Kenyataan Mengejutkan Periode Sastra 20-an (Balai Pustaka)
Sastra
adalah seni bahasa yang
dijadikan wahana
untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu yang di dalamnya
mengandung nilai-nilai kebaikan dan ditulis dengan bahasa yang indah
berdasarkan pengalaman hidup seseorang sehingga mencapai nilai estetika yang
tinggi.
Ciri-Ciri Karya Sastra Balai Pustaka Angkatan 20'an
Sastra sebagai produk masyarakat suatu bangsa erat kaitannya dengan
tradisi suatu masyarakat atau bangsa tempat karya sastra diciptakan. Sastra
yang ada di masyarakat, berkembang dari waktu ke waktu. Inilah yang dinamakan
dengan sejarah sastra. Lebih lengkapnya, sejarah sastra adalah ilmu yang
menyelidiki tentang perkembangan cipta sastra sejak awal pertumbuhannya hingga
perkembangannya sampai sekarang.
Berbicara
mengenai sejarah perkembangan sastra, tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai upaya
penyusunan periodisasi sejarah sastra sebagai salah satu kegiatan dalam
pengkajian sejarah sastra. Periodisasi sastra adalah
penggolongan sastra baik berupa karya sastra itu sendiri
maupun pengarangnya. Penggolongan sastra tentunya didasarkan pada waktu
kemunculan karya sastra tersebut, sehingga menghasilkan karya yang sesuai
dengan kondisi sosial maupun budaya yang ada pada saat
itu.
Dalam
perkembangan periodisasi sastra, sastra yang muncul
setelah sastra Melayu lama atau sastra klasik adalah sastra modern. Kata
”modern” dalam tataran sastra Indonesia, merupakan simbol yang digunakan untuk
mengukur seberapa intensifnya pengaruh Barat dalam perkembangan dan kehidupan
sastra pada masa itu.
Sedangkan
sastra Indonesia modern sendiri menurut Dermawan (1986:2) adalah sastra yang
aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia dan isinya memancarkan sikap watak
bangsa Indonesia. Jadi, suatu karya dapat digolongkan
ke dalam sastra Indonesia jika ditulis dalam bahasa Indonesia dan corak isinya
mencerminkan sikap watak bangsa Indonesia.
Pengarang Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka 20'an
Bicara
mengenai sastra Indonesia modern,
hal menarik yang perlu dibahas pada sastra modern ini adalah sejarah kemunculannya.
Kemenarikan yang timbul yaitu munculnya beberapa perdebatan dari para
pengamat yang mengemukakan tentang
masalah kapan awal kemunculan sastra Indonesia modern.
Pendapat-pendapat
tersebut diantaranya diungkapkan oleh Slamet Mulyana, Umar Junus, Nugrono
Notosusanto, dan juga kesamaan pendapat yang diungkapkan oleh A. Teeuw, Ajib
Rosidi, Fachruddin Ambo Eure, dan H.B. Jasin.
Slamet Mulyana
mengungkapkan pendapatnya tentang awal kemunculan sastra Indonesia modern
dalam sebuah artikelnya yang berjudul Ke Mana Arah Perkembangan Puisi
Indonesia? bahwa, sastra Indonesia yang resmi haruslah dimulai dari tahun
1945. Slamet Mulyana mengungkapkan bahwa pengertian tentang sastra Indonesia
tidak dapat dipisahkan dari Indonesia sebagai nama suatu negara.
Dari pendapat
tersebut, ia menganggap bahwa semua hasil sastra baik dari terbitan Balai
Pustaka maupun dari Pujangga Baru dipandang sebagai sastra daerah. Banyak orang
tentunya merasa keberatan dengan pendapat tersebut, karena sastra sebagai aspek
kebudayaan tidak selamanya sejalan dengan politik.
Baca Juga:
Contoh Naskah Drama 'Sudah Gila'
Masyarakat Aneka Bahasa
Apresiasi Pementasa Drama 'Monumen'
Umar Junus di
dalam karanganya yang berjudul Istilah dan Masa Waktu Sastra Melayu dan
Sastra Indonesia yang termuat dalam majalah Medan Ilmu Pengetahuan
1—3 Juli 1960, juga berpendapat bahwa sastra Indonesia baru
mulai berkembang saat diikrarkannya Sumpah Pemuda, yaitu pada tanggal 28
Oktober 1928 saat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional lahir pada tahun
itu.
Karena Umar Junus memiliki background sebagai seorang linguistik,
maka ia menganggap bahwa sastra sangat erat kaitannya dengan bahasa. Sehingga,
jika tidak ada bahasa, maka suatu karya sastra juga tidak
akan muncul. Ada beberapa keberatan mengenai hal ini, karena dalam kenyataan hubungan
antara bahasa dengan sastra tidak selalu mutlak.
Pengarang
Keberadaan Balai Pustaka juga
dianggapnya tidak tepat untuk digolongkan sebagai hasil sastra Indonesia. Hal
tersebut disebabkan karena Balai Pustaka tidak mengandung unsur nasional dan
keberatan ini muncul karena perkembangan sastra sebelum tahun 1928 tidak
terbatas hanya pada kegiatan-kegiatan dan hasil-hasil Balai Pustaka.
Pendapat
lain diungkapkan oleh Nugroho Notosusanto. Ia menyatakan bahwa
kemunculan sastra Indonesia modern
bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran kebangsaan atau nasionalisme bangsa Indonesia,
yaitu pada hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908.
Dengan demikian, sastra
Indonesia sebagai sastra Nasional Indonesia, sudah berkembang sejak permulaan
abad ke-20. Meskipun dasar pemikiran ini benar, namun hal ini belum menjelaskan
tentang hasil-hasil sastra yang konkrit. Hal tersebut karena pada permulaan
abad ke-20 kita belum dapat menunjukkan karangan-karangan mana saja yang
dipandang sebagai hasil sastra yang bernilai atau bercorak nasional.
Selain
ketiga pendapat tersebut, muncul pendapat lain yang menyatakan bahwa sastra Indonesia modern
muncul dan berkembang pada sekitar tahun 20-an. Pendapat ini diungkapkan oleh A.
Teeuw, Ajib Rosidi, Fachruddin Ambo Eure, dan H.B. Jasin. Alasan yang
diungkapkan oleh masing-masing pengamat sastra ini tidak sama, akan tetapi pada
dasarnya alasan yang mereka kemukakan hanya menyangkut akan dua hal, yaitu
tentang media bahasa yang digunakan dan corak isi yang terdapat di dalam suatu
karya sastra.
Analisis Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka 20'an
Pada
tahun 1928, bahasa Indonesia secara formal diresmikan. Namun pada kenyatannya
bahasa Indonesia ini pasti sudah berkembang pada tahun-tahun sebelumnya. Hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya kemunculan roman-roman seperti Azab dan Sengsara dan Sitti
Nurbaya. Pada kenyataannya, roman-roman tersebut telah menggunakan bahasa
yang tidak jauh berbeda dengan bahasa yang digunakan setelah bahasa Indonesia
diresmikan.
Selain
faktor media bahasa yang digunakan pada periode 20-an, corak isi
karya sastra yang digunakan
juga telah mencerminkan sikap watak bangsa Indonesia atau mengandung unsur
kebangsaan. Karya sastra yang bercorakkan kebangsaan banyak ditemui pada hasil
karya sastra Balai Pustaka, misalnya pada kumpulan puisi Tanah Air
milik Mohammad Yamin. Kumpulan puisi tersebut berisi tema tentang kecintaan
penyair pada tanah air dan bangsanya yang pada saat itu hidup dalam penjajahan.
Bukti-bukti yang tercantum dari pendapat
di atas, dapat dipergunakan sebagai dasar untuk menetapkan bahwa sastra Indonesia modern
muncul dan mulai berkembang pada sekitar tahun 1920-an. Karena awal kemunculan
sastra Indonesia modern lahir pada tahun 1920-an, maka kemunculan sastra
Indonesia modern ini ditandai dengan kemunculan karya sastra yang banyak
diterbitkan dalam bentuk roman.
Roman-roman yang terkenal pada periode itu diantaranya
adalah roman Sitti Nurbaya karya Marah Rusli dan roman Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar yang
pada saat itu menjadi tonggak penanda lahirnya karya sastra Indonesia modern.
Banyaknya roman yang muncul pada periode ini, dikarenakan anggapan masyarakat
pada saat itu yang menyatakan bahwa sebuah karya sastra belum dapat dianggap
karya sastra jika bukan dalam bentuk roman. Hal inilah yang juga menjadi
keunikan tersendiri berkaitan dengan kemunculan karya sastra pada periode
20-an.
Pada
periode 20-an, sebagian besar karya sastranya
bertemakan kawin paksa. Hal ini memang tidak dapat dilepaskan dari faktor
perkembangan masyarakat, sosial budaya, dan lingkungan pada saat itu. Masalah kawin paksa ini
dipengaruhi oleh cita-cita dan sikap hidup masyarakat. Sehingga, sikap hidup
masyarakat pada saat itu juga tercermin dalam penciptaan sebuah karya sastra.
Tema kawin paksa ini tampak pada roman-roman seperti Sitti Nurbaya karya Marah Rusli.
Selain dijadikan sebagai roman yang bertemakan kawin sastra, roman Sitti
Nurbaya juga dijadikan sebagai penanda kebangkitan karya sastra pada awal
periode 20-an.
Latar
belakang sosial yang muncul pada periode 20-an pada umumnya
berupa pertentangan paham antara golongan tua dan golongan muda. Golongan tua
pada periode itu ingin mempertahankan adat istiadat yang ada. Sedangkan pada
golongan muda, mereka ingin meninggalkan adat istiadat yang ada dan ingin
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Mereka menganggap bahwa adat yang
mereka anut tidak selamanya akan menuntun mereka ke jalan kebenaran, karena
harus dipertimbangkan dengan perkembangan zaman juga. Karya sastra yang bersifat pro
adat misalnya tercermin pada roman Salah Asuhan dan
Si Cebol Rindukan Bulan. Sedangkan karya sastra yang
menunjukkan kontra adat adalah roman Salah Pilih dan Pertemuan Jodoh.
Balai
Pustaka juga muncul pada periode 20-an, dan membawa
peranan penting dalam bidang kesusastraan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa
munculnya Balai Pustaka sangat berperan dalam perkembangan karya-karya yang dihasilkan pada periode ini.
Balai Pustaka
membantu menumbuhkembangkan karya sastra agar dikenal
masyarakat luas dan melahirkan banyak sastrawan-sastrawan yang terkenal pasa masa itu.
Pengarang-pengarang itu diantaranya adalah Sutan Takdir Alisyahbana, Merari
Siregar, Mohammad Yamin, dan lain-lain. Sehingga, kemunculan Balai Pustaka ini
dapat juga dijadikan sebagai penanda lahirnya kesusastraan Indonesia modern.
Berdasarkan
karakteristik-karakteristik yang dijabarkan diatas, dengan kata lain,
dapat dikatakan bahwa periode 20-an dijadikan
sebagai tolak ukur perkembangan kesusastraan pada periode-periode selanjutnya.
Karena alasan inilah penulis tertarik untuk menganalisis lebih lanjut mengenai
periode 20-an beserta seluk beluknya.
Hal-hal yang dianalisis meliputi hal-hal
yang membahas tentang latar belakang munculnya periode
20-an, siapa tokoh-tokoh yang ikut berperan dalam pembuatan karya sastranya,
karakteristik periode 20-an, dan hal lain yang berkaitan dengan periode 20-an.
Demikian penjelasan mengenai karakteristik, pengarang dan analisis karya angkatan 20'an Balai Pustaka. Semoga bermanfaat dan terima kasih.
mntap info nya bro
ReplyDeleteTerimakasih postnya sangat bermanfaat. Mari kunjungi blog saya juga https://blog.ppns.ac.id/tl/lukmankhakim/
ReplyDelete