Apresiasi Sastra Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer
Konten mengenai apresiasi sastra sudah pernah dibahas pada
postingan sebelumnya, kali ini Artikel Kami akan membahas aplikasi dari
apresiasi sastra itu sendiri. Karya yang diapresiasi adalah karya Pramoedya
Ananta Toer dengan judul Gadis Pantai.
Apresiasi Sastra Novel Gadis Pantai
Gadis Pantai. Roman
ini adalah gambar gadis kampung nelayan yang berumur empat belas tahun dipantai
Utara Jawa yang terpilih oleh Bendoro Rembang sebagai isteri (sementara) nya,
teman seranjang, bukan teman hidupnya, menanti jodoh yang sepadan dan sederajat
dengan dia.
Mulai masa remaja,
Pramoedya sudah mengenal kota Rembang, merupakan tempat di mana Kartini lahir,
berkehidupan, dan wafat, yaitu Kabupaten Jepara, Rembang.Fakta dan fiksi tidak
dapat dipisahkan: riwayat (history) Kartini dimanifestasikan menjadi cerita
(the story) gadis pantai tak bernama.
Hubungan dengan
cerita ini dan kenyataan juga secara eksplisit diadakan dalam roman itu
sendiri: mula-mula kita membaca betapa Gadis Pantai, mental maupun faktual dipersiapkan
oleh cerita-cerita abdinya untuk kedudukan tinggi yang boleh diembannya untuk
sementara waktu. Salah satu di antara cerita itu menyangkut perkawinan dan
wafatnya Raden Ajeng Kartini (him. 36). Dan kemudian ternyata Gadis Pantai
sebelumnya.
Sinopsis Novel Gadis Pantai
Mula-mula roman itu
menceritakan bagaimana Gadis Pantai bunga kampung nelayan sepenggal pantai
Keresidenan Jepara Rembang (halm. 1) di luar kemauannya dipasok oleh orang
tuanya ke gedung besar di Rembang. Ia tiba di dunia yang sama sekali asing
baginya dan terpaksa hidup dalam kesepian yang hampir mutlak.
Ia hanya dapat
berkomunikasi dengan seorang pelayan tua, yang lewat cerita-cerita dan
nasihat-nasihat yang tak habis-habisnya menyebarkan keliaran Gadis Pantai dan
menertibkannya sebagai wanita utama (halm. 36). Yang paling penting baginya
ialah ketaatan dan penyerahan mutlak pada kehendak tuannya.
Gadis Pantai cepat
belajar, bahkan mulai merasa akrab dengan tuannya itu. Kalau tuannya tidak ada,
ia merasa kehilangan. dan cemburuan sebab telah memahami bahwa kedudukannya
sebagai wanita utama sangat sementara. Sebagian akibat krisis intern yang
nampaknya tak seberapa artinya, abdinya yang setia itu dibuang.
Gadis Pantai
sekarang sama sekali sendirian, dan situasinya menjadi lebih sulit lagi bila ia
diberi abdi baru bernama Mardinah. Ini seorang janda muda anak priayi rendahan,
yang dapat membaca dan menulis dan merasa jauh di atas Gadis Pantai yang selalu
merasa dihina dan terancam olehnya.
Lagipula ia
mengetahui bahwa Mardinah dititipkan oleh isteri Bupati Demak yang sangat
jengkel, sebab Bendoro Rembang masih belum kawin dengan yang sederajat; wanita
yang memainkan jarumnya lewat Mardinah untuk menyingkirkan Gadis Pantai.
Gadis Pantai
kemudian mendapat izin untuk mengunjungi orang tuanya, namun ia harus
didampingi Mardinah selaku penjaga. Semasih dalam dokar ke kampungnya peran
kedua perempuan itu sudah terbalik: makin dekat ke kampungnya dan ke laut,
makin bergairah Gadis Pantai; karena gurauannya dengan kusir dokar yang cukup
ramah tapi tidak dianggap patut bagi wanita dari gedung besar, ia mengusik dan
mengejutkan Mardinah yang selain itu pun sangat tidak senang berada dalam
lingkungan yang kasar dan mengerikan itu.
Namun, pulang kampung
itu bagi Gadis Pantai tidak membawa apa yang diharapkannya. Ternyata telah ada
jarak yang jauh antara orang tuanya dan penduduk kampung pada satu pihak dan
dia sendiri, wanita kota, pada pihak lain.
Baca Juga : Jenis-Jenis Cerita Rakyat
Akibatnya ia dalam
dunianya sendiri pun merasa kesepian dan terasing. Selama kediamannya di
kampung itu ternyata ada komplotan untuk menghabisinya, namun komplot itu gagal
dan akhirnya Mardinah yang juga terlibat untuk menghindari nasib yang lebih
parah lagi, terpaksa menerima perkawinan dengan Dul, pendongeng kampung sehingga
ia harus menetap di sana. Tetapi Gadis Pantai harus kembali lagi ke penjaranya
di kota. Lalu ia hamil, melahirkan anak dan menikmati keibuan-nya.
Namun, anaknya yang
hanya perempuan saja, bagi ayahnya sama sekali tidak berarti. Empat puluh hari
sesudah kelahiran anaknya, Gadis Pantai disuruh pergi oleh Bendoro (isteri,
walaupun dikawini dengan resmi, tidak berhak apa-apa dalam dunia kepriayian),
dengan larangan keras; ia tidak boleh kembali dan melihat anaknya. Gadis Pantai
harus melupakan bahwa ia pernah melahirkan anak.
Berdasarkan tema
pokoknya, buku ini dapat disebut roman sosial-kritis tentang nasib gadis rakyat
biasa yang dihadiahi nasib baik menjadi teman ranjang seorang priayi dan
melahirkan anak serta. tentang kesewenang-wenangan yang terakhir dan
ketakberdayaan yang tak merata, tentang kemiskinan dan kekayaan, tentang tirani
dan korbannya itu, sama sekali tidak disajikan dalam gambar realistis tentang
kenyataan sosial
Bab 3 yang berjudul
darmawisata menunjukkan pertentangan yang tajam antara dua dunia tempat cerita
ini berlangsung: pada satu pihak antara dunia tempat cerita ini berlangsung:
pada satu pihak kota, khususnya gedung besar Bendoro, di mana orang tidak hidup
sungguh-sungguh, di mana segala sesuatunya berkekauan dalam bentuk-bentuk yang
mati dalam hubungan hirarki yang mematikan setiap spontanitas dan kegairahan;
pada pihak lain kampung tempat hidup manusia sejati, dengan suka-dukanya, kepedulian
dan ketakutannya yang tergembleng oleh perjuangan abadi melawan laut dan
bahayanya.
Mereka positif
sikapnya, pintar dalam seni melangsungkan hidup, bersedia berjuang kalau
eksistensinya terancam, bersatu padu, kuat, sama rata. Bahkan orang seperti
pendongeng 'Si Dul gendeng', pemalas yang tak berguna, akhirnya menemukan
tujuan hidupnya.
Seperti pemenang
sejati, ia berseru bahwa ia berhasil merampas wanita kota dan diiringi pekik
sorak penduduk kampung. Ia memecahkan kulit rebananya sehingga kehilangan
dongengnya, bahkan ia sendiri menjadi dongeng. Selanjutnya ia akan ikut sebagai
nelayan untuk mencari nafkah bagi keluarganya, seperti semua laki-laki kampung
itu.
Yang sedih dalam
situasi ini hanya Gadis Pantai saja Ia tidak kebagian kegembiraan umum dan ia
makin sadar betapa besar kontras antara nasib dia sendiri dan nasib Mardinah,
ketika ia dari amben dalam gubuknya mendengarkan orang-orang gelak-gelak
tertawa, sambil berolok-olok tentang Mardinah dan Si Dul yang malam lalu
ternyata sangat cocok di atas ranjangnya; mereka berseru, 'Tau?
Sekarang tidak ada
bedanya Bendoro Puteri dengan orang kampung seperti kita ini (him. 161). Gadis
Pantai menyadari nasibnya sendiri makin tegas: bagaimana dirinya sendiri orang
kampung diseret ke kota dan diupetikan pada seorang Bendoro. Ia memberanikan
diri keluar rumah dan bila ia melihat pasangan muda berjalan-jalan di pantai
laut, ia berlari-lari menghampiri mereka.
Tak pernah dua tahun
ini ia berjalan cepat seperti sekarang ini. Ia menggandeng tangan Mardinah,
bertanya bagaimana dia, apa tidak menyesal. Mardinah tidak sanggup memberi
jawaban positif: Mau sesali apalagi, Mas Nganten? Ia menyerah, menerima nasibnya.
Gadis Pantai menceritakan secara bergairah apa yang menunggunya, kerja keras,
kebahagiaan, kasih sayang, pergaulan dengan manusia sesamanya:
Mardinah di sini
setiap hari kau bertemu dengan setiap orang, bukan seperti di gedung besar di
mana ia tetap terkurung. Si Dul mengerti apa yang dimaksudkan oleh Gadis
Pantai: 'Cerita Bendoro Putri terdengar seperti cerita penderitaan.' Dan Gadis
Pantai mem-balas, 'Kau rupanya cepat mengerti keadaanku (him. 161).
Nasib kita memang
berlawanan, Mardinah (him. 162), kata Gadis Pantai dalam percakapan penghabisan
mereka. Hal ini tidak hanya benar untuk nasib kedua wanita itu. Seluruh roman
ini dibangun atas pertentangan. Pertama-tama pertentangan antara Bendoro selaku
wakil kelas priayi melawan Gadis Pantai sebagai wakil rakyat: kekuasaan melawan
ketidakberdayaan.
Analisis Sosial-Budaya Novel Gadis Pantai
Lambang khas
kekuasaan itu ialah keris: pada upacara nikah, Bendoro sendiri tidak hadir,
diwakili oleh kerisnya, Pertentangan primer itu bertepatan dengan, atau
menjelma lagi dalam pertentangan lain: stratifikasi sosial dalam kota melawan
kesamarataan dalam kampung; kota yang merusakkan segala sesuatunya, kala
nelayan tua (him. 150), melawan kampung di mana segalanya baik-baik saja.
Kediaman bupati,
gedung besar: kokoh, bersih, apik, tetapi tertutup, termasuki orang, melawan
gubuk-gubuk nelayan: kumal, reyot, tetapi terbuka bagi setiap orang.
Kebudayaan dengan
segala aturan dan kewajiban dunia priayi, tapi juga dengan wayang, melawan
alam: laut dan perjuangan mati-matian dengan keganasan laut dan angin, dengan
kesenian rakyat yang polos; kekayaan: emas dan hiasan-hiasan mulia, peragaan
miliki dan kemewahan (emas menurut nelayan tua sumber bencana, hlm. 133) melawan kemiskinan para
nelayan yang setiap hari harus mencari sesuap nasi dan yang hanya hidup mempunyai
perahu sebagai alat untuk melangsungkan hidup yang gawat.
Ada satu
pertentangan lagi yang erat hubungannya dengan yang disebut tadi: Islam,
sebagai keseluruhan kewajiban-kewajiban formal yang menyokong kekuasaan melawan
kepercayaan rakyat di mana manusia tergantung pada kekuatan alam.
Dalam hal ini cukup
menariklah bapak Gadis Pantai menolak tawaran menantunya, sang Bendoro, untuk
membangun surau di kampung dan mengirimkan guru agama: katanya, nelayan tidak
ada waktu itu.
Lagi pula ada
pertentangan antara kebudayaan buku dan pendidikan formal melawan tradisi lisan
dan kubutahurufan, yang berkaitan erat dengan pertentangan antara Islam dan
kepercayaan rakyat: Bendoro selalu asyik membaca buku-buku agama dan
bocah-bocah yang bersekolah di gedung dan belajar bahasa Belanda, melawan
pendongeng kampung nyanyian spontannya dan penduduk rakyat yang satu pun tidak
sanggup membaca surat (palsu!) yang diantar Mardinah.
Kesimpulan
Teori sosial Marxis
(Marxisme) menduduki posisi yang dominan dalam segala diskusi mengenai
sosiologi sastra. Terdapat tiga faktor yang menyebabkan hal tersebut. Pertama,
Marx pada mulanya adalah seorang sastrawan sehingga teorinya memberikan
perhatian khusus pada dunia kesusastraan.
Kedua, teori sosial
Marx tidak hanya teori yang netral, melainkan mengandung ideologi yang
pencapaiannya terus menerus diusahakan oleh penganutnya.
Ketiga, di dalam
teori sosial Marx terbangun suatu totalitas kehidupan secara integral dan
sistematik yang didalamnya kesusastraan ditempatkan sebagai salah satu lembaga
sosial yang tidak berbeda dari lembaga sosial lainnya seperti ilmu pengetahuan,
agama, dan politik, sebab semuannya tergolong dalam kategori sosial, yaitu
sebagai aktivitas mental yang dipertentangkan dengan aktivitas manusia.
Perkembangan Marxis
di Indonesia tidak lepas dari masuknya modernisme di Hindia Belanda pada awal
abad ke-20, yang sekaligus sebagai momen Kebangkitan Nasional. Sosialisme,
terutama di bawa ke Indonesia oleh orang-orang Belanda beraliran
sosial-demo-krat. Sneevliet, Baars, Bergsma, Bransteder, Dekker dan C. Hartogh
adalah nama-nama Belanda yang pertama membawa sosialisme yang didasari ajaran
Marx dan Engels ke Bumi Indonesia.
Daftar
Rujukan
Eagleton, Terry. 2002. Marxisme
dan Kritik Sastra. Yogyakarta: Sumbu Yogyakarta.
Faruk. 1999. Pengantar
Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi
Sastra, Sebuah Pemahaman Awal. Malang: UMM Press.
Post a Comment for "Apresiasi Sastra Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer"