentuk
suara. Penikmat drama tidak bisa melihat dan meraba para pemainnya secara
langsung. Hanya suara para pemainnya yang bisa dinikmati dalam drama ini.
Kelebihan drama ini adalah drama bisa diputar sewaktu-waktu dan kehendak yang
diinginkan, dan dapat pula disiarkan secara langsung.
c.
Drama
Televisi
Menurut Wiyanto (2002:7), drama televisi
adalah drama yang bisa dapat didengar dan dilihat oleh para penikmat drama.
Hanya saja penonton tidak secara langsung berada di tempat di mana drama
tersebut dimainkan. Kelebihan dari drama televisi ini sama dengan drama radio,
yaitu dapat ditayangkan secara langsung, dan dapat pula direkam terlebih dahulu
dan ditayangkan sewaktu-waktu di acara-acara televisi.
d.
Drama
Film
Menurut Wiyanto (2002:7), drama film
adalah drama yang hampir sama dengan drama televisi. Perbedanya, drama film
menggunakan layar lebar dan biasanya dipertunjukkan di bioskop-bioskop. Para
penonton atau penikmat drama hanya bisa melihat pementasan drama di
gedung-gedung bioskop saja. Namun tak jarang pula, drama film disiarkan di
acara-acara televisi.
e.
Drama
Wayang
Menurut Wiyanto (2002:7), ciri khas
tontonan drama adalah ada cerita dan dialog, dan semua tontonan yang mengandung
cerita disebut drama. Drama wayang merupakan pertunjukan yang memilki alur
cerita., hanya saja pemain yang dimainkan dalam drama wayang ini bukanlah manusia,
melainkan wayang yang terbuat dari kulit lembu. Yang memainkan drama ini hanya
satu orang saja atau dua orang (duet) yang disebut sebagai dalang. Dalang
inilah yang mengetahui alur cerita, watak para tokoh, dan sifat yang dimiliki
para wayang.
f.
Drama
Boneka
Menurut Wiyanto (2002:7), drama boneka
adalah drama yang menggambarkan tokoh dengan boneka yang dimainkan oleh
beberapa orang. Drama boneka dimasukkan ke dalam bentuk drama karena drama
jenis ini juga memilki alur cerita, seperti drama wayang. Boneka yang digunakan
berfareasi, dari yang kecil sampai berukuran besar yang di dalamnya terdapat
manusia yang memainkannya. Perbedaan drama boneka dengan drama wayang adalah
drama boneka boleh ada atau tidak seorang dalang dalam mengatur cerita tersebut.
3.
Berdasarkan
Ada atau Tidaknya Naskah
Menurut
Wiyanto (2002:7), berdasarkan ada dan tidaknya naskah yang dipergunakan dalam
drama dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) drama tradisional dan (b) drama
modern:
a. Drama Tradisional
Drama tradisional merupakan pertunjukan
seni yang berasal dari setiap daerah yang memilki seni sandiwara. Dalam drama
ini, para pemainnya tidak menggunakan naskah untuk dialog, hanya menggunakan
catatan kerangka cerita. Dalam memainkan drama ini terdapat resiko yang sangat
besar, karena para pemainnya tidak menggunakan naskah, mereka berdialog secara
spontan.
b. Drama Modern
Berbeda dengan drama tradisonal, drama
modern sudah menggunakan naskah. Para pemainnya disiplin dalam memainkan peran
yang dilakonkan, baik dialog dan gerak-geriknya. Dengan kata lain, pemain dalam
drama ini benar-benar menghafalkan isi dari naskah yang dimainkan.
4.
Berdasarkan
Masanya
Masa adalah waktu di mana suatu
kejadian itu berlangsung. Arif (2009) membagi drama berdasarkan rdasarkan masa
drama tersebut adalah drama baru dan drama lama.
a.
Drama
Baru atau Drama Modern
Drama
baru atau drama modern adalah drama yang memiliki tujuan untuk memberikan
pendidikan kepada mesyarakat yang umumnya bertema kehidupan manusia
sehari-hari.
b.
Drama
Lama atau Drama Klasik
Drama lama atau drama klasik adalah
drama khayalan yang umumnya menceritakan tentang kesaktian, kehidupan istana
atau kerajaan, kehidupan dewa-dewi, kejadian luar biasa, dan lain sebagainya.
5.
Berdasarkan
Modus Bahasa
Tambajong
(1981:24), bahasa merupakan sarana
untuk menyampaikan suatu pikiran dan perasaan kepada orang lain. Modus bahasa
hanya menjelaskan tentang bagaimana naskah drama itu disajikan kepada penikmat
karya sastra drama ini. Drama tersebut diantaranya:
a. Dialek
Drama jenis ini adalah drama yang
menggunakan bahasa yang dipakai percakapan sehari-hari oleh masyarakat dengan
logat daerah tertentu pula.
b. Puisi
Drama jenis ini menyampaikan dialog
naskahnya dengan cara mempuisikannya. Namun tidak semua naskah dipuisikan,
hanya beberapa dari dialoh saja.
c. Lirik
Drama
ini menyajikan bentuk dialog yang hampir seperti dinyanyikan, namun tidak sepenuhnya dinyanyikan hanya
beberapa teks naskah saja.
6.
Berdasarkan
Modus Aliran
Tambajong (1981:24), drama pada
modus aliran adalah gaya yang ditentukan oleh sikap masyarakat dalam kurun
waktu tertentu, yaitu:
a. Klasisme
Tambajong (1981:24) drama yang sangat
mentaati naskah yang semua dialog dan perbuatannya sama dengan apa yang ada di
naskah. Biasanya drama ini dilakonkan lima babak, dan temanya sekitar kutukan
akan jatuh kepada manusia yang laknat dan bebal.
b. Neoklasisme
Bentuk drama ini mengutamakan tiga segi
yang mendasar dalam sebuah kehidupan yang nyata, yaitu tentang kebenaran,
kesusilaan, dan kegaiban. Syahadat kaum neoklasik adalah “segenap alam dikuasai
oleh satu Tuhan”.
c. Romantisme
Bentuk drama yang lahir abad ke-18
diwarnai oleh sikap yang kukuh, bahwa manusia dapat menemukan apa saja, berkat
keampuhan analisa akalnya, dan tindakan apapun bentuknya dapat dituntun oleh
sifat alamnya.
d. Realisme
Bentuk drama yang tumbuh pada abad
ke-19, bergaung dari tata nilai yang berlaku akibat pikiran kaum positivisme,
terutama karena pengaruh buku Charles Darwin (The Origin of the Species). Drama megarah tentang keraguan
eksistensi Tuhan.
e. Simbolisme
Sebutan lain, neoromantitisme dan impresionisme.
Aliran ini berangkat dari gerakan kesadaran bahwa hakekat kebenaran hanya
mungkin dipahami oleh intuisi. Ia menolak sifat-sifat yang umum tentang
pengertian “keyakinan”. Maka, kebenaran sebagai suatu kenyataan, tidak bisa
dirumuskan dengan bahasa logika sendiri. Ia hanya bisa diarahakan dengan
simbol-simbol.
f.
Ekspresionisme
Aliran seni di abad ke-20 ini menentang realisme. Mula-mula ia berkembang di
senirupa, pada Van Gogh dan Gaunguin, dan di musik pada Shconberg. Pelopor ekspresionisme dalam teater adalah
August Strindberg (Sang Ayah, terjemahan
Boen S. Oemarjati), Ernt Toller (Transfigurasi),
dan George Kaisar (Dari Pagi Sampai
Tengah Malam).
g. Epik
Teater
Bentuk drama sekitar Perang Dunia II,
dibenahi oleh Bertolt Brecht. Ia menganggap teater telah terkulai dalam keadaan
lelah, oleh sebab itu perlu adanya
tenaga yang sanggaup mendenyutkannya lagi. Ia mengunakan tiga kunci, yaitu
historifikasi adalah bagian terbesar dari aliensasi, yakni perumusan teori
Brecht tentang teater “harus jadi asing” kembali.
h. Absurdisme
Bentuk drama dari tahun 50-an sama
sekali bersumbu pada pandangan bahwa dunia ini netral. Kenyataan dan kejadian
adalah tak berwujud. Jika manusia mengatakan suatu peristiwa tak bersusila, hal
itu tidaklah dianggap dengan sendirinya asusila, tetapi itu disebabkan oleh
pikirannya sendiri yang mengatakan itu asusila. Tak ada kebenaran objektif.
Setiap insan harus menemukan sendiri nilai-nilai hidup yang sanggup
menghidupkan hidupnya, sejauh itu ia pun harus mau menerima bahwa nilai-nilai
yang ditemukannya itu sesungghnya absurd.
C.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa drama dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok,
diantaranya (1) drama berdasarkan penyajian lakon, (2) drama berdasarkan sarana,
(3) drama berdasarkan ada tidaknya naskah, (4) drama berdasarkan massanya, dan
(5) drama berdasarkan modus aliran.
DAFTAR RUJUKAN
Budianta,
Melani, dkk. 2002. Membaca Sastra. Magelang:
Indonesia Tera.
Dewojati,
Cahyaningrum. 2010. Drama Sejarah, Teori,
dan Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soemanto,
Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta:
Media Pressindo.
Sumarwahyudi.
2011. Filsafat Ilmu Seni. Malang:
Pustaka Kaiswaran.
Supriyono.
2011. Tata Rias Panggung. Malang:
Bayumedia Publishing.
Tambajong, Japi. 1981. Dasar-dasar Dramaturgi. Bandung: Harapan Bandung.
Tarigan,
Henry Guntur. 1986. Prinsip-prinsip Dasar
Sastra. Bandung: Angkasa.
Wahyuningtyas,
Sri, dan Wijaya Heru Santosa. 2011. Sastra:
Teori dan Implementasi. Surakarta: Yuma Pustaka.Wariatunnisa, Alien dan Yulia Hendrilianti. 2010. Seni Teater untuk SMP atau MTs Kelas VII,
VIII, dan IX (Rahmawati, Irma dan Ria Novitasari, Ed). Jakarta: Pusat Perbukuan,
Kementerian Pendidikan Nasional.
Wiyanto,
Asul. 2005. Kesusastraan Sekolah. Jakarta:
Grasindo Anggota Ikapi.
izin copy
ReplyDeleteizin copy
ReplyDelete