Pengertian Penokohan dan Tokoh (Jenis-Jenis Penokohan Menurut Ahli)
Suatu pementasan drama memiliki para pemain
yang memerankan peran yang berbeda satu sama lain. Peran pada
setiap diri tokoh sangat mendukung
jalannya suatu cerita pada pementasan drama. Namun sering
kali para penonton atau penikmat
pementasan drama merasa bingung dengan peran apa yang dibawakan oleh tokoh
pada saat pementasan itu berlangsung. Oleh karena itu, dalam artikel ini akan
membahas berbagai jenis peran mulai dari pengertian penokohan, jenis penokohan dan pengertian tokoh yang ada dalam pementasan drama.
Diantaranya terdapat peran protagonis, antagonis,
deutragonis, tritagonis, foil, dan utility. Biasanya pada sebuah
pementasan drama, peran yang sangat menonjol adalah peran protagonis dan antagonis, karena antara kedua karakter ini konflik akan
terlihat jelas.
Dengan adanya berbagai macam klasifikasi
penokohan ini bertujuan untuk mempermudah penikmat sastra dalam
mengidentifikasi peran apa yang sedang
dibawakan oleh para pemeran drama.
Selain peran juga terdapat jenis karakter yang dimainkan oleh para pemeran
pementasan drama. Karakter-karakter tersebut adalah flat character, round character, teatrikal, dan karikatural. Keduanya sangat
berhubungan erat sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Untuk
memudahkan mengklasifikasi jenis-jenis karakter, disini juga akan membahas
mengenai teknik penggambaran tokoh.
Ketika kita menyaksikan sebuah pementasan
drama pasti terdapat alur pada cerita
yang dipentaskan. Tidak akan ada alur yang
ceritanya monoton, alur itu pasti akan naik
turun, dimana terdapat eksposisi, klimaks, resolusi, dan lain sebagainya.
Biasanya seseorang merasa bingung dengan alur yang digunakan dalam sebuah
cerita. Apakah alur yang digunakan tersebut alur maju ataukah alur mundur.
Untuk mempermudah menentukan alur maka terdapat struktur dramatik yang
membantu.
Dalam alur terdapat struktur dramatik, karena
keduanya sangat berkaitan erat. Struktur dramatik terdiri dari bagian-bagian
yang memuat unsur-unsur alur. Banyak para ahli yang berpendapat mengenai unsur
dramatik ini, diantaranya pendapat dari Gustav Freytag, Wiliiam Henry Hudson,
Brander Mathews, Marsh Cassady, Kernodle, dan Lynn Altenbernd dan Leslie
L. Lewis.
Pendapat para ahli ini berbeda-beda namun maksudnya sama. Oleh karena itu,
penokohan dan struktur dramatik akan diulas lebih mendalam pada artikel ini.
Pengertian Tokoh dan Penokohan Menurut Para Ahli
Pengertian Penokohan Menurut Para Ahli
Pengertian penokohan menurut Dewojati (2010:169 )adalah unsur karakter yang dalam
drama biasa disebut tokoh adalah bahan yang paling aktif untuk menggerakkan
alur. Lewat penokohan ini, pengarang dapat mengungkapkan alasan logis terhadap
tingkah laku tokoh. Perwatakan atau penokohan dalam suatu cerita adalah
pemberian sifat baik lahir maupun batin pada seorang pelaku atau tokoh yang
terdapat pada cerita (Hayati, 1990:119).
Menurut Santosa, dkk (2008:90)
penokohan merupakan usaha untuk membedakan peran satu dengan peran yang lain.
Perbedaan-perbedaan peran ini diharapkan akan diidentifikasi oleh penonton.
Jika proses identifikasi ini berhasil, maka perasaan penonton akan merasa
terwakili oleh perasaan peran yang diidentifikasi tersebut.
Penokohan atau
perwatakan dalam sebuah lakon memegang peranan yang sangat penting. Egri dalam
Santosa, dkk (2008:90), berpendapat bahwa berperwatakanlah yang paling utama
dalam lakon. Tanpa perwatakan tidak akan ada cerita, tanpa perwatakan tidak
bakal ada alur. Padahal ketidaksamaan watak akan melahirkan pergeseran,
tabrakan kepentingan, konflik yang akhirnya melahirkan cerita Hamzah (1985
dalam Santosa, dkk, 2008:90).
Menurut Luxemburg, Bal, dan Weststeijn
(1984:171), istilah tokoh dipergunakan apabila membahas mengenai sifat-sifat
pribadi seorang pelaku, sedangkan istilah pelaku bila kita membahas instasi
atau peran yang bertindak atau berbicara dalam hubungannya dengan alur
peristiwa.
Luxemburg membagi pelukisan watak menjadi dua, yaitu pelukisan watak
secara eksplisit dan pelukisan watak secara implisit. Pelukisan watak secara
eksplisit, watak seorang tokoh dapat dilukiskan oleh komentator seorang pelaku
lain. Seorang tokoh juga dapat melukiskan wataknya sendiri. Di sini seluruh
tokoh itu merupakan dasar apakah dia pantas dipercaya atau tidak. Pelukisan
watak secara implisit, pelukisan ini terjadi lewat perbuatan dan ucapan, dan
sebetulnya lebih penting daripada pelukisan eksplisit.
Hudson (1958 dalam Budianta, 2002:106) menyatakan
bahwa alur lebih penting daripada tokoh karena tokoh hanya untuk mengisi dan
menyelesaikan alur itu, dan tokoh lebih penting daripada alur karena alur hanya
dipergunakan untuk mengembangkan tokoh.
Hudson cenderung mengatakan bahwa
pementingan terhadap tokoh lebih utama dibandingakan dengan pementingan
terhadap alur, hal ini disebabkan sesuatu cerita akan meninggalkan kesan yang
dalam dan bahkan mungkin abadi lantaran penokohan di dalam cerita itu begitu
kuat dan meyakinkan dalam membangun alur cerita.
Pengertian Tokoh Menurut Para Ahli
Dalam bukunya, Hudson mendefinisakan bahwa tokoh adalah unsur yang
paling penting dalam sebuah pementasan drama, karena tanpa adanya tokoh pasti tidak akan ada pementasan drama.
Penokohan juga dapat digunakan untuk membedakan peran yang satu dengan peran
yang lain, karena antara tokoh yang satu dengan yang lain akan mempunyai
karakter yang berbeda-beda.
1.
Peran
Wahyuningtyas dan Santosa
(2011:3) membagi tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya dibedakan menjadi tokoh
utama, tokoh tambahan, tokoh protagonis, dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah
tokoh yang diutamakan penceritaannya. Ia merupakan tokoh yang paling banyak
diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
Tokoh
tambahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita tetapi
kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh utama. Tokoh dalam drama
mengacu pada watak (sifat-sifat pribadi seorang pelaku, sementara aktor atau
pelaku mengacu pada peran yang bertindak atau berbicara dalam hubungannya
dengan alur peristiwa (Wiyatmi, 2006:50).
Menurut
Santosa, dkk (2008:90), peran merupakan sarana utama dalam sebuah lakon, sebab
dengan adanya peran maka timbul konflik. Konflik dapat dikembangkan oleh penulis lakon melalui
ucapan dan tingkah laku peran. Dalam teater, peran dapat dibagi-bagi sesuai
dengan motivasi-motivasi yang diberikan oleh penulis lakon. Motivasi-motivasi
peran inilah yang dapat melahirkan suatu perbuatan peran. Peran-peran tersebut
adalah sebagai berikut.
a.
Protagonis
Protagonis
adalah peran utama yang merupakan pusat atau sentral dari cerita. Keberadaan
peran adalah untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul ketika mencapai
suatu cita-cita. Persoalan ini bisa dari tokoh lain, bisa dari alam, bisa juga
karena kekurangan dirinya sendiri. Peran ini juga menentukan jalannya cerita.
SESEORANG: Kenapa kamu memanggil aku malam-malam
begini?
MUNIR: Habis aku gerah Pak. Di mana-mana ada
ketidakadilan. Di mana-mana berserakan
ketidakbenaran. Di mana-mahna rakyat ditindas
semena-mena. Penguasa sudah merajalela,
menindas
rakyat yang memiliki negeri ini. Harusnya
mereka
menjadi abdi, tapi malah mereka yang kenyang
sendiri, memperbudak dan menjahanami rakyat.
Di
mana letak kebenaran. Di mana letak demokrasi.
Mana itu kerakyatan dan keadilan sosial serta
peri
kemanusiaan yang digembar-gemborkan.
SESEORANG: Jadi kamu mau protes?
MUNIR:Protes sekaligus memberitahukan bahwa
sekarang
bukan waktunya tidur. Semua
orang harus bangun dan
melihat segala kecurangan,
ketimpangan dan
penyalahgunaan kekuasaan ini.
Tidak boleh ada
dispensasi. Rakyat sudah
terlalu menderita, nanti
mereka bisa melawan bersama
seperti Korawa dan
Pandawa dalam Perang
Bharatayudha.
Dari
cuplikan drama Jangan Menangis Indonesia diatas, peran protagonis dalam drama
tersebut adalah Seseorang, dapat dilihat dalam naskah tersebut bahwa Seseorang
ini menjadi peran utama yang dijadikan tempat pengaduan tokoh lain.
b.
Antagonis
Antagonis adalah peran lawan, karena dia seringkali
menjadi musuh yang menyebabkan konflik itu terjadi. Tokoh protagonis dan
antagonis harus memungkinkan menjalin pertikaian, dan pertikaian itu harus
berkembang mencapai klimaks. Tokoh antagonis harus memiliki watak yang kuat dan
kontradiktif terhadap tokoh protagonis.
Pada drama Jangan Menangis indonesia
yang berperan sebagai tokoh protagonis adalah Jendral, hal ini dapat dibuktikan
dengan adanya dialog
“Brengsek!
Konyol! Pemalas! Bodo kebo! Dasar pribumi! Gelo sia! Begitu saja tidak becus!
Mengangkat kardus seperti mengangkat langit. Semprul! Ayo jangan digondeli. Kerja bukan cari untung! Angkat!
Dasar budak! Gotong royong! Maunya kok menelan. Dasar kemaruk! Otak udang!
Angkat bangsat! Kuntilanak. Lihat sendiri ini negeri kacau. Manusia-manusia
tidak memenuhi syarat. Begini mau merdeka? Berdiri saja tidak bisa. Ini mau
mendirikan negara Tahi kerbau! Nggak usah merdeka, belajar jadi budak dulu!”.
Dalam
dialog tersebut sudah tergambar jelas bahwa peran yang dibawakan oleh Jendral
ini mengandung unsur yang kontra dengan tokoh Seorang yang menjadi tempat
curahan hati tokoh lain.
c.
Deutragonis
Deutragonis adalah tokoh lain yang berada di pihak tokoh
protagonis. Peran ini ikut mendukung menyelesaikan permasalahan yang dihadapi
oleh tokoh protaganis.
d.
Tritagonis
Tritagonis adalah peran penengah yang bertugas menjadi
pendamai atau pengantara protagonis dan antagonis.
e. Foil
Foil adalah peran
yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik yang terjadi tetapi ia
diperlukan guna menyelesaikan cerita. Biasanya dia berpihak pada tokoh
antagonis.
f. Utility
Utility adalah peran pembantu atau sebagai tokoh pelengkap
untuk mendukung rangkaian cerita dan kesinambungan dramatik. Biasanya tokoh ini
mewakili jiwa penulis.
2.
Jenis Karakter
Kernodle (dalam Dewojati, 2010:170) mengungkapkan
bahwa karakter biasanya diciptakan dengan sifat dan kualitas yang khusus.
Karakter tidak hanya berupa pengenalan tokoh melalui umur, bentuk fisik,
penampilan, kostum, tempo atau irama permainan tokoh, tetapi juga sikap batin
tokoh yang dimilikinya. Setiap karakter dalam sebuah lakon selalu berhubungan
erat dengan karakter yang lain. Character
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang
oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan
(Abrams (1981) dalam wahyuningtyas (2011:5)).
Menurut Santosa, dkk (2008:91), karakter adalah jenis peran yang akan
dimainkan, sedangkan penokohan adalah proses kerja untuk memainkan peran yang
ada dalam naskah lakon. Penokohan ini biasanya didahului dengan menganalisis
peran tersebut sehingga bisa dimainkan. Menurut Saptaria (2006 dalam Santosa,
dkk, 2008:91), jenis karakter dalam teater ada empat macam, yaitu flat character,
round charakter, teatrikal, dan karikatural.
a.
Flat Character
(Perwatakan Dasar)
Flat
character atau karakter datar adalah karakter tokoh yang ditulis
oleh penulis lakon secara datar dan biasanya bersifat hitam putih. Karakter
tokoh dalam lakon mengacu pada pribadi manusia yang berkembang sesuai dengan
perkembangan lingkungan. Jadi perkembangan karakter seharusnya mengacu pada
pribadi manusia, yang merupakan akumulasi dari pengalaman-pengalaman dan
interaksi-interaksi yang dilakukannya dan terus berkembang. Penulis lakon
adalah orang yang memiliki dunia sendiri yaitu dunia fiktif, sehingga ketika
mencipta sebuah karakter dia bebas menentukan suatu perkembangan karakter. Flat
character ini ditulis dengan tidak mengalami perkembangan emosi maupun
derajat status sosial dalam sebuah lakon. Flat character biasanya
ada pada karakter tokoh yang tidak terlalu penting atau karakter tokoh
pembantu, tetapi diperlukan dalam sebuah lakon.
b.
Round
Character (Perwatakan Bulat)
Round
character adalah karakter tokoh dalam lakon yang mengalami
perubahan dan perkembangan baik secara kepribadian maupun status sosialnya.
Perkembangan dan perubahan ini mengacu pada perkembangan pribadi orang dalam
kehidupan sehari-hari. Perkembangan inilah yang menjadikan karakter ini menarik
dan mampu untuk mengerakkan jalan cerita. Karakter ini biasanya terdapat
karakter tokoh utama baik tokoh protagonis maupun tokoh antagonis.
c.
Teatrikal
Teatrikal adalah karakter tokoh yang tidak wajar,
unik, dan lebih bersifat simbolis. Karakter-karakter teatrikal jarang dijumpai
pada lakon-lakon realis, tetapi sangat banyak dijumpai pada lakon-lakon klasik
dan non realis. Karakter ini hanya simbol dari psikologi masyarakat, suasana,
keadaan jaman dan lain-lain yang tidak bersifat manusiawi tetapi dilakukan oleh
manusia.
d.
Karikatural
Karikatural adalah karakter tokoh yang tidak wajar,
satiris, dan cenderung menyindir. Karakter ini segaja diciptakan oleh penulis
lakon sebagai penyeimbang antara kesedihan dan kelucuan, antara ketegangan
dengan keriangan suasana. Sifat karikatural ini bisa berupa dialog-dialog yang
diucapkan oleh karakter tokoh, bisa juga dengan tingkah laku, bahkan perpaduan
antara ucapan dengan tingkah laku.
3.
Teknik Penggambaran Tokoh
Adapun teknik penggambaran tokoh dalam menentukan
suatu tokoh dalam sebuah drama. Teknik penggambaran tokoh menurut Altenbernd
dan Lewis (1966 dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011:4) sebagai berikut.
(1)
Secara analitik, yaitu pelukisan tokoh
cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, dan penjelasan
secara langsung.
(2) Secara
dramatik, yaitu pengarang tidak langsung mendeskripsikan sikap, sifat, dan
tingkah laku tokoh, tetapi melalui beberapa teknik lain, yaitu teknik cakapan
(percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita untuk menggambarkan
sifat-sifat tokoh yang bersangkutan), teknik tingkah laku, teknik pikiran dan
perasaan, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain,
teknik pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik (teknik melukiskan keadaan
fisik tokoh).
A.
Struktur Dramatik
Kita
banyak berhutang budi kepada Aristoteles, seorang filsuf Yunani yang telah
menulis Poetics untuk mengenali alur,
karakter, pemikiran, diksi, musik, dan spektakel dari tragedi. Menurut Santosa,
dkk (2008:76), struktur dramatik merupakan bagian dari alur karena di dalamnya
merupakan satu kesatuan peristiwa yang terdiri dari bagian-bagian yang memuat
unsur-unsur alur.
Struktur dramatik ini tidak
dapat dipisahkan dengan alur karena keduanya memiliki atau membentuk
struktur dan saling berkesinambungan dari awal cerita sampai akhir. Fungsi dari
struktur dramatik ini adalah sebagai perangkat untuk lebih dapat mengungkapkan
pikiran pengarang dan melibatkan pikiran serta perasaan penonton ke dalam laku
cerita. Teori dramatik Aristotelian memiliki elemen-elemen pembentuk struktur
yang terdiri dari eksposisi, komplikasi, klimaks, resolusi, dan kesimpulan.
1.
Piramida Freytag
Ide
Aristoteles tentang alur drama kemudian dikembangkan oleh Gustav Fteytag
(Dewojati, 2010:164). Freytag dalam Santosa, dkk (2008:76) menyatakan bahwa
dalam menggambarkan struktur dramatiknya
mengikuti elemen-elemen tersebut dan menempatkannya dalam adegan-adegan lakon
sesuai laku dramatik yang dikandungnya. Struktur Freytag ini dikenal dengan
sebutan piramida Freytag.
a.
Eksposisi
Eksposisi
adalah penggambaran awal dari sebuah lakon. Berisi tentang perkenalan karakter,
masalah yang akan digulirkan. Penonton diberi informasi atas masalah yang
dialami atau konflik yang terjadi dalam karakter yang ada dalam naskah lakon.
b. Komplikasi
(Rising Action)
Pada
bagian ini mulai terjadi kerumitan atau komplikasi yang diwujudkan menjadi
jalinan peristiwa. Disini juga sudah mulai dijelaskan laku karakter untuk
mengatasi konflik dan tidak mudah untuk mengatasinya sehingga timbul frustasi,
amukan, ketakutan, dan kemarahan. Konflik ini semakin rumit dan membuat
karakter-karakter yang memiliki konflik semakin tertekan serta berusaha untuk
keluar dari konflik tersebut.
c.
Klimaks
Klimaks
adalah puncak dari laku lakon dan titik kulminasi mencapai titik. Pada titik
ini semua permasalahan akan terurai dan mendapatkan penjelasan melalui laku
karakter maupun lewat dialog yang disampaikan oleh peran. Dengan terbongkarnya
semua masalah yang melingkupi keseluruhan lakon diharapkan penonton akan
mengalami katarsis atau proses membersihkan emosi dan memberikan cahaya murni
pada jiwa penonton.
d. Resolusi (Falling
Action )
Resolusi
adalah penurunan emosi lakon. Penurunan ini tidak saja berlaku bagi emosi lakon
tapi juga untuk menurunkan emosi penonton. Dari awal emosi penonton sudah
diajak naik dan dipermainkan. Falling Action ini juga berfungsi untuk
memberi persiapan waktu pada penonton untuk merenungkan apa yang telah
ditonton. Titik ini biasanya ditandai oleh semakin lambatnya emosi permainan,
dan volume suara pemeran lebih bersifat menenangkan.
e.
Kesimpulan
(Denoument)
Kesimpulan
adalah penyelesaian dari lakon tersebut, baik berakhir dengan bahagia maupun
menderita atau sedih.
Menurut
Dewojati (2010:164), pola struktur alur Freytag seperti di atas tidak dipakai
secara patuh oleh para penulis drama modern. Pada drama modern biasanya posisi
klimaks diletakkan di dekat bagian akhir cerita (Whiting dalam Dewojati
(2010:165)).
2. Skema
Hudson
Menurut
Hudson dalam Tambajong (1981:35), alur dramatik tersusun menurut apa yang
dinamakan dengan garis laku. Garis laku lakon dalam skema ini juga melalui
bagian-bagian tertentu yang dapat dijabarkan sebagai berikut.
a. Eksposisi
Pada
bagian eksposisi ini adalah saat yang tepat untuk memperkenalkan dan
membeberkan karakter-karakter yang ada, dimana terjadinya peristiwa tersebut,
peristiwa apa yang sedang dihadapi oleh karakter-karakter yang ada dan lain
sebagainya.
b. Insiden
Permulaan
Pada
insiden permulaan ini mulai teridentifikasi insiden-insiden yang memicu
konflik, baik yang dimunculkan oleh tokoh utama maupun tokoh pembantu.
Insiden-insiden ini akan menggerakkan alur dalam lakon.
c. Pertumbuhan
Laku
Pada
bagian ini merupakan tindak lanjut dari insiden-insiden yang teridentifikasi
tersebut. Konflik-konflik yang terjadi antara karakter-karakter semakin
menanjak, dan semakin mengalami komplikasi yang ruwet. Jalan keluar dari
konflik tersebut terasa samar-samar dan tak menentu.
d. Krisis
atau Titik Balik
Krisis
adalah keadaan dimana lakon berhenti pada satu titik yang sangat menegangkan
atau menggelikan sehingga emosi penonton tidak bisa apa-apa. Menurut Hudson
dalam Santosa, dkk (2008:80), klimaks adalah tangga yang menunjukkan laku yang
menanjak ke titik balik, dan bukan titik balik itu sendiri. Sedangkan titik
balik sudah menunjukan suatu peleraian dimana emosi lakon maupun emosi penonton
sudah mulai menurun.
e. Penyelesaian
atau Penurunan Laku
Penyelesaian
atau denoument yaitu bagian lakon yang merupakan tingkat penurunan emosi
dan jalan keluar dari konflik tersebut sudah menemukan jalan keluarnya.
f. Catastroph
Semua
konflik yang terjadi dalam sebuah lakon bisa diakhiri, baik itu akhir sesuatu
yang membahagiakan maupun akhir sesuatu yang menyedihkan.
2.
Tensi Dramatik
Mathews
dalam Santosa, dkk (2008:80), menekankan pentingnya tensi dramatik. Perjalanan
cerita satu lakon memiliki penekanan atau tegangan (tensi) sendiri dalam
masing-masing bagiannya. Tegangan ini mengacu pada persoalan yang sedang
dibicarakan atau dihadapi.
Dengan mengatur nilai tegangan pada bagian-bagian
lakon secara tepat maka efek dramatika yang dihasilkan akan semakin baik.
Pengaturan tensi dramatik yang baik akan menghindarkan lakon dari situasi yang
monoton dan menjemukan. Titik berat penekanan tegangan pada masing-masing bagian
akan memberikan petunjuk laku yang jelas bagi aktor sehingga mereka tidak
kehilangan intensitas dalam bermain dan dapat mengatur irama aksi.
a. Eksposisi
Bagian
awal atau pembukaan dari sebuah cerita yang memberikan gambaran, penjelasan dan
keterangan-keterangan mengenai tokoh, masalah, waktu, dan tempat. Hal ini harus
dijelaskan atau digambarkan kepada penonton agar penonton mengerti.
Nilai
tegangan dramatik pada bagian ini masih berjalan wajar-wajar saja. Tegangan
menandakan kenaikan tetapi dalam batas wajar karena tujuannya adalah pengenalan
seluruh tokoh dalam cerita dan kunci pembuka awalan persoalan.
b. Penanjakan
Sebuah
peristiwa atau aksi tokoh yang membangun penanjakan menuju konflik. Pada bagian
ini, penekanan tegangan dramatik mulai dilakukan. Cerita sudah mau mengarah
pada konflik sehingga emosi para tokoh pun harus mulai menyesuaikan. Penekanan
tegangan ini terus berlanjut sampai menjelang komplikasi.
c. Komplikasi
Komplikasi
merupakan kelanjutan dari penanjakan. Pada bagian ini salah seorang tokoh mulai
mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu atau melawan satu keadaan
yang menimpanya. Pada tahap komplikasi ini kesadaran akan adanya persoalan dan
kehendak untuk bangkit melawan mulai dibangun. Penekanan tegangan dramatik
mulai terasa karena seluruh tokoh berada dalam situasi yang tegang.
d. Klimaks
Nilai
tertinggi dalam perhitungan tensi dramatik dimana penanjakan yang dibangun
sejak awal mengalami puncaknya. Semua tokoh yang berlawanan bertemu di sini.
e.
Resolusi
Mempertemukan
masalah-masalah yang diusung oleh para tokoh dengan tujuan untuk mendapatkan
solusi atau pemecahan. Tensi dramatik mulai diturunkan. Semua pemain mulai
mendapatkan titik terang dari segenap persoalan yang dihadapi.
f. Konklusi
Tahap
akhir dari peristiwa lakon biasanya para tokoh mendapatkan jawaban atas
masalahnya. Pada tahap ini peristiwa lakon diakhiri. Meskipun begitu nilai
tensi tidak kemudian nol tetapi paling tidak berada lebih tinggi dari bagian
eksposisi karena pengaruh emosi atau tensi yang diperagakan pada bagian
komplikasi dan klimaks.
3.
Turning Point
Model
struktur dramatik dari Cassady dalam Santosa, dkk (2008:82) menekankan
pentingnya turning atau changing point (titik balik perubahan)
yang mengarahkan konflik menuju klimaks. Titik balik ini menjadi bidang kajian
yang sangat penting bagi sutradara berkaitan dengan laku karakter tokohnya
sehingga puncak konflik menjadi jelas, tajam, dan memikat.
4.
Alur Dramatik
Kernodle
Kernodle dalam Dewojati (2010:167) membagi perkembangan
alur menjadi beberapa bagian seperti berikut.
a.
Eksposisi
Menjelaskan kepada penonton
apa yang telah terjadi sebelumnya dan bagaimana situasinya sekarang ini.
Selanjutnya, alur kemudian bergerak ke titik serangan yang memicu munculnya
kekuatan penggerak.
b.
Komplikasi
Munculnya komplikasi demi
komplikasi dalam cerita yang menimbulkan ketegangan. Kemudian ketegangan
meningkat dalam build (pertumbuhan),
yang lambat laun membesar dan menimbulkan minor
climax (klimaks kecil), yang lalu diikuti oleh penurunan.
c.
Antisipasi atau
Pratanda
Terdapat konflik masa depan.
Hal ini ditegaskan dengan adanya situasi “ancaman” yang mendorong masuknya peristiwa ke dalam ketegangan besar,
krisis besar, memuncaknya ketegangan dalam klimaks besar.
d.
Conclusion
5.
Alur Dramatik
Lynn Altenbernd dan Leslie L. Lewis
Menurut
Altenbernd dalam Dewojati (2010:186), konflik adalah dasar sebuah alur karena alur terbangun
dengan adanya konflik-konflik yang muncul dalam drama.
D. Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penokohan merupakan unsur penting dalam
sebuah pementasan drama. Dengan adanya penokohan ini penonton bisa membedakan
tokoh satu dengan tokoh yang lainnya karena setiap tokoh mempunyai peran dan
karakter yang berbeda-beda yaitu protagonis, antagonis, deutragonis, tritagonis, foil, utility atau flat
character, round character,
teatrikal, dan karikatural.
Struktur dramatik merupakan bagian
dari alur sehingga struktur dramatik dan alur ini tidak dapat dipisahkan. Bila
alur tidak ada maka struktur dramatik ini juga tidak akan ada karena struktur
dramatik mengacu pada alur. Struktur dramatik menjelaskan lebih mendetail
mengenai unsur-unsur alur dengan berbagai pendapat para ahlinya.
Demikian penjelasan mengenai pengertian tokoh, jenis-jenis penokohan dan pengertian penokohan menurut para ahli. Tetap ikuti update dari kami untuk mendapatkan informasi pendidikan yang bermutu. Terima kasih.
DAFTAR RUJUKAN
Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Drama Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soemanto, Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta: Media Pressindo.
Sumarwahyudi. 2011. Filsafat Ilmu Seni. Malang: Pustaka Kaiswaran.
Supriyono. 2011. Tata Rias Panggung. Malang: Bayumedia Publishing.
Tambajong, Japi. 1981. Dasar-dasar Dramaturgi. Bandung: Harapan Bandung.
Wahyuningtyas, Sri, dan Wijaya Heru Santosa. 2011. Sastra: Teori dan Implementasi. Surakarta: Yuma Pustaka.Wariatunnisa, Alien dan Yulia Hendrilianti. 2010. Seni Teater untuk SMP atau MTs Kelas VII, VIII, dan IX (Rahmawati, Irma dan Ria Novitasari, Ed). Jakarta: Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional.
Wiyanto, Asul. 2005. Kesusastraan Sekolah. Jakarta: Grasindo Anggota Ikapi.
makasih, jadi cepat selesai ngerjain pr
ReplyDeleteBahasanya sangat mudah dipahami saya lebih mudah memahami pengertian tersebut.
ReplyDeleteTerimakasih penjelasannya lengkap sekali
ReplyDeleteDaftar pustaka tidak lengkap sehingga sumber tidak jelas.
ReplyDelete