Proses Kreatif dan Pengolahan Ide
Karya sastra tidak hanya terlahir begitu saja, karya sastra tercipta pasti karena adanya pencipta atau pengarang yang biasa disebut dengan sastrawan. Kalau kita ingin memahami sebuah karya sastra, akan lebih baik lagi kalau kita juga memahami diri sastrawan. Kalau kita telah mengenal sastrawan, kita juga bisa memahami lebih baik karya sastranya. Karya sastra dianggap sebagai sarana untuk memahami keadaan jiwa pengarang, atau sebaliknya. Penjelasan mengenai kepribadian dan kehidupan sastrawan penting bagi studi sastra. Kepribadian dan dan kehidupan tersebut bisa kita pahami salah satunya melalui biografinya. Wellek dan Warren dalam Siswanto (2008: 2) menyatakan bahwa, biografi sastrawan dapat dipelajari dari luar karya sastra dan dari dalam karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan.
Dengan mengetahui proses kreatif kepengarangan sastrawan, dapat
mempermudah pemahaman karya-karya mereka. Dapat pula mengetahui riwayat hidup
pengarang, proses munculnya ide pertama dalam mengarang,
masalah dan tema yang sering digarap pengarang, kepuasan dan suka duka sebagai
pengarang, arti dan makna karya yang dihasilkan, dan lain-lain. Kritik
ekspresif adalah kritik yang menekankan hubungan antara
karya sastra dengan keadaan jiwa dan maksud pengarang.
Pengarang menjadi pusat perhatian. Sugihastuti (2002: 3)
menyatakan bahwa, pandangan hidup pengarang diperlukan untuk
mengetahui bagaimana hubungan antara pola dasar pemikiran dengan hasil ciptaannya,
antara proses penciptaan dengan karya-karyanya.
Siswanto (2008: 24) menyatakan bahwa, kegiatan yang dilakukan
sastrawan dalam berproses kreatif ternyata beragam.
Mulai dari dorongan sastrawan bisa menulis karya sastra sampai alasan mengapa karya sastra tersebut bisa tercipta atau alasan yang
menyebabkan dia mengarang. Ada beberapa sastrawan yang mengarang karya
sastranya berdasarkan pengalaman pribadi dan ada pula yang menciptakan karya
sastra berdasarkan pengalaman orang lain atau kadang berdasarkan imajinasi sastrawan.
Pengertian Cerpen dan Jenisnya
Kenyataan Mengejutkan Angkatan 20-an
Ternyata apa yang diperlukan sastrawan dalam menulis atau menciptakan karya sastra antara sastrawan yang satu dengan sastrawan
yang lainya itu berbeda-beda. Proses
kreatif seorang pengarang dengan pengarang lain berbeda. Setiap
sastrawan memiliki proses tersendiri. Latar belakang kehidupan, pendidikan, dan
lingkungan turut ‘membentuk’ pengarang itu. Ada empat hal yang membahas tentang proses
kreatif yang dilalui sastrawan. Keempat hal tersebut
adalah (1) alasan dan dorongan menjadi pengarang, (2) kegiatan sebelum menulis,
(3) kegiatan selama menulis, dan (4) kegiatan setelah menulis.
Alasan dan
Dorongan Menjadi Pengarang
Alasan dan dorongan untuk menjadi pengarang pada setiap sastrawan berbeda-beda. Pengarang mempunyai alasan atau
semacam dorongan naluri untuk mengarang. Siswanto (2008: 25—26) menyatakan
alasan mereka adalah (1) Untuk mempertahankan hidup, (2) seksual, (3)untuk
mencari makan, (4)untuk bergaul atau berinteraksi dengan sesama manusia,
(5)untuk meniru tingkah laku sesamanya, (6) untuk berbakti, dan (7) akan
keindahan.
Sastrawan dalam mengarang mempunyai dorongan yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa faktor bakat adalah
dominan dalam proses kreatif seorang pengarang. Menjadi
Sastrawan bukan hal yang mudah, mereka harus mempunyai seni dan berani
mengambil keputusan dalam menjadi sastrawan. Mereka harus berani
mengambil resiko dan mengahadapi resiko. Keinginan sastrawan agar karya
sastrannya mempunyai nilai estetika adalah bukti adanya dorongan akan keindahan
dalam mengarang karya sastra. Bagi masyarakat
religius, ada satu dorongan lagi
yang penting, yakni dorongan akan rasa ketuhanan. Dilihat dari sudut ini, karya
sastra bagi sastrawan juga berfungsi untuk memenuhi
dorongan-dorongan tersebut dengan berbagai tingkatannya.
Alasan lain yaitu untuk mempertahankan hidup, ini berarti mengarang
bisa juga digunakan sebagai pekerjaan yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah
untuk membantu menopang perekonomian keluarga. Bagi Ahmad Tohari mengarang
mempunyai manfaat besar untuk perekonomiannya, dari honorarium dan royalti yang
dia terima, dia dan keluarganya bisa hidup sehat walaupun serba sederhana.
Kelima anaknya bisa sekolah sampai ke perguruan tinggi (semuanya di PTN, 3 di
UGM, dan 2 di Unsoed).
Sama halnya dengan Zawawi Imron, mengarang juga mempunyai mafaat yang
besar, baginya dan keluarganya. Sajaknya yang berjudul Dialog Bukit Kamboja yang
dia ikutkan dalam lomba menulis puisi memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-50,
yang diadakan oleh Anteve bekerja sama dengan panitia pusat HUT ke-50
Kemerdekaan RI, keluar sebagai juara pertama, dan Zawawi Imron mengantongi
hadiah tujuh setengah juta rupiah, yang kemudian dia jadikan sebuah rumah.
Pada dasarnya seorang seniman adalah
pengamat dan peneliti yang cermat, meskipun pada umumnya
dilakukan secara langsung. Tanpa pengamatan maka sebuah karya tidak akan memiliki nilai yang meyakinkan. Manusia
harus belajar terus-menerus atau melewati proses belajar untuk dapat melakukan
aktivitas kreatif. Begitu juga dengan sastrawan yang mempunyai kebebasan penuh untuk melakukan
proses belajar dan mengembangkannya sebagai bagian dari proses kreatif.
Banyak dari sastrawan yang tidak pernah menyangka bahwa dirinya bisa
menjadi sastrawan atau pengarang. Seperti halnya Ahmad Tohari, dia belum
pernah membanyangkan bahwa dirinya akan menjadi pengarang seperti sekarang ini,
yang telah melahirkan berbagai karya sastra dan namanya pun dikenal orang. Di SMA Negeri II Purwokerto
(1963-1966), dia mengambil jurusan Ilmu Pasti dan Alam. Selanjutnya dia masuk
fakultas kedokteran, tetapi karena masalah biaya dia tak bisa menamatkan
kuliahnya tersebut. Namun, diluar kesadaran dia telah melakukan hal-hal yang
bisa disebut sebagai persiapan diri menjadi pengarang. Dan hal-hal tersebut dia
lakukan sejak dia masih belajar di Sekolah Rakyat. Hal-hal yang dia maksud
adalah kegemarannya mendengar cerita-cerita lisan dari kakek atau gurunya,
menonton pentas wayang kulit, dan setelah duduk di kelas empat SR dia mulai
suka membaca.
Kegiatan Sebelum Menulis
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan sastrawan sebelum menulis karya sastra. Kegiatan yang dilakukan
bisa berupa kegiatan yang sudah lama berlangsung sebelum proses dia menulis:
kegiatan menjelang dia menulis. Sebelum
menulis pada umumnya sastrawan berjalan-jalan, membaca, mendengarkan, dan
memperoleh pengalaman.
Berjalan-jalan
Sastrawan banyak mendapatkan ide setelah berjalan-jalan.
Berjalan-jalan karena ia mudah mendapatkan ide dengan bepergian. Banyak
sastrawan yang menemukan ide saat mereka jalan-jalan.
Mereka menemukan ide dan menulis dalam bahasa Indonesia. Pada suatu hari,
setelah berjalan-jalan ke beberapa tempat penting meraka langsung masuk kamar
berdiam selama beberapa detik melihat keluar jendela. Ingatan meraka kembali
kesebuah pemandangan yang telah mereka lihat saat keluar berjalan-jalan dan
seakan-akan meraka mengambil sebuah kertas dan bolpoin, mereka menulis tentang
apa yang telah mereka lihat. Zawawi Imron, dia kurang
tahu persis bagaimana dia harus menulis sajak. Dia selalu ingin menulis sajak
dimanapun dia berada ketika ada hasrat untuk menulis. Ketika dalam
perjalannanya dia tidak membawa bolpoin dan kertas, dia merasa sangat menyesal.
Bahkan seperti dihantui rasa berdosa pada dirinya sendiri.
Pada bulan Januari 2003, Zawawi Imron diundang baca puisi pada
festival Winternachten, di negeri Belanda. Setengah bulan di sana dia
sempat berjalan-jalan dan mengunjungi beberapa tempat di kota dan wilayah
tersebut. Kemudian dia menulis sajak tentang perjalanannya tersebut sampai 100
puisi, dan kemudian terbit dengan judul Refrein di Sudut Dam. Zawawi
Imron juga sempat berkeliling Sulawesi Selatan selama 20 hari, dan sempat
membaca puisi di Pare-pare bersama H.B. Jasin, Taufiq Ismail, Abdul Hadi W.M.,
Sutardji Calzoum Bachri. Di tanah bugis itu muncul kekagumannya kepada
tokoh-tokoh bersejarah, misalnya kepada Arung Matowa Wajo X yang menghukum mati
putranya sendiri karena memperkosa seorang perawan desa, yang kemudian dia
tulis sebagai sajak yang berjudul Ade;e Temmakeana. Kekaguman Zawawi Imron terhadap pelaut Bugis
yang penuh keberanian menerjang gelombang laut juga dia tuiskan dalam sebuah
sajak yang berjudul ‘Lagu Laut’. Kekaguman terhadap senjata Bugis-Makasar yang
berupa badik, juga membuatnya melahirkan sebuah karya lagi dengan judul Badik. Sajak-sajak tentang alam, budaya, dan manusia
Bugis-Makasar itu dia tulis sampai sejumlah 91 puisi. Semua terkumpul dalam
buku Berlayar di Pamor Badik.
Membaca
Bekal menjadi pengarang adalah banyak membaca. Biasanya setiap
pengarang atau sastrawan memiliki
riwayat hidup semasa kecil yang gemar membaca. Banyak sastrawan Indonesia yang
suka membaca sebelum mereka menjadi sastrawan, banyak pengalaman-pengalaman yang
meraka alami saat meraka menjadi pelajar. Pengalaman-pengalaman yang harus
dilakukan setiap saat dan setiap waktu, agar ilmu mereka bisa diterapakan dalam
kehidupannya dan untuk membantu kehidupan orang lain yang ada di lingkungannya.
Ahmad Tohari,
setelah duduk di kelas empat SR dia mulai suka membaca. Bahan-bahan
bacaannya dia dapatkan terutama di sekolah. Selain di sekolah, di rumah ada koran.
Selain koran
dan majalah serta primbon dalam bahasa Jawa, di rumah
juga banyak kitab dalam bahasa Arab maupun Jawi dalam tulisan pegon. Pada masa
Sekolah Rakyat diapun telah tamat membaca komik Mahabarata karya R.A Kosasih sebanyak 48 jilid dan komik Ramayana sebanyak 19 jilid.
Di kelas 2 SMP Ahmad Tohari mulai tertarik
untuk menulis, yaitu ketika Gurunya menyuruh untuk mengisi majalah dinding di
sekolah. Dia mengenal Pramoedya Ananta Toer melalui koran
Bintang Timur, mengenal Asrul Sani melalui koran
Duta Masyarakat, mengenal Sitor
Situmorang melalui koran Suluh Marhaen, dan lain sebagainya. Dan
semenjak SMA teaptnya kelas 2 SMA dia sangat aktif membuat catatan harian,
cerpen, esai, catatan
perjalanan, dan lain-lain.
Demikian, tanpa dia sadari dia telah belajar
menulis cerpen, esai, travelog, dan sebagainya.
Surat menyurat dengan teman perempuanpun juga sering dia lakukan. Dengan
demikian, dia telah belajar mengungkapkan perasaan dan gagasannya yang
ditumpahkan dalam bentuk tulisan.
Mendengarkan
Kegiatan ketiga yang bisa dilakukan sastrawan sebelum mengarang adalah mendengarkan.
Mendengarkan bukan hal yang mudah bagi sastrawan atau bagi kitapun, dalam
mendengarakan sastrawan harus belajar menjadi pendengar yang baik. Pendengar
yang baik bukan hanya mendengarkan orang saat berbicara, tetapi pendengar yang
baik harus bisa memberi saran atau komentar dan mengerti apa yang sedang
dibicarakan. Menjadi pendengar yang baik
juga harus belajar untuk berbicara dan
bukan menjadi pendengar yang baik saja. Ahmad Tohari, semenjak dia masih
belajar di Sekolah Rakyat kegemarannya adalah mendengar cerita-cerita lisan
dari kakek atau gurunya, dan menonton pentas wayang kulit.
Memperoleh Pengalaman
Kegiatan yang dilakukan sastrawan sebelum mengarang adalah mencari pengalaman. Sastrawan yang
memanfaatkan pengalaman dalam kehidupannya atau pengalaman dari orang lain ke
dalam karya sastranya. Mencari Pengalaman yang sebanyak-banyaknya bisa membantu
sastrawan dalam mengarang atau menulis cerita-cerita dalam kehidupan manusia di
dunia. Contoh pengalaman-pengalaman yang bisa dijumpai dalam setiap kehidupan
manusia adalah pengalaman saat di keluaga, sekolah, lingkungan atau petualangan.
Ahmad Tohari, hampir semua karya sastranya
terilhami oleh pengalaman nyata,
hasil pembacaan lahir batin atas lingkungan yang kemudian diperkaya dengan
idealisme dan komitmen kemanusiaan. Maka semua karyanya sederhana dan amat
membumi. Maka topik-topik tentang kehidupan wong
cilik dengan aneka ragam persoalannya menjadi sangat dominan dalam
karangan-karangannya. Sepanjang pengalaman menjadi pengarang, ide atau ilham bisa datang kapan saja. Bisa
muncul dalam waktu yang tidak bisa diramalkan. Mutunyapun berbeda-beda. Maka
tidak semua ilham berhasil dikembangkan
dan dilahirkan sebagai karya sastra.
Jenis-Jenis Drama, dan Aliran Drama
Analisis Cerpen Pembalasan Dendam
Pengertian SemiotikaKegiatan Selama Menulis
Kegiatan sastrawan dalam
menciptakan karya sastranya yang paling penting adalah pada saat menulis.
Kegiatan sastrawan pada saat menulis bisa dibahas sari berbagai segi. Dari
sudut keadaan jiwa sastrawan pada saat menulis, kebiasaan sastrawan, atau
pandangan sastrawan terhadap pembaca.
Bagi
Ahmad Tohari, ketika sebuah karya sudah tergambar kuat di kepala maka hal
selanjutnya yang ditunggu adalah mood.
Menurutnya, mengawali suatu karya adalah hal yang agak sulit, sama sulitnya
ketika dia harus membuat judul. Intuisi mengambil peran yang sangat penting
untuk membuat kalimat atau bahkan kata pertama sebuah karya. Namun, setelah
alinea pertama dibuat dan terasa cukup maka selanjutnya menjadi lebih mudah.
Pada tahap inilah kenikmatan menulis mulai terasa, yaitu ketika dia berhasil
menemukan kata yang tepat, menyusunnya menjadi kalimat yang anggun, dan
akhirnya bisa menyusun suatu ungkapan jiwa yang paling mewakili perasaan. Apalagi Ahamad Tohari dalam menyusun
karangan-karangannya selalu mempunyai gambaran kasar atau kerangka cerita dari
awal sampai akhir beserta bagian-bagiannya. Bagian-bagian dalam karangannya
dikembangkan menurut subtema-subtema yang sudah terbayang dan terencana sejak
awal. Maka dalam penggarapan cerita, dia tidak perlu lagi menerka-nerka bab
atau bagian yang menjadi unsur dari keseluruhan cerita.
Sastrawan Perajin dan Sastrawan Kesurupan
Sastrawan perajin mengarang
penuh keterampilan, terlatih, dan bekerja dengan serius dan penuh tanggung
jawab. Sastrawan kesurupan dalam mengarang berada dalam keadaan kesurupan,
penuh emosi, dan menulis dengan spontan. Mungkin dari beberapa sastrawan dalam mengarang, mereka juga pernah mengalami
seperti itu, karena dalam kehidupan sastrawan, saat sastrawan itu punya atau
mengalami masalah atau konflik dengan keluarga atau orang tedekat juga dapat
membantu mereka mengarang spontan. Banyak sastrawan yang begitu asyik pada saat
ia menulis sehingga ia melupakan keadaan lingkungannya atau dirinya, melupakan
saat ia harus makan, minum, istirahat dan melakukan kegiatan lainnya.
Sastrawan Cepat dan Lambat
Selain sastrawan perajin
dan sastrawan kesurupan, ada sastrawan yang mengarang cepat dan lambat. Banyak
sastrawan yang dalam karirnya sebagai sastrawan hanya menghasilkan beberapa
karya sastra. Sastrawan seperti ini
bisa dimasukkan atau digolongkan sebagai sastrawan yang lambat dan kurang
berkarya. Biasanya sastrawan seperti ini berkarya sambil sibuk bekerja dan
menganggap sebagai pekerjaan yang lebih mengahasilkan uang.
Zawawi Imron, dalam satu hari bisa menulis lima sampai sepuluh sajak.
Gairahnya menulis kadang-kadang berlangsung sampai tiga atau lima hari. Ketika
sangat subur, dalam satu malam Zawawi Imron pernah menghasilkan 39 puisi.
Sastrawan Pemerhati Pembaca dan Terlepas dari
Pembaca
Sastrawan yang menulis karyanya
membayangkan dan memperhatikan pembacanya. Karena ingin memperbanyak orang yang
membaca karyanya. satrawan yang menulis karyanya tanpa membayangan dan
memperhatikan pembacanya, karena satrawan tesebut tidak berfikir atau terlepas
dalam menulis karyanya.
Sastrawan Produktif dan Tidak Produktif
Sastrawan ada yang produktif dan ada
yang
kurang atau bahkan tidak produktif. Siswanto (2008: 39) menyatakan bahwa, sastrawan yang produktif itu, antara lain S. Takdir A,
Subagio Sastrowardoyo, A.A. Navis, Nh. Dini, Ajip Rosidi, Putu Wijaya,
Arswendo, Danarto, Supardi Djoko Darmono, Zawawi Imron, Abdul Hadi, Sutardji
Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad, Emha Ainun Nadjib, Taufiq Ismail, Djenar
Mahesa Ayu, dan Seno Gumira Ajidarma. Akan tetapi, di sisi lain ada sastrawan
yang mempunyai sedikit karya. Ada seorang sastrawan yang hanya mempunyai satu
cerpen atau puisi yang berhasil dimuat di majalah
yang diakui standar kesastraannya.
Zawawi Imron merupakan sastrawan yang produktif dan subur dalam menulis. Dia
mulai menulis sejak dalam pondok pesantren. Selama 18 bulan di pesantren, dia
lalu pulang dan terus belajar menulis sampai dia menghasilkan sajaknya yang
berjudul Di Kebun Siwalan. Hingga pada tahun 1966, setelah kembalinya
dia merantau dari Rogojampi, Banyuwangi di menghasilkan sebuah puisi untuk Ibu
yang dia beri judul Ibu yang dibuatnya selama kurang lebih dua tahun.
Berikut contoh puisi dengan judul Ibu karya Zawawi Imron:
Ibu
Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur
kering, daunan pun gugur bersama meranting
Hanya mata air
air matamu, ibu, yang tetap lancar mengalir
Bila aku merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalnku
Di hati ada
mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
Lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
***
Zawawi Imron juga telah mebuat kumpulan puisi yang berjudul Bulan
Tertusuk Lalang dan Nenek Moyangku Airmata. Dalam satu hari dia bisa
menulis lima sampai sepuluh sajak. Dia juga pernah dalam satu malam saja
menghasilkan 39 puisi. Sajak-sajaknya yang terkumpul dalam Bulan Tertususk
Lalang yang sebelumnya pernah ditolak oleh salah satu penerbit di Surabaya,
dikirimkannya ke Balai Pustaka dan diterbitkan. Kumpulan berikutnya Nenek
Moyangku Airmata juga diterbitkan Balai Pustaka. Pada pertemuan Sastrawan
Nusantara V di Makasar pada akhir bulan November 1986, kumpulan sajaknya Bulan
Tertusuk Lalang dan Nenek Moyangku Airmata diseminarkan dalam sesi
khusus dengan pembahas Subagio Sastrowardoyo. Zawawi juga berhasil membuat
kumpulan puisi dengan judul Refrein di Sudut Dam yang dia tulis selama
perjalanannya di Belanda pada bulan Januari 2003, ketika di undang baca puisi pada
Festifal Winternachten yang berisi 100 puisi.
Kegiatan Setelah Menulis
Setelah menulis karya sastranya, sastrawan tidak ada diam atau selesai begitu saja. Ada
beberapa kegiatan lain yang dilakukan sastrawan setelah sastrawan selesai
menulis. Kegiatan yang dilakukan sastrawan setelah menulis karya sastranya bisa
berupa kegiatan melakukan revisi, melakukan perenungan, dan akan menulis karya
yang baru lagi atau memutuskan berhenti menulis.
Merevisi
Kegiatan yang dilakukuan sastrawan setelah menulis karya sastranya adalah
merevisi. Revisi berupa mengetik kembali karya sastra yang telah sastrawan buat sebelumnya. Ahmad
Tohari, dalam menulis cerpen maupun
novelnya, hampir selalu melakukan koreksi atau bahkan tulis ulang. Buku
pertamanya trilogi Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, dia tulis ulang sampai
tiga kali. Hal tersebut dia lakukan untuk mencapai tingkat keterwakilan
setinggi mungkin. Dan Ahmad Tohari selalu melakukannya karena setiap melakukan
tulis ulang dia menikmati kepuasan baru, yakni bila dia berhasil menemukan
suatu kata yang lebih tepat dan menyusunnya menjadi kalimat yang lebih bagus.
Melakukan Perenungan
Selain menulis karya sastra, kegiatan yang dilakukan
sastrawan bisa berupa kegiatan melakukan perenungan.
Perenungan yang dilakukan satrawan setelah menulis karya sastrannya bukan tanpa
sebab atau tujuan. Perenungan yang dilakukan sastrawan setelah menulis karya
sastra bertujuan untuk memikirkan kembali tentang
karya sastra yang telah ditulis, apakah sudah sesuai dengan apa yang dia
harapkan atau belum, dan apakah ada yang masih kurang atau perlu di ubah dalam
tulisannya tersebut.
Ahmad Tohari dalam pengalamannya, ternyata waktu yang diperlukan untuk
menulis novel yang satu berbeda dengan novel yang lainnya. Novel
Kubah diselesaikannya dalam waktu dua
bulan. Novel Di Kaki Bukit Cibalak
mlah lebih singkat, satu bulan. Namun penulisan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk memerlukan waktu beberapa tahun. Mungkin
karena novel ini harus mengunhgkap sesuatu yang serius sehingga memerlukan
waktu, tenaga, dan pemikiran yang banyak.
Akan Menulis lagi ataukah Berhenti Menulis
Setelah menulis karya sastranya, seorang sastrawan dapat mengambil keputusan, apakah ia akan
menulis karya sastranya lagi ataukah memutuskan untuk berhenti menulis.
Beberapa sastrawan bahkan ada yang memutuskan untuk berpindah profesi. Ada
seorang satrawan yang setelah sebelumnya dikenal sebagai seorang sastrawan,
tetapi kini sudah berpindah profesi. Goenawan Mohamad, dari seorang satrawan
berpindah menjadi seorang wartawan, editor, atau penulis esai.
Modal Menjadi Sastrawan
Banyak dari sastrawan yang
sebelum mereka menjadi sastrawan mempunyai hobi membaca. Bagi mereka membaca
adalah sesuatu yang menyenangkan dan bahkan tidak jarang membaca telah menjadi
candu bagi mereka. Dengan membaca berbagai informasi dan pengetahuan bisa
didapat. Jadi dapat disimpulkan salah satu modal penting untuk menjadi
sastrawan adalah dengan membaca.
Kesimpulan
Karya sastra tidak hanya terlahir begitu saja, karya sastra tercipta pasti karena adanya pencipta atau
pengarang yang biasa disebut dengan sastrawan. Karya sastra dianggap
sebagai sarana untuk memahami keadaan jiwa pengarang, atau sebaliknya. Dengan
mengetahui proses kreatif kepengarangan sastrawan, dapat mempermudah
pemahaman karya-karya mereka. Dapat pula mengetahui riwayat hidup pengarang,
proses munculnya ide pertama dalam mengarang, masalah dan tema yang sering
digarap pengarang, kepuasan dan suka duka sebagai pengarang, arti dan makna
karya yang dihasilkan, dan lain-lain.
Daftar
Rujukan
Ratna,
Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme
Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siswanto,
Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra.
Jakarta: Grasindo.
Sugihastuti.
2011. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Wellek
dan Warren. 1977. Teori Kesusasteraan. Diterjemahkan oleh Budianta.
1990. Jakarta: Gramedia.
Post a Comment for "Proses Kreatif dan Pengolahan Ide"