Unsur-Unsur Drama
Drama berisi persoalan-persoalan
kehidupan. Sumber penulisan drama ialah tabiat manusia (Harymawan, 1986:9). Dalam
drama harus ada tema, karena tema merupakan tujuan yang harus dicapai oleh
pemain, apabila tema tidak jelas maka cerita akan hambar, jadi dapat dikatakan
bahwa tema ialah pikiran pokok yang mendasari lakon drama. Menurut Keraf (dalam
Santosa, dkk 2008:63), tema ialah suatu amanat utama yang disampaikan oleh
pengarang atau penulis melalui karangannya. Tema secara umum dapat disebut sebagai
gagasan sentral, dasar cerita yang juga mencakup permasalahan dalam cerita,
yaitu sesuatu yang akan diungkapkan untuk memberikan arah dan tujuan cerita
dalam karya sastra, termasuk di dalamnya adalah teks drama (Dewojati,
2010:171).
Wahyuningtyas dan Santosa (2011:3)
berpendapat bahwa tema adalah gagasan utama atau gagasan sentral pada sebuah
cerita atau karya sastra. Jadi tema merupakan ide dasar, ataupun pesan yang
akan menjadi sasaran oleh pemain dan yang akan menentukan jalannya cerita dalam
drama. Kemudian tema inilah yang akan dikembangkan sehingga dapat menjadi
cerita yang menarik. Tema bisa bermacam-macam tidak harus terdiri sari satu kata
saja, seperti contoh tema ketaatan kepada Tuhan, kesenjangan sosial pada
masyarakat miskin, patriotisme, keluarga yang retak, perikemanusiaan, ataupun
yang lainnya.
Baca Juga:
Perkembangan Drama di Indonesia
Perbedaan Drama dan Teater
Pengertian Drama dan Sejarahnya
Dalam pemilihan tema, Oemarjati
(1971:63) menyatakan bahwa ada dua hal yang harus diingat adalah kejadian yang
dalam pentas dinyatakan sebagai laku dan motif, yaitu alasan bagi timbulnya
suatu laku atau kejadian. Karena laku merupakan perwujudan lakon, maka laku
sebagai figuran lakon haruslah diterangkan kejadiannya melalui rangkaian dan totalitas.
Motif merupakan dasar laku, keseluruhan rangsang dinamis yang jadi lantaran
seseorang mengadakan respon-respon. Menurut Soemanto (2001:349), cara untuk
memunculkan tema, yaitu (1) dipertanyakan seberapa jauh tema sudah dimasak
dalam benak, (2) mempertimbangkan tokohnya, bagaimana progresi wataknya, dan
(3) bagaimana settingnya, dalam hal ini tema akan berkaitan dengan plot, yang
dibagi per adegan. Dari sinilah akan tampak, apakah tema cukup kuat dan
mempunyai kandungan jauh, atau baru bersifat sangat embrional yang masih
memerlukan pematangan lebih jauh. Jika tema sudah berhasil terpilih maka harus
disempitkan dengan memilih topik, topik merupakan sesuatu yang lebih khusus
daripada tema. Tema dan topik yang dipilih harus saling berhubungan sehingga tidak
ada kerancuan dalam cerita.
Pementasan
drama merupakan kegiatan yang melibatkan banyak unsur, antara unsur satu dengan
yang lain harus saling mendukung. Unsur-unsur itu meliputi naskah drama,
pemain, sutradara, penonton, penggung serta artistik. Menurut Damono (1983:114
dalam Dewojati, 2010:11), ada tiga unsur yang merupakan satu kesatuan yang
menyebabkan drama itu dapat dipertunjukan, yaitu unsur naskah, pementasan, dan
penonton. Santosa, dkk (2008:44) berpendapat bahwa unsur drama yang utama ialah
naskah, sutradara, pemain, dan penonton. Berikut ini akan dijabarkan mengenai
unsur-unsur utama tersebut.
1.
Naskah drama
Dalam
pementasan drama tentunya diperlukan sebuah naskah. Drama dibedakan dengan
prosa atas dasar pertimbangan cara-cara penulisan naskah dan penampilan isi, di
dalam naskah drama, pada umumnya diawali dengan prolog, babak cerita, dan
epilog (Ratna, 2009:369). Naskah drama ialah karangan yang berisi cerita atau
lakon. Naskah drama ini akan membantu para pemain untuk melakukan pementasan,
dari naskah ini mereka akan dapat mengerti apa yang harus mereka ucapkan atau
gerakkan, bagaimana settingnya, saat apa mereka tampil, ataupun hal-hal lain
yang bersangkutan dengan drama.
Ciri-ciri
naskah drama ialah memuat nama-nama tokoh dalam cerita, banyak dialog, keadaan
panggung yang diperlukan setiap babak, petunjuk seperti gerakan-gerakan yang
akan dilakukan oleh pemain, ataupun
bagaimana dialog harus diucapkan. Naskah drama berupa dialog antar tokoh, dengan
kata lain isi dari naskah drama hanyalah percakapan.
Dalam
percakapan dialog selalu ada petunjuk narasi yang sering disebut wawacang dan juga ada yang disebut
dengan kramagung, kramagung ini
memberi penjelasan yang berupa perilaku dalam satu dialog. Kramagung diibaratkan
seperti perintah untuk aktor mengenai apa yang harus mereka lakukan, ataupun
gerak-gerik mereka saat berdialog.
GEMELETUK SUARA AIR TERUS-MENERUS
KETIKA PENONTON MULAI MEMASUKI TEMPAT TONTONAN BERLANGSUNG. SEBUAH LAYAR
RAKSASA TERBENTANG.. SAAT PERTUNJUKAN HENDAK MULAI, TERDENGAR SUARA KENTUNGAN.
DIJAWAB OLEH SUARA KENTUNGAN YANG LAIN DI KEJAUHAN. LAMPU SEMUANYA PADAM.
TERDENGAR SUARA DALANG MEMBERIKAN PROLOG SEPERTI MENGELUARKAN MANTRA
DALANG (Digumamkan Dengan Tembang)
Berbagai
hal beruntun menerpa tak putus-putus. Krisis ekonomi, suhu politik meninggi,
huru-hara, teror bom, tsunami, gempa bumi, sar, flue burung, demam berdarah,
kebejatan moral, narkoba, judi, korupsi, ketidakberdayaan hukum, kebejatan para
pemimpin, kasus-kasus yang mencederai
hak azasi manusia. Risau, bingung, was-was, semua mendambakan kehidupan yang lebih baik. Tangan
gelagapan berpegangan mencoba bertahan agar
tak terjadi kebangkrutan apalagi kemusnahan. Tapi di celah yang kecil,
masih terlihat, terdengar dan terasa sebuah harapan apabila kita bersedia untuk
menerima, belajar, ngeh, kemudian membalikkan kekalahan menjadi kemenangan
masih ada sebuah janji
SUARA
KENTUNGAN KEMBALI UNTUK TERAKHIR KALINYA DISUSUL OLEH SUARA LOLONG ANJING
PANJANG. DI UJUNG LOLONG ITU SESEORANG MELEMPAR BATU. ANJING MELENGKING
KESAKITAN. TERDENGAR SUARA-SUARA MEMAKI. LALU SUARA ORANG BANYAK RIUH RENDAH.
SEPERTI ADA KERIBUTAN. KEMUDIAN SEPERTI SUARA RAMAI DALAM PASAR. BERAKHIR
DENGAN KILAT DAN KEMUDIAN LANGIT MENGERAM. LALU SUARA HUJAN SERTA ANGIN. LAMPU
ULTRA DI DEPAN LAYAR PUTIH RAKSASA
MENYALA.
LAYAR
BERGERAK-GERAK BAGAIKAN OMBAK DI LAUT YANG BERGELORA. TIBA-TIBA TERDENGAR
DENTUMAN. LAMPU ULTRA PADAM. LAMPU DI BELAKANG LAYAR MENYALA WARNA MERAH. DI
LAYAR NAMPAK BAYANGAN MANUSIA-MANUSIA KECIL MENCOBA MENGANGKAT LANGIT YANG
HENDAK RUNTUH. SUARA MUSIK MENGERAM-NGERAM. LAYAR BERGETAR BERGELORA.
MANUSIA-MANUSIA BERJUANG BERUSAHA MENGANGKAT BEBAN YANG SULIT SEKALI DI ATASI.
BAYANGAN ITU OVERLAP DENGAN BAYANGAN DUA ORANG YANG LEBIH BESAR LAGI MENCOBA
MENGANGKAT BEBAN. KEMUDIAN DITIMPA LAGI OLEH BAYANGAN WAYANG RAKSASA YANG
MEMBUAT PERJUANGAN ITU TERUS GAGAL.
DUA
ORANG TERDENGAR BERTERIAK-TERIAK MEMBERIKAN KOMANDO , LALU MUNCUL DENGAN
PECUTNYA DAN MEMUKULI LAYAR. YANG SATU JENDRAL, YANG LAIN AJUDANNYA. KEDUANYA
MELONTARKAN DIALOG YANG SAMA. TAPI AJUDANNYA LEBIH LIRIH DAN DITUJUKAN KEPADA
BAYANGAN DI LAYAR, JENDRAL LEBIH SEPERTI MEMBERIKANN KOMANDO KEPADA PASUKANNYA,
MENGAWASI KE ADAAN DAN BICARA KEPADA PENONTON.
JENDRAL:
Konyol! Pemalas! Bodo kebo! Dasar
pribumi! Gelo sia!
(Berlari
mendekati layar sambil memukul dengan pecutnya)
Begitu saja tidak becus! Mengangkat
kardus seperti mengangkat langit. Semprul! Ayo jangan digondeli. Kerja bukan cari untung! Angkat!
Dasar budak! Gotongroyong! Maunya kok menelan. Dasar kemaruk! Otak udang!
Angkat bangsat! Kuntilanak. (Memaki-maki
kotor. Kepada penonton)
Lihat sendiri ini negeri kacau.
Manusia-manusia tidak memenuhi syarat. Begini mau merdeka? Berdiri saja tidak
bisa. Ini mau mendirikan negara Tahi kerbau! Nggak usah merdeka, belajar jadi
budak dulu!
BERBALIK LALU MEMBANTU AJUDANNYA
MEMUKUL LAYAR. BAYANG-BAYANG DI BALIK LAYAR BERJATUHAN. TAPI KEMUDIAN MUNCUL
BAYANGAN WAYANG SOSOK RAKSASA. JENDRAL DAN AJUDANNYA TERKEJUT, TAKUT LANGSUNG
MENYEMBAH
Dari naskah
Putu Wijaya yang berjudul “Jangan Menangis Indonesia” yang dikutip dari babak
satu ini kita dapat melihat mana yang disebut wawancang dan mana yang disebut
kramagung, kramagung berada di dalam tanda kurung dan ditulis miring, sedangkan
wawancang nampak sebelum masuk dialog ada bacaan sebagai pengantar atau narasi. Menurut Wiyatmi (2006:46), dialog
merupakan bagian terpenting dalam drama. Dialog merupakan penuturan para pemain
drama, ,pendukung karakter, melaksanakan plot drama (Saleh, 1967:33). Dialog
terikat pada pelaku, antara dialog dan perbuatan terjalin suatu hubungan yang
majemuk dan intensif (Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G, 1982:160). Tarigan
(1986:77) berpendapat bahwa dialog harus memenuhi dua hal, pertama dialog
haruslah dapat mempertinggi nilai gerak dan yang kedua dialog haruslah baik dan
bernilai tinggi. Dialog merupakan alat bagi penulis lakon untuk
mengintegrasikan latar belakang yang diperlukan untuk memahami tokoh-tokohnya
(Oemarjati, 1971:62).
Di
dalam naskah, permainan drama dibagi dalam babak demi babak. Setiap babak
mengisahkan peristiwa tertentu, sehingga penonton semakin jelas mengetahui
peristiwa yang berbeda di dalam cerita. Di dalam babak terdapat adegan yang
menggambarkan satu suasana dalam babak, jika adegan berganti, setting tidak
selalu juga berganti.
Berikut
kutipan contoh dialog dalam naskah drama berjudul Jangan Menangis Indonesia
pada babak ketiga.
TIGA
MARSINAH BANGKIT DENGAN SUSAH-PAYAH
MUNCUL DARI BAGIAN BAWAH PANGGUNG MEMAKAI PAKAIAN HITAM-HITAM. IA BERBICARA KE
ARAH PENONTON.
SESEORANG:
Hallo. Ini siapa? Siapa ini?
MARSINAH: Ini aku Mas
SESEORANG: Aku siapa?
MARSINAH: Aku bojomu.
DALANG KEMBALI INTERVENSI
DALANG: (NYELETUK) Nah lhu!
SESEORANG: Kamu?
MARSINAH: Ya
SESEORANG: Kamu Nirmala Bonar?
MARSINAH: Bukan.
SESEORANG: Siapa?
DALANG: Yang satunya lagi kali. Yang
nomor sembilan.
SESEORANG: Kamu Khaerusina?
MARSINAH: Bukan Mas
PW: Siapa dong?
DALANG: Bagaimana kalau diurut dari
yang nomor satu.
SESEORANG: Siapa kamu? Siapa?
MARSINAH: Aku Marsinah Mas.
DALANG: (nyambar) Wee Marsinah, kok
masih hidup juga.
SESEORANG: Marsinah?
MARSINAH: Ya Mas.
(kutipan
drama Jangan Menangis Indonesia karya Putu Wijaya)
Dari
contoh dialog di atas dapat diketahui bahwa dalam dialog terdapat kramagung,
wawancang, babak, adegan, dan juga prolog yang akan diperankan oleh para pemain
di atas panggung.
2.
Pemain
Pemain
merupakan orang yang memperagakan cerita yang akan dipentaskan. Pemain tidak
boleh sembarangan, mereka harus benar-benar mengerti teknik-teknik dalam
bermain drama, mereka harus pandai mengeksplorasi gerak atau sikap, pandai
menghayati peran yang dibawanya, dan harus mampu memainkan peran dengan baik. Menurut
Wiyanto (2005:130) seorang pemain harus dapat menafsirkan watak tokoh yang
diperankan serta mencoba untuk memeragakan gerak-geriknya. Aktor adalah peraga
drama yang ditonton oleh penonton, dengan sendirinya ia memiliki alat-alat
peragaan yang baik. Alat-alat itu berada dalam dirinya sendiri, terikat bersama
jiwa dan tubuhnya, antara lahir dan batin (Tambajong, 1981:89). Cara memilih
pemain yang baik ialah mengerti dulu watak dan karakter tokoh dan menetapkan
siapa yang cocok memerankannya, pertimbangan usia dan postur, dan yang
terpenting ialah kemampuan pemain yang baik yaitu dapat memerankan tokoh
seperti yang dikehendaki dalam naskah.
Wiyanto
(2002:63) dalam bukunya menuliskan cara pelatihan sebagai aktor ialah (1)
membaca puisi, dari pelatihan membaca puisi maka pemain dapat berlatih vokal
baik dengan suara yang lantang, artikulasi jelas, dan perubahan nada ataupun
mimik yang sesuai dengan nada, (2) menirukan binatang, dengan menirukan gerakan
binatang maka pemain akan lebih lentur dalam memerankan sebuah tokoh, dan tidak
terlihat kaku saat melakukan gerakan, (3) menirukan orang, kemampuan menirukan
orang ini sangat diperlukan karena bermain peran sama saja menirukan apa yang
dilakukan tokoh yang diperaninya, (4) tertawa dan menangis, dengan latihan
tertawa dan menangis terus menerus maka pemain akan terbiasa apabila nantinya
akan memerankan tokoh yang sedang marah, sedih, ataupun bahagia, (5) berdialog,
para pemain harus belajar berdialog bebas terlebih dahulu karena dengan latihan
berdialog bebas terus menerus pemain akan terbiasa berdialog dengan baik,
sehingga saat berdialog sesuai naskah, mereka juga sudah terbiasa, dan juga (6)
gerak kerja panggung, calon aktor harus berlatih terus menerus seperti ara
berjalan dengan peran seorang pemabuk, berjalan karena kakinya sakit, berjalan
saat gelap gulita, dan lain-lain, semua ini diperlukan agar gerakan di panggung
tepat sesuai naskah, karena apa yang sudah ditampilkan di panggung tidak dapat
ditampilkan kembali.
3.
Sutradara
Sutradara
merupakan pemimpin permentasan di panggung, sutradara juga mempunyai hak untuk
menata bagaimana jalannya pementasan. Wiyanto (2002:35) menyatakan bahwa tugas sutradara
sangat banyak dan beban tanggung jawab cukup berat. Sutradara harus memilih
naskah, memilih pemain, melatih pemain, bekerja dengan staf, dan cekatan dalam mengkoordinasikan
setiap bagian. Sebagai seorang pemimpin, sutradara layak menjadi pengasuh dan
pembimbing. Ia adalah guru yang menguasai dengan terampil dan betul
masalah-masalah kebudayaan, masalah spiritual, dan sekurang-kurangnya punya
punya visi politik yang tajam, pandai menganalisis, artinya, ia tidak perlu
terjun langsung sebagai peserta, melainkan cukup sebagai muhib yang tangkas
(Tambajong, 1981:72). Sutradara harus seorang seniman, yang bertindak sebagai
pemersatu antara lakon dan penulis, pemeran, dan juga penonton (Oemarjati.
1971:210). Menurut Harymawan (1993 dalam Santosa, dkk 2008:45) ada beberapa
tipe sutradara dalam menjalankan penyutradaraanya, yaitu:
(1) Sutradara konseptor. Ia
menentukan pokok penafsiran dan menyarankan konsep penafsiranya kepada pemain.
Pemain dibiarkan mengembangkan konsep itu secara kreatif. Tetapi juga terikat
kepada pokok penafsiran tersebut.
(2) Sutradara diktator. Ia mengharapkan pemain dicetak seperti dirinya sendiri,
tidak ada konsep penafsiran dua arah ia mendambakan seni sebagai dirinya,
sementara pemain dibentuk menjadi robot – robot yang tetap buta tuli.
(3) Sutradara koordinator. Ia menempatkan diri sebagai pengarah atau polisi
lalulintas yang mengkoordinasikan pemain dengan konsep pokok penafsirannya.
(4) Sutradara paternalis. Ia bertindak sebagai guru atau suhu yang mengamalkan
ilmu bersamaan dengan mengasuh batin para anggotanya.Teater disamakan dengan
padepokan, sehingga pemain adalah cantrik yang harus setia kepada sutradara.
Dari banyak
pendapat serta penjabaran mengenai sutradara, dapat ditarik kesimpulan bahwa
sutradara adalah seorang seniman yang berada pada posisi sentral untuk mempersatukan semua elemen-elemen
dalam drama sehingga menjadi koordinator drama secara keseluruhan baik mengenai
pemain, cerita, setting, panggung, latar, ataupun pementasannya yang memiliki
tanggung jawab untuk memilih naskah, memilih pemain, melatih pemain, cekatan
dan juga mampu bekerja sama dengan staf yang lainnya, dan yang paling utama
adalah tanggung jawabnya kepada penonton.
4.
Penonton
Penonton ialah orang-orang yang
menikmati petunjukkan drama, yang duduk melihat para pemain memainkan perannya.
Menurut Santosa (2008:46) Kelompok penonton pada sebuah pementasan adalah suatu
komposisi organisme kemanusiaan yang peka. Mereka pergi menonton karena ingin
memperoleh kepuasan, kebutuhan, dan cita-cita. Alasan lainnya untuk tertawa,
untuk menangis, dan untuk digetarkan hatinya, karena terharu akibat dari hasrat
ingin menonton. Wiyanto (2002:45) berpendapat bahwa penonton adalah orang-orang
yang mau datang ke tempat pertunjukan. Tanpa adanya penonton maka drama tidak
akan berarti. Penonton ini tergantung bagaimana sutradara mampu membuat drama
yang akan dipentaskan terlihat menarik dan layak untuk dipertunjukkan.
Penonton berbeda dengan pembaca,
pembaca membaca sebuah naskah ataupun teks, jika yang dibaca adalah sebuah
naskah drama maka pembaca akan berimajinasi dengan apa yang dia baca bagaimana
cerita itu sebenarnya, bagaimana aktor yang memerankan, latar ataupun
settingnya dan juga unsur-unsur yang lainnya, tetapi pembaca tidak akan
benar-benar terhibur berbeda halnya menjadi penonton, penonton menonton sebuah
naskah yang dipertunjukkan, sari situ seseorang akan lebih mudah memahami
cerita tanpa berimajinasi sendiri, penonton akan lebih mudah menangkap jalan
cerita atau maksud dari cerita yang dipertunjukkan.
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan berikut ini.
(1) Drama merupakan suatu bentuk karya sastra yang berisi kisah hidup
manusia mengenai konflik hidup, sikap, dan juga sifat dalam bentuk dialog yang
dituangkan di atas panggung dengan menggunakan percakapan dan gerak oleh pemain
dihadapan penonton dan pendengar. Drama berupa tulisan yaitu naskah drama yang
bertujuan untuk dipentaskan. Pementasan atau pertunjukkan ialah dengan menjadi
pemain, menampilkan gerak, ataupun unsur-unsur lain yang membangun drama sesuai
dengan naskah drama di atas panggung.
(2) Sejarah
drama di Indonesia dimulai dengan acara-acara keagamaan yang semakin lama
semakin berkembang dan membentuk sandiwara hingga menjadi drama pementasan.
(3) Perbedaan
drama dan teater yang mendasar hanya pada asal kata drama dan teater itu,
tetapi keterikatan antara teater dan drama sangat kuat. Teater tidak mungkin
dipentaskan tanpa lakon (drama).
(4) Drama bertujuan untuk menghibur, drama juga bertujuan untuk menggambarkan
tentang kehidupan. Bagi para pemain ialah meningkatkan imajinasi dari naskah,
membentuk postur tubuh, berlatih pengembangan ujar atau cara bicara, dan juga
sebagai sarana menyalurkan hobi.
(5) Dalam perkembangannya drama dibagi menjadi dua yaitu drama
tradisional dan drama modern.
Post a Comment for "Unsur-Unsur Drama"