Cerpen Remaja : Curahan Sang Penguasa Hati
Cerpen oleh Novi Eka Putri
Cinta bukanlah namanya cinta, jika datangnya tidak
disangka. Bergerak perlahan seperti angin, namun dapat menerjang layaknya sang ombak.
Seperti bunga mawar yang dipenuhi dengan keindahan duri tajam disekelilingnya, seakan
– akan dapat membahayakan siapa saja yang ingin mendekatinya. Imajinasi yang
tak kalah hebat dari sekedar mencintai dan dicintai adalah seperti sebuah raga
tanpa jiwa yang di dalamnya dipenuhi dengan rasa kesakitan yang teramat sangat.
Aku adalah seorang gadis yang membanggakan diri akan sebuah rasa. Mengakui
telah menyimpan terlalu banyak perasaan cinta yang begitu dalam. Hingga pada akhirnya
aku tersadar bahwa kenyataannya dirimu tidak pernah terjamah olehku.
Runtutan mimpi semalam yang telah usai saat semua
kesadaran yang kembali terkumpul semenjak sang surya menampakkan dirinya. Kau yang telah berjalan
jauh dan bodohnya tangan ku tidak sanggup untuk menggapaimu, walaupun dengan
beribu debaran jantung yang terus menggema di tempat persembunyiannya. Aku
mungkin tidak bisa memberikanmu dunia. Tapi aku memiliki mata yang akan selalu
terjaga saat dirimu berada di kegelapan. Aku memiliki telinga untuk mendengar
seluruh cerita dan keluh kesahmu saat kau terjebak dalam keterpurukan. Aku
memiliki kedua tangan yang mampu menuntunmu seandainya kau tersesat di tengah
jalan dan kehilangan arah untuk kakimu melangkah. Serta aku yang memiliki dua
kaki yang akan dengan siap dan sigap berlari sekencang mungkin seandainya
diberi pilihan untuk mengejarmu lagi.
Ada
sebuah kasih yang terlalu rumit untuk di jelaskan dengan partitur kata per
kata. Ada beribu cinta yang terlalu sulit untuk diselarasi dengan rasa. Ada
sepasang hati yang terlalu mulia untuk disakiti oleh keadaan. Sakit pada tubuh
sudah menjadi kebiasaan. Lelah jiwa dan raga tertahan oleh rasa kerinduan.
Untuk masa yang akan datang dan masih dengan aku yang terus saja menantikan
kehadiranmu tuan, bagai bulan yang berhasil menampakkan wujudnya setelah
diselimuti awan tebal nan hitam pekat gulita yang mampu dimiliki kembali oleh
malam dengan seutuhnya. Malam memang selalu identik dengan pekat, konon katanya
hitam lebih suka melekat di langit malam untuk menghadiahkan bintang yang
tampak bersinar begitu terang nan dekat dari bumi.
Layaknya sang gerhana yang memiliki dua sisi
pencerminan diantara sebagai fenomena yang mengagungkan dan wujudnya yang
meyeramkan. Itulah yang tampak dari diriku sendiri saat tak dapat bersama
denganmu lagi tuan. Ketika aku mengatakan setitik rasa dihatiku tertaut padamu,
apakah kamu akan percaya? Mungkin tidak terlalu besar rasa yang dapat kuberikan
karena setiap bagian dari hembusan nafasku sudah menjadi milik kedua orang
tuaku. Rintik hujan menyapu setiap tangisanku bukan memudarkan setiap buliran
air mata yang mengalir dipipi. Dan matahari yang bersinar sangat terik mampu
mengeringkan perih tanpa menguapi setiap duri di palung hati terdalam.
Namun
nyatanya hanya kamu dan kamu, orang asing yang mampu menyusup ke bilik celah
yang lebih dalam yang telah menemukan bagian terkecil dari pusat pengatur
perasaan. Untuk pertama kalinya, ada seorang makhluk yang berhasil menyentuhnya
dengan genggaman tangan nan erat. Maukah kau bertanggung jawab tuan? Atas
perasaan yang berhasil kau tumbuhkan. Maukah kau tuan mengklaim apa yang sudah
kau ambil dari bagian diriku? Sekeping hati yang mungkin suatu saat nanti akan
menemukan rumahnya sendiri, dimana ia dapat merasa sangat nyaman berada di
dalamnya.
Fatamorgana
kehidupan yang tak sejalan dengan ilusi pemikiran yang telah aku ciptakan
sendiri. Ada saatnya terkadang aku merasa terlalu peka pada dunia ini. Seakan
aku tak sanggup melihat hari esok dan enggan mengakhiri mimpi semalam ku. Ketika
waktu itu tiba, bahkan lalat yang terbangpun akan terasa sangat menakjubkan dimata,
seolah dunia ini memiliki seribu rahasia yang terlalu ajaib untuk dimengerti
sepersekian detik. Seperti keadaan saat ini, aku merasakan detik – detik dimana
angin seolah berbisik merdu dan membawa dirimu pergi jauh meninggalkanku.
Dedaunan seakan memanduku mamasuki sebuah dunia yang benar – benar berbeda dari
mimpiku semalam. Kicauan burung kutilang seakan mengejek, mencaci maki, dan
merendahkan diriku yang telah dibodohi oleh perasaan yang tumbuh subur ini,
entah datangnya dari mana? akupun tidak tahu.
Aku
masih terdiam bisu dengan seribu bahasa yang tak ku mengerti. Mataku berhenti
mengerjap saat semuanya jelas terngiang di alam bawah sadarku. Muak! mungkin
satu kata yang saat ini pantas ku ungkapkan untuk menggambarkan perasaan ini.
Ya, memang aku muak dengan semua ini, aku yang rapuh dan telah mampu dikalahkan
olehmu. Kau patut berbangga dan berbesar hati dengan bukti kau yang telah
memenangkannya, sedang aku yang bodoh telah mampu kau kalahkan tuan. Aku lelah
dan menyerah dengan apapun yang membawa nama hati dan perasaan. Bukannya aku
penakut, menghindar, platonic atau semacam dari itu, cuman aku membentengi diri
dari zona dimana aku merasa lemah dan tak memiliki daya kekuatan apapun saat
terbawa lebih dalam dan dalam.
Seharusnya
aku tahu dan sadar bahwa mengagumi tidak sama dengan mencintai. Menyukai tidak
sama dengan mengasihi dan menyayangi tidak sama dengan membenci. Begitulah arti
yang tergambarkan oleh pemikiran rumitku, dengan jalan yang liku dan tak pernah
aku pahami makna di dalamnya. Pahit! Kata ini yang telah mampu mewakili
perasaan ini. Hatiku merasa pahit seakan ingin keluar dari persembunyiannya dan
ingin ku muntahkan saja tumpah ruah, agar kau mengerti tuan betapa sakitnya
jiwa dan raga yang setengah mati ku tahan hingga ku merasa tak kuat lagi seakan
rasanya ingin gila saja.
Serapuh
itulah aku? Seronegative kah aku terhadapmu? Kadang aku merasa ada sandi –
sandi rumit di setiap perkataan yang aku ucapkan bahkan seolah tidak bisa hanya
ku jelaskan dengan uraian dari buku kamus semata. Aku penerjemah bagi diriku
sendiri untuk pesan anverbal dari manusia – manusia disekitarku seolah keadaan
yang membuatnya serumit ini, sampai – sampai aku harus berusaha untuk berpikir
keras lagi dan lagi. Seperti itulah aku bekerja saat ini memenuhi pikiranku
sendiri dengan konspirasi pertanyaan – pertanyaan ku yang aku pun tak tahu apa
jawabannya dan entah kemana lagi ku akan mencari orang untuk kumintai jawaban
dari setiap pertanyaanku.
Ada
satu waktu dimana aku pernah berpikir kalau sepertinya kehidupan itu memang
suka mempermainkan makhluk – makhluk di dalamnya. Salah satunya adalah momen
dalam hidupku dimana waktu yang baru saja aku mencoba untuk memulainya. Seakan telah
berjalan begitu cepat dalam satu hari. Seolah mampu mengajarkan padaku berbagai
jenis perasaan yang berbeda beda dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat
jam. Waktu pula yang menyebabkan kau pergi jauh dariku. Bukan salah kau tuan
yang membuatku benci padamu setengah mati, juga bukan kesalahanku yang merasa
selalu benar. Lantas siapakah yang harus ku salahkan atas keadaan ini? Dan
siapakah orang yang akan kutanyai esok untuk kumintai pertanggung jawaban atas
kekacauan yang mereka timbulkan ini?
Ketika
lagu masa lalu kembali kumainkan dan terputar di ingatanku, begitulah otak ku
mengulas lebih jauh kisah yang dalam tentang kejadian dahulu. Apakah kau
mengetahui bahwa aku sedang merindukanmu tuan? Tapi ego yang tak sanggup
kukalahkan masih membara dan membakar hati ini seolah - olah meminta agar aku
terus membencimu. Sesaat aku tersadar, aku sudah memilih gesekan senar yang
kupetik akapilanya dan begitu juga dengan kau yang sudah memilih sekumpulan
kurva philips-Nya. Hanya membutuhkan waktu sedikit demi sedikit untuk
memulihkan seluruh keadaan hati yang telah hancur lebur bak terkena badai topan
yang sangat dahsyat.
Kau
hanyalah seperti bayangan hitam dalam gelapnya pekat malam, hanya ada siluet
nan temaram oleh remang - remang cahaya bulan. Tak ada kepastian yang dapat
kugenggam. Layaknya pelangi yang mucul dalam ruang gelap gulita. Jingga senja
yang menawan seolah terlihat kelabu dipandanganku. Hingga yang ada hanya aku
yang berusaha memendam rindu. Aku selalu menerka nerka sebab aku takut salah
langkah untuk kemudian hari. Di balik awan hitam yang membawa senjanya pergi,
aku selalu berdoa semoga dirimu baik – baik saja disana dan tak menyesal pada
waktunya.
Teruntuk
kamu, sang kamuflase yang bersembunyi di dalam kebaikan, penampilan, dan
pengetahuan yang luas! jangan berikan harapan yang tiada artinya bagiku. Jangan
pula membalas rasaku dengan cara yang tak seharusnya. Jika kau membalas tuhan
yang menciptakanmu dengan rasa syukur maka hargai dan lindungi ciptaan tuhanmu
yang lain. Sebagaimana dia dengan seribu cara menciptakanmu sedemikian rupa.
Walau hanya dengan setitik air mata kau membuatnya menetes, maka Dia akan
memberikan beribu kesengsaraan yang kembali pada dirimu sendiri seperti
derasnya ribuan rintik air hujan yang turun dari langit menjatuhi bumi ini.
Cerpennya bagus
ReplyDeleteCerpennya bagus karena tujuan penulis seakan ingin berbincang dengan pembaca tapi kurangnya ada di kata katanya, saya merasa kata katanya agak sulit dicerna mungkin karena pembahasannya terlalu basa basi bla bla yang menurut saya akan membuat pembaca jadi bosan dalam artian cuma baca secara singkat dengan scroll cepat.
ReplyDeleteCerpen nya lumayan bagus tapi ada kata kata yg kurang saya megerti
ReplyDeleteKata katanya sangat indah , dengan alur yang bagus sehingga terasa nyata dan terhanyut dalam puitisnya kata kata yang terangkai
ReplyDeletebaguss sekalii😂
ReplyDeleteCerpennya bagus karena tujuan penulis seakan ingin berbincang dengan pembaca tapi kurangnya ada di kata katanya, saya merasa kata katanya agak sulit dicerna mungkin karena pembahasannya terlalu basa basi bla bla yang menurut saya akan membuat pembaca jadi bosan dalam artian cuma baca secara singkat dengan scroll cepat.
ReplyDeleteKata kata nya sangat indah sehingga bisa membuat pembaca terhanyut dalam puitisnya rangkaian kata
ReplyDeleteIsi Cerpen nya bagus sangat cocok dengan kehidupan remaja remaja sekarang
ReplyDeleteMantaps pak sampai sampai saya baper pak membaca nya
ReplyDeleteCerpennya sangat bagus sampai-sampai menyentuh hati:)
ReplyDeleteCerpen itu sangan bagus dan sangat menarik di baca
ReplyDeleteCerpen itu sangat bagus dan sangat menarik dalam diri kita
ReplyDelete