Pengertian Drama Dan Sejarah Perkembangan Drama
Karya sastra merupakan hasil dari proses kreatif seseorang yang biasa disebut sastrawan.
Karya sastra juga dapat dipandang sebagai luapan atau curahan perasaan dan
pikiran sastrawan sebagai produk imajinasi. Karya sastra ini memiliki berbagai
genre, diantaranya ialah puisi, prosa, dan drama, tetapi dramalah yang lebih
dekat dengan masyarakat. Marx (1961:1) mengatakan bahwa of all the art, drama is the closest to the people. No other art depends
so much on the human elemen (dari semua karya seni, dramalah yang paling
dekat dengan manusia. Tidak ada seni lain yang sangat bergantung pada elemen manusia). Pendapat ini memang benar, karena
drama memberikan gambaran secara langsung melalui pertunjukan atau
pementasannya sehingga penikmat karya sastra tidak merasa bosan. Sseperti saat
menikmati karya sastra dengan genre novel yang terkadang merasa jenuh saat
membaca dan jika tidak bisa benar-benar berimajinasi atau menggambarkan dengan
baik sesuai dengan jalan cerita maka penikmat karya tersebut tidak akan bisa
benar-benar menikmati karya itu. Berbeda halnya dengan drama, tanpa
menggambarkan atau berimajinasi bagaimana ceritanya, penikmat drama sudah dapat
menikmati karya tersebut walau tetap saja dalam menikmati drama tetap harus
fokus. Kebanyakan orang lebih mudah memahami sesuatu apabila mereka dibantu
dengan audio dan juga visual, sehingga layaklah kalau drama disebut sebagai
karya sastra yang erat dengan masyarakat dan lebih dapat menghibur penikmatnya.
Drama akan terasa lebih indah apabila drama tersebut
dipentaskan atau dipertunjukan. Drama menonjolkan percakapan dan gerak-gerik
yang tertulis di dalam naskah, sehingga penonton dapat langsung mengikuti jalan
cerita, penonton akan dapat langsung menikmati cerita tanpa harus membayangkan
bagaimana keadaannya, bagaimana perilakunya, bagaimana melakukan sebuah
kegiatan, ataupun hal-hal yang. Pementasan yang dimaksud adalah menampilkan dialog
dan gerak-gerik berdasarkan pada naskah drama di atas panggung yang dilakukan oleh
para aktor atau pemain drama. Pementasan bukanlah sebuah kegiatan yang mudah,
sehingga sebelum melakukan pementasan, seseorang harus faham betul mengenai
unsur-unsur drama serta pengertian drama dan pementasan itu sendiri secara
jelas, sehingga dapat menampilkan pementasan yang baik dan berhasil
menyampaikan maksud dari naskah kepada penonton yang menikmati drama.
Kata drama sudah melekat pada
masyarakat. Namun pada kenyataannya banyak masyarakat yang kurang memahami
perihal drama, banyak masyarakat yang masih rancu antara drama dan teater, masyarakat
tidak mengetahui unsur-unsut drama. Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengantar
tentang drama. Pengantar drama memberikan penjelasan
mengenai pengertian drama dan pementasannya, sejarah drama, perbedaan antara
drama dan teater, tujuan drama, perkembangan drama di Indonesia, serta
unsur-unsur yang mengikuti drama sehingga dengan adanya pengantar tentang drama
ini maka pembaca akan lebih mudah memahami setiap penjabaran yang ada pada
bab-bab selanjutnya. Oleh sebab itu, penulis ingin menjabarkan mengenai
pengantar tentang drama.
Tujuan
(1) pengertian drama dan pementasan,
(2) sejarah drama,
(3) perbedaan drama dengan teater,
(4) tujuan drama,
(5) perkembangan drama di Indonesia, serta
(6) unsur-unsur drama dan pementasannya.
Pengertian Drama dan Pementasannya
Drama
merupakan bagian kecil dari karya sastra, ada juga pendapat yang mengatakan
bahwa drama merupakan gambaran ataupun cerminan dari kehidupan manusia, didalam
drama juga terdapat sebuah masalah layaknya kehidupan dalam kenyataan. Lalu apa
pengertian dari drama itu sendiri? Menurut Ratna (2009:368), drama merupakan
bagian dari prosa, seperti cerpen dan novel. Bakdi Soemanto (2001) dalam
bukunya menuliskan bahwa kata drama berasal dari kata
Yunani Kuno draomai yang berarti bertindak atau berbuat dan drame yang
berasal dari kata Perancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk
menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Kata drama
juga dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani
Kuno (800-277 SM). Wiyanto (2002:3) menyatakan bahwa drama dalam masyarakat
memiliki dua arti, yaitu drama dalam arti luas dan drama dalam arti sempit.
Dalam arti luas, drama adalah semua bentuk tontonan yang mengandung cerita yang
dipertunjukkan di depan orang banyak. Dalam arti sempit, drama adalah kisah
hidup manusia dalam masyarakat yang diproyeksikan ke atas panggung, disajikan
dalam bentuk dialog, dan gerak berdasarkan naskah.
Budianta,
dkk (2002:95) berpendapat bahwa drama merupakan sebuah genre sastra yang
penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialog atau cakapan di
antara tokoh-tokoh yang ada. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat bahwa
drama merupakan karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan
mengemukakan tikaian dan emosi lewat lakuan dan dialog (Sudjiman, 1990 dalam
Siswanto, 2008:163). Hassanudin (1996:7 dalam Dewojati, 2012:8) mengungkapkan
bahwa drama adalah karya yang memiliki dua dimensi sastra dan dimensi seni
pertunjukan.
Baca Juga:
Apresiasi Pementasan Drama Monumen
Apresiasi Pementasan Drama Koran
Apresiasi Pementasan Drama Padang Bulan
Pengertian
drama sebagai suatu genre sastra lebih terfokus sebagai suatu karya yang lebih
berorientasi kepada seni pertunjukan dibandingkan sebagai genre satra. Drama
sebagai pertunjukan suatu lakon merupakan tempat pertemuan dari beberapa cabang
kesenian yang lain seperti seni sastra, seni peran, seni tari, seni deklamasi,
dan tak jarang juga seni suara. Drama adalah satu bentuk seni yang bercerita
lewat percakapan dan action
tokoh-tokohnya.
Akan
tetapi, percakapan atau dialog itu sendiri bisa juga dipandang sebagai
pengertian action (Soemanto, 2001:3).
Drama ialah semua teks yang bersifat dialog-dialog dan yang isinya membentangkan
sebuah alur (Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G, 1984:158). Menurut Tarigan (1986), drama adalah seni yang
menggarap lakon-lakon mulai sejarah penulisannya hingga pementasannya, selain
itu drama juga merupakan hidup yang disajikan dalam gerak. Dari banyak pendapat
di atas dapat disimpulkan bahwa drama merupakan suatu bentuk karya sastra yang
berisi kisah hidup manusia mengenai konflik hidup, sikap, dan juga sifat dalam
bentuk dialog yang dituangkan di atas panggung dengan menggunakan percakapan dan
gerak oleh pemain dihadapan penonton dan pendengar. Drama akan lebih baik kalau dipentaskan. Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G (1982:158) menyatakan bahwa drama berbeda dengan prosa dan
puisi karena dimaksudkan untuk dipentaskan. Pementasan itu memberikan kepada
drama sebuah penafsiran kedua. Sang sutradara dan para pemain menafsirkan teks,
sedangkan para penonton menafsirkan versi yang telah ditafsirkan oleh para
pemain, oleh karena itu teks drama berkiblat pada pementasan. Menurut Ratna
(2009:369), drama disajikan dengan
menyebutkan para pelaku dan para pemeran lain pada awal dialog dan cerita.
Tidak ada drama yang ditulis semata-mata untuk dibaca, drama ditulis dengan
mempertimbangkan berbagai kemungkinan untuk dipentaskan. Dewojati (2010:22)
berpendapat bahwa sebuah teks drama baru bermakna penuh apabila dipentaskan di
atas panggung. Drama yang disebut juga sebagai sastra lakon akan mempunyai
makna penuh apabila karya tersebut dipentaskan karena sebuah teks lakon tidak
hanya berhenti pada konsep atau simbol-simbol verbal yang berupa jagat kata (a verbal world) seperti pada puisi atau
novel, tetapi juga berisi jagat yang seolah-olah bisa terlihat (visual), terdengar (audible), bahkan terasakan (tangible) (Soemanto, 2001:6).
Pementasan
merupakan sebuah sintesa dan menghimbau pada beberapa indera sekaligus (Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G, 1982:159). Pementasan ialah dengan menjadi pemain,
menampilkan gerak, ataupun unsur-unsur lain yang membangun drama sesuai dengan
naskah drama. Dalam kamus besar bahasa Indonesia pementasan berasal dari kata
dasar pentas yang berarti panggung atau lantai yang agak tinggi di
gedung pertunjukan tempat memainkan sandiwara, kemudian kata ini mendapat afiks
peN-an sehingga menjadi kata pementasan yang berarti proses dari kata dasar pentas
tersebut.
Sejarah Drama
Drama sudah
ada sejak zaman dahulu. Menurut Soemanto (2001:12) asal-usul drama modern
tersebut dapat dirunut melalui sejarah drama Yunani purba. Namun, beberapa
pakar sejarah drama berpendapat bahwa sesungguhnya drama tertua bukan berasal
dari belahan dunia barat, melainkan berasal dari Mesir. Teks drama yang konon
tertua berjudul Abydos Passion Play dan
berangka tahun 4000 SM. Dalam teks purba tersebut telah memuat indikasi
petunjuk lakon dan berbagai tokohnya. Drama
berasal dari drame, sebuah kata
Prancis yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan
lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Ada tiga macam teori yang
mempersoalkan asal mula drama, yaitu (1) drama berkembang dari upacara religius
primitif, (2) drama memberi kesan bahwa himne pujian dinyanyikan bersama di
depan makam seseorang pahlawan, maksud di sini ialah pembicara memperagakan
kehidupan lama dari almarhum pahlawan itu dan berpisah dari koor, (3) drama
tumbuh dari kecintaan manusia untuk bercerita (Soemanto, 2001:15).
Menurut
Harymawan (1986:5) sejarah teater di Indonesia adalah sebagai berikut:
(1) Sebelum abad ke ̶ 20
Tidak ada naskah dan pentas, yang ada
hanyalah cerita-cerita lisan yang
disampaikan
dari ayah ke anak. Drama-drama
rakyat, istana,
keagamaan, di lapangan terbuka, atau
di arena-
arena.
(2)
Permulaan
abad ke ̶
20
Pada permulaan abad ke ̶
20 timbul bentuk-
bentuk drama baru seperti komedi, tonil, opera,
wayang orang, ketoprak, dan juga ludruk. Tidak
menggunakan naskah tetapi sudah memakai
pentas dan panggungnya berbingkai.
(3)
Zaman
Pujangga Baru
Muncul nakah drama asli yang dipakai
oleh
pementasan amatir. Rombongan profesional
tidak menggunakannya.
(4)
Zaman
Jepang
Pada zaman ini penggunaan naskah sudah
diharuskan, sehingga rombongan profesional
terpaksa belajar membaca.
(5)
Zaman
kini
Rombongan profesional membuang kembali
naskah. Organisasi amatir setia pada naskah,
sayang sering mengabaikan pengarang,
penyadur, atau penyalinnya.
Wiyanto
(2002:5-6) menuliskan bahwa menurut sejarahnya, lahirnya drama baik di dalam
negeri atau di luar negeri bermula dari peristiwa yang sama. Upacara keagamaan
yang dilakukan oleh pemuka agama menjadi asal usul adanya drama, mereka
menyembah para dewa dengan menyanyikan puji-pujian yang semakin lama semakin
berkembang mengikuti perkembangan zaman tidak hanya dengan puji-pujian tatapi
juga dengan cerita dan juga doa. Dalam upacara agama, drama dilakukan di
lapangan terbuka, penonton duduk melingkar atau membentuk setengah lingkaran,
dan upacara dilakukan di tengah lingkarang tersebut (Oemarjati, 1971:15). Lambat
laun upacara ini semakin menonjolkan penceritaan, mereka bergerak seseuai yang
dibacakan oleh narator di jalan-jalan dan dilihat oleh penonton, jika penonton
bubar maka jelaslah bahwa mereka yang iring-iringan memperagakan sebuah cerita
itu sudah pergi, inilah awal mula adanya drama di Yunani.
Di
Indonesia, upacara-upacara agama bersifat lebih puitis daripada di Barat
(Oemarjati, 1971:15). Semakin lama mantra dan doa yang dilakukan pemuka agama
ini dengan mengangkat tangan, dan sedikit memberikan gerakan-gerakan yang
semakin memperdalam maksud dari mantra. Gerakan-gerakan yang dilakukan ini
diiringi dengan alat musik kentongan atau gendang. Dimulai dengan tradisi
wayang orang yang tersebar ke luar batas-batas istana hingga ke kota-kota pada
akhir abad 19 tepatnya tahun 1901 oleh seorang
peranakan Belanda bernama F. Wiggers, berupa sebuah drama satu babak berjudul
Lelakon Raden Beij Soerio Retno. Untuk selanjutnya bermunculanlah naskah-naskah
drama dalam bahasa Melayu rendah yang kemudian
berkembang bentuk-bentuk kesenian daerah seperti topeng, ludruk, dan ketoprak
yang sangat populer dan hidup.
Oemarjati
(1971:21) dalam bukunya menyatakan bahwa perkembangan ini nampak dengan bermunculannya
himpunan-himpunan drama seperti rombongan “Abdoel Moeloek”, “Tjahaja Timoer”,
“Dardanella” (teater ini merombak tradisi Komidi Bangsawan), “Bolero”, “Orion”,
dan yang paling akhir adalah perkumpulan yang didirikan oleh Andjar Asmara,
tangan kanan A. Piedro, pada tahun 1942, semua perkumpulan ini terus berkembang
bersamaan teater kecil yang ada di masing-masing daerah. Teater kecil ini
memberi keleluasaan bagi tiap sastrawan untuk mendapatkan tempat yang
selayaknya. Teater kecil menjadi penampung, penyalur, dan peraga bakat-bakat
seni yang ada pada mayarakat saat itu.
Menurut
Oemarjati (1971:40) jika digariskan secara umum, kegiatan penulisan yang
benar-benar mengkhusus pada bentuk dialog, dimulai seorang Indo yaitu Victor
Ido, yang diikuti oleh penulis-penulis China peranakan hingga sampai pada
orang-orang Indonesia itu sendiri. Sastra lakon (drama) di Indonesia yang
paling awal dan dikenal ialah Bebasari (1926) karya Roestam Effendi, karangan
lain diantaranya adalah Ken Arok dan Ken Dedes (Pujangga Baru, 1934) karya
Muhammad Yamin, Kertajasa (Timbul, 1932) karya Sanuse Pane, Lukisan Masa
(Pujangga Baru, 1937) karya Armijn Pane, Liburan Seniman (1944) karya Usmar
Ismail, Kami perempuan (1943) karya Armijn Pane, Dokter Bisma (1945) karya
Idrus, Tuan Amin (1945) karya Amal Hamzah, dan lain-lain.
Dari
perkembangan yang terus berjalan inilah lahir tontonan drama, semakin lama
drama yang sederhana ini semakin berkembang dan menjadi drama yang seperti
sekarang ini dengan banyak pemain yang sudah terlatih, tata rias, tata
panggung, tata cahaya, maupun unsur artistik yang lainnya sehingga drama yang
sekarang semakin indah.
Post a Comment for "Pengertian Drama Dan Sejarah Perkembangan Drama"