Kritik Sastra Novel Siti Nurbaya - Perspektif Gender
Setelah
sebelumnya secara khusus Artikel Kami memposting mengenai kritik sastra feminis. Kali ini, yang akan menjadi highlight
adalah penerapan kritik sastra pada salah satu novel legendaris dari
angkatan balai pustaka, yaitu Novel Siti
Nurbaya.
Kritik Sastra Novel Siti Nurbaya
Novel
Siti Nurbaya mengemukakan masalah pertentangan antara adat tua-muda serta
masalah kekerasan dan penindasan terhadan orang-orang lemah. Prasangka gender ditimbulkan
oleh anggapan yang salah kaprah terhadap jenis kelamin dan gender.
Di
masyarakat masyarakat selama ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya
mengenai gender. Apa yang disebut gender karena dikonstruksi secara sosial
budaya dianggap sebagai kodrat tuhan, Fakih (1997:10-11) dalam Suharto
(2010:206).
Gender
itu bukanlah ciptaan Tuhan, tetapi hanya ciptaan masyarakat. Masyarakat
berprasangka bahwa di balik jenis kelamin ada gender dan ternyata prasangka itu
berbeda pada masyarakat disuatu tempat dengan masyarakat di tempat lain.
Pada
masyarakat Sitti Nurbaya, yang dianggap kodrat perempuan, selain mengandung dan
menyusui anak, adalah tugas mengurus rumah tangga (mengatur makanan, pakaian,
dan lain-lain) dan mengasuh (memelihara, membesarkan, dan mendidik) anak (hlm.
204).
Masyarakat
Siti Nurbaya berprasangka bahwa pekerjaan mengurus rumah tangga dan mengasuh
anak adalah pekerjaan perempuan. Secara otomatis perempuan diposisikan pada
tugas-tugas domestik tersebut.
Perempuan
tidak boleh bekerja di luar tugas-tugas domestik. Laki-laki pun baik suami
maupun anak, tidak dibolehkan ikut campur pada pekerjaan domestik karena mereka
mempunyai tempat bekerja sendiri, yaitu tugas-tugas publik (mencari nafkah di
luar rumah).
Penempatan
itu dianggap sebagai suatu pemahaman yang salah kaprah sebab perempuan dapat
juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan publik dan laki-laki pun dapat mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga.
Pekerjaan
publik ternyata lebih “bergengsi” daripada pekerjaan domestik dan hal inilah
yang menyebabkan sifat superioritas kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Hal
ini menjadi alasan bagi laki-laki untuk mengukir dominasinya di dalam masyarakat.
Menurut
Worsley (1992:136) dalam Suharto (2010:207) dominasi laki-laki di dalam masyarakat
sudah terjadi jauh sejak sejarah mulai dicatat, lebih jauh lagi ke belakang
dibandingkan dengan timbulnya masyarakat industrial modern yang boleh dikatakan
baru belakangan ini saja.
Dalam
rentan waktu yang sangat lama itu kaum perempuan kurang terwakili, secara
sosial, dalam pusat-pusat kekuasaan pembuat keputusan dan sumbangan sosial mereka
juga diremehkan, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang kemasyarakatan
yang utama. Partisipasi mereka didalam kedua lingkungan itu diremehkan,
dianggap marjinal, inferior, dan hanya pelengkap.
Jenis
kelamin seperti usia atau warna kulit, adalah suatu sandangan alami dan
biasanya mudah dilihat. Akan tetapi, masyarakat Siti Nurbaya telah
membesar-besarkannya secara kultural sampai jauh melebihi “anugerah lain”
apapun dalam bentuk biologisnya.
Menurut
Barker dan Allen (Worsley, 1992:138) dalam Suharto (2010:208), perbedaan-perbedaan
biologis dan jenis kelamin (seks) telah dialihkan menjadi perbedaan-perbedaan
sosial atas golongan kelamin. Lebih dari itu, masyarakat beranggapan bahwa
jenis kelamin perempuan adalah semacam kelas tersendiri dalam pelapisan sosial.
Ada kelas perempuan dan ada kelas laki-laki.
Prasangka
gender menjadi semakin mapan karena dilembagakan oleh adat kuno yang telah
berjalan turun temurun. Adat memandang perempuan sebagai makhluk yang rendah
derajatnya daripada laki-laki.
Lebih
dari itu adat juga berpengaruh terhadap pada tingkat pemahaman atau tafsir
agama oleh masyarakat. Eksistensi perempuan tidak dihargai karena perempuan
dianggap tidak memiliki kualitas tertentu yang dimiliki laki-laki.
Di
dalam novel Siti Nurbaya ketidakadil-an terjadi dalam berbagai aspek
kehidupan. Karena distereotipekan sebagai makhluk yang lemah, perempuan
dikontrol sedemikian rupa oleh keluarganya terutama orang tua dan ma-mak.
Kontrol ini berarti pembatasan.
Kaum
perempuan dibatasi pergaulannya, setelah umur tujuh tahun dipingit, dan hanya
diperbolehkan, bahkan dipaksa, mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Perempuan
tidak dapat bekerja di luar rumah sebagaimana laki-laki. Oleh karena itu
perempuan lebih miskin daripada laki-laki. Bahkan, ia tergantung pada
laki-laki. Kalaupun ada laki-laki yang bekerja di luar rumah gajinya tidak
setinggi laki-laki (hlm. 235).
Jadi
dalam bidang ekonomi, perempuan dimarjinalkan. Dalam bidang politik dan hukum,
perempuan tersubordinasi. Institusi adat telah menetapkan bahwa mereka tidak
perlu disekolahkan, karena jika pandai mereka akan menjadi jahat (hlm. 21).
Maka dari itu, banyak perempuan yang bodoh.
Perempuan
yang bodoh, dalam arti tidak berpendidikan, cenderung bersifat pasif dan
menyerah saja pada kemauan orang tua. Hal ini tampak pada tokoh Rukiah. Rukiah
adalah perempuan muda yang menjadi korban penanaman ideologi peran gender yang
tidak adil.
Keadaan
tersebut disebabkan oleh kesalahan perempuan juga, baik dirinya sendiri maupun
ibunya. Sebagai anak muda, Rukiah pasif dan tidak berusaha untuk memperluas
pengalaman.
Di
pihak lain, karena kurang pengetahuannya sang ibu melarangnya pergi ke sekolah.
Putri Rubiah takut kalau Rukiah berubah menjadi jahat setelah pandai membaca
dan menulis nanti.
Lain
Rukiah lain pula Siti Nurbaya. Nurbaya menjadi korban kekerasan yang dilakukan
oleh laki-laki, baik di rumah maupun di luar rumah. Di rumah dia terpaksa
melayani laki-laki yang tidak dicintainya, datuk maringgih (hlm.145). di luar
rumah dia menjadi korban pelecehan seksual oleh awak kapal dan korban fitnah
bekas suaminya (hlm. 180-182). Baik kekerasan seksual yang dilakukan oleh Datuk
Maringgih maupun awak kapal merupakan kesembronoan kaum laki-laki.
Riwayat Hidup Siti Nurbaya dan Ide Emansipasinya
Tokoh
Siti Nurbaya adalah contoh anak perempuan yang mengalami kebebasan pada masa
kanak-kanak sampai remaja, sesuatu yang sulit didapat oleh kaum perempuan pada
waktu itu.
Biasanya
anak perempuan diberi kebebasan dari masa kanak-kanak sampai pada usia tujuh
atau delapan tahun saja. Setelah itu anak perempuan dikurung didalam rumah dan
dibebani kewajiban mengatur rumah tangga. Sejak kecil mereka sudah dilatih
untuk mengurus rumah tangga agar setelah sampai masanya berkeluarga kelak, ia
tidak canggung lagi (hlm. 204).
Namun
kebiasaan ini tidak berlaku bagi Siti Nurbaya. Ia tidak dikurung dan dipaksa
berlatih mengurus rumah tangga. Ayahnya bahkan menyekolahkannya di sekolah Belanda
Pasar Ambacang, satu sekolah dengan Samsulbahri, Arifin, Bahtiar, dan anak-anak
Eropa (hlm.9).
Siti
Nurbaya juga diberi kebebasan bergaul dengan laki-laki, misalnya pada hari
minggu ia berjalan-jalan ke Gunung Padang bersama teman-teman sekolahnya tanpa
diwakili oleh anggota keluarganya. Hal ini tentu membahagiakan Sitti Nurbaya.
Bertambah-tambah pula kebahagiaannya karena di anak orang kaya sehingga segala
kebutuhannya tercukupi (hlm. 14-15).
Keadaan
yang serba kecukupan tersebut tidak membuat Siti Nurbaya telena atau puas
begitu saja dengan apa yang dinikmatinya. Ia menyadari bahwa kaumnya, perempuan
tidak mendapatkan penghargaan yang semestinya dari laki-laki. Selain itu
perempuan dianggap kurang penting daripada laki-laki. Hal inilah yang
mengundang keprihatinannya.
Oleh
karena itu ketika ada anak yang lebih menyayangi ayahnya daripada ibunya pasti
diprotes oleh Siti Nurbaya. Menurutnya sayang ayah pada anaknya ada batasnya,
sedangkan sayang ibu kepada anaknya tidak ada batas-annya (hlm. 49).
Pernyataan
Siti Nurbaya di depan Bahtiar dan kawan-kawannya itu dipicu oleh peribahasa
“bagai makan buah simalakamo, dimakan, mati bapak, tidak dimakan, mati mak”.
Bahtiar memilih tidak makan, itu berarti merelakan ibunya meninggal. Alasannya
sebagai berikut.
“bukan begitu, Nur,” jawab bahtiar, “kalau perkara sayang, tentu
aku lebih sayang kepada ibuku daripada kepada ayahku, sebab ibuku suka memberi
aku kue-kue, tetapi ayahku suka memberi aku tempeleng. Dan pada rasanya kue-kue
lebih enak daripada tempeleng. Tetapi kalau ayahku mati, ibuku tak dapat
mencari kehidupan sebagai ayahku, betul ia boleh bersuami pula, tetapi masakan
ayah tiriku lebih sayang kepadaku seperti ayah kandungku. Jadi bagaimanakah
halku kelak? Dapatkah juga aku akan meneruskan pelajaranku?” (hlm. 39)
Alasan yang
diungkapkan oleh Bahtiar itu didasari oleh persamaan gender. Ayah dapat mencari
nafkah sehingga dapan menjamin kelangsungan studi anaknya, sedangkan ibu tidak
dapat mencari nafkah.
Kalau ayah mati,
masa depan ibu dan anak akan suram. Pendapat ini didasarkan pada asumsi bahwa
ruang lingkup sebenarnya dari kerja perempuan adalah tanpa upah dan sumbanganya
kepada pendapatan rumah tangga secara konsisten diremehkan, Moore, (1998:82)
dalam Suharto (2010:225).
Siti Nurbaya
menentang pendapat bahtiar tersebut. Menurutnya, meskipun ibu tidak bekerja,
peranannya dalam memberi kasih sayangnya terhadap anak tidak bisa diremehkan.
Walaupun sang ayah kawin lagi, kasih sayang ibu tiri kepada anak tirinya tidak
akan sebesar kasih sayang ibu kandung seperti dalam kutipan berikut ini.
“kalau mak
tirimu itu sayang kepadamu, tapi kalau ia benci kepadamu, sebagai acapkali
terjadi di negeri kita ini, tentulah akan dihasutnya ayahmu, sampai ayahmu pun
benci pula kepadamu. Bagaimana? Mak hilanh, ayah benci. Akan tetapi kalau makmu
masih hidup, walaupun ia tak dapat menolong kamu ataupun ia bersuami pula,
sayangnya tetap kepadamu. Ia tak dapat dihasut-hasut. Bukankah
sudah dikatakan di dalam peribahasa: sayang ayah kepada anaknya sepanjang
penggalah, jadi ada hingganya, tetapi sayang ibu kepada anaknya sepanjang
jalan, tak berkeputusan.” (hlm.40)
Demikian penghargaan tokoh Siti Nurbaya
kepada kaum perempuan, terutama ibu yang a-khirnya juga disepakati oleh
Bahtiar. Bahtiar berkata,
‘yang
sebaik-baiknya janganlah aku bertemu buah jahannam itu dan biarlah ibu-bapakku
hidup sampai aku ada pekerjaan, yang dapat memberi penghiduoan kepadaku.”
(hlm.40)
Namun, seperti telah
dikemukakan di atas, emansipasi perempuan yang digagas oleh Sitti Nurbaya
tidaklah sama sengan feminisme pada masa sekarang. Di dalam ide emansipasinya
tersembunyi prasangka gender juga. Kbeanggaannya akan menjadi istri dokter merupakan
bukti ketergantungan nasib istri (perempuan) pada keberhasilah suaminya
(laki-laki).
Apabila suami
mempunya status sosial dan tingkst pendapatan yang tinggi, status sosial istri
pun akan secara otomatis mengikutinya. Siti Nurbaya tidak hanya akan menjadi Bu
Samsulbahri tetapi juaga akan menjadi Bu Dokter.
Prasangka gender
juga tampak pada cita-citanya apabila mempunyai anak. Jika anaknya laki-laki ia
berharap agar anak tersebut juga menjadi dokter.
Sebaliknya, jika
anaknya perempuan ia akan mengajarinya segala ilmu yang patut diketahui
perempuan dan menjadikannya perempuan yang berguna bagi suaminya yaitu
perempuan yang dapat dibawa melarat dan dapat membantu suaminya di dalam
kesukaan dan kedukaan (hlm. 96). Jika demikian berarti tikoh Sitti Nurbaya
belum mampu melepaskan diri dari dikotomi domestik publik dan nature-culture.
Tokoh Siti Nurbaya
mempunyai pasang-an yang sangat ideal, menurut baginda Sulaiman (hlm. 117),
yaitu Samsulbahri. Samsulbahri bukan hanya pasangan dalam oersahabatan maupun
percintaan, melainkan juga pasangan dalam menanamkan ide emansipasi perempuan
dan feminisme. Namun hubungan percintaan mereka tidak berjalan mulus.
Kejahatan Datuk
Maringgih mengkandaskan harapan mereka untuk berumahtangga Karena Sitti Nurbaya
telah dijadikan jaminan pembayaran utang oleh Datuk Maringgih.
Pernikahannya dengan
Datuk Maringgih memberikan pengalaman tersendiri kepada Siti Nurbaya, meskipun
pajit dirasakannya, yaitu pengalaman rumah tangga yang berjalan sangat tidak harmonis.
Rumah tangganya
tidak harmonis karena tidak didasari oleh rasa cinta, tetapi didahului oleh
rasa permusuhan dan kebencian. Datuk Maringgih menikahi Siti Nurbaya karena
ingin memperturutkan hawa nafsunya, sedangkan Siti Nurbaya bersedia dinikahi Datuk
Maringgih karena ikatan utang ayahnya.
Selain itu diantara
mereka juga tidak ada keseimbangan. Siti Nurbaya masih muda dan cantik
sedangkan Datuk Maringgih sudah tua dan jelek. Kepribadian Siti Nurbaya baik
sekali sedangkan kepribadian datuk maringgih sangat buruk.
Segala milik atau
pemberian Datuk Maringgih tidak dapat menyenangkan hati, tetapi justru mendapat
amarah Siti Nurbaya. Tidak ada yang dapat menghibur Sitti sehingga Siti tidak
tahan hidup dalam keadaan demikian(hlm. 144-145).
Pengalaman pahit
tersebut ternyata juga dapatr mengembangkan pikiran emansipasi perempuan.
Karena menyadari perkawinan yang tanpa didasari cinta dapat mendatangkan
bencana. Menurut Sitti Nurbaya kewajib-an orang tua dalam hal perkawinan
anaknya ada empat.
Yang pertama, tidak
mengawinkan anak pada usia yang masih sangat muda. Kedua, mengawinkan anak
ketika anak memang sudah siap untuk kawin. Ketiga, memberikan kebebasan kepada
anak untuk memilih jodohnya sendiri atau menanyakan suka tidaknya anak pada
jodoh yang telah dipilihkannya. Dan yang terakhir, memilihkan jodoh yang
usianya berpadanan (hlm. 146-147).
Tidak mudah mencari
jodoh yang sejoli. Oleh karena itu, perkawinan sering dinyatakan sebagai suatu
hal yang penting dan tidak boleh diremehkan. Seseorang melakukan perkawinan
karena didorong hasrat untuk hidup bahagia dengan pribadi yang dicintainya.
Kebahagiaan berumah
tangga hanya dapat dicapai kalau si laki-laki dan si perempuan dapat
bersesuaian dalam segala hal. Suami yang baru pulang dari bekerja, kata
Samsulbahri (hlm. 148), akan merasa terhibur jika melihat istrinya memberikan
pelayanan yang baik.
Istri harus mampu
menarik dan menghibur suaminya, bukan hanya dengan wajah yang cantik, tetapi
juga dengan kelakuan yang baik, pelayanan yang sempurna, dan keoandaian yang
cukup. Jika istri tidak memberikan pelayanan secara baik, laki-laki tidak akan
senang tinggal di rumah.
Di lain pihak, suami
pun harus mampu membimbing anak istrinya supaya betah tinggal di rumah dan
menjalankan kewajibannya dengan senang hati. Hal ini dapat diupayakan dengan
menyediakan segala hal segala hal yang dapat menghibur atau menyenangkan hati
istri (hlm. 146-149).
Inilah keseimbangan
hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki menurut Siti Nurbaya dan
Samsulbahri. Keseimbangan tidak harus menyamaratakan antara perempuan dan
laki-laki, tetapi yang lebih penting adalah pembagian tugas secara adil dan
dapat diterima kedua belah pihak.
Penggolongan Tokoh dalam Novel Siti Nurbaya
Di dalam novel Siti
Nurbaya sebenarnya tidak terdapat istilah feminisme dan emansipasi perempuan.
Kalau dicantumkan istilah-istilah tersebut hal ini karena dua hal. Pertama,
meskipun istilahnya tidak disebut-sebut, esensi feminisme dan emansipasi perempuan
serta tokoh feminis terdapat dalam Sitti Nurbaya. Kedua, diperlukan penanaman
atau pelabelan untuk tokoh yang memperjuangkan emansipasi perempuan dan tokoh
yang menentangnya.
Untuk itulah tokoh-tokoh novel Siti
Nurbaya digolongkan menjadi dua, yaitu tokoh profeminis (tokoh yang
memperjuangkan e-mansipasi perempuan) dan tokoh kontrafeminis (tokoh yang
menentang emansipasi perempuan).
Tokoh yang tidak termasuk kedua
kelompok tersebut atau tokoh kecil peranannya tidak dibicarakan. Yang termasuk
tokoh profeminis adalah Siti Nurbaya, Samsulbahri, Baginda Sulaiman, Ahmad
Maulana, dan Alimah. Sedangkan yang termasuk tokoh kontrafeminis adalah Datuk
Maringgih dan kaki tangannya, Sutan Hamzah, Putri Rubiah, dan Rukiah.
Feminisme yang terdapat di dalam novel
Siti Nurbaya merupakan feminisme vernacular yaitu feminisme kedaerahan.
Menurut Illich (1998:181) dalam Suharto (2010:240), pada awalnya kata vernacular
berarti segala sesuatu yang buatan rumah, tenunan rumah, ditanaman di
rumah, tidak dimaksudkan untuk diangkat dan dipertukarkan di pasar, atau untuk
keperluan rumah itu sendiri.
Istilah latin ini masuk ke dalam kosa
kata bahasa inggris, terutama menyebut logat bicara seseorang yang khas
masyarakatnya. Masyarakat di dalam Siti
Nurbaya adalah masyarakat yang khas dan mempunyai karakteristik tersendiri
dalam memproduksi gender.jika sebagian anggota masyarakatnya merasa tidak puas
terhadap produksi gender tersebut, protes-protes yang dikemukakannya juga merupakan
protes yang khas yang tertu berbeda dengan masyarakat lainnya.
Dengan demikian, feminisme yang
terdapat dalam Siti Nurbaya juga merupakan feminisme yang khas sebagai reaksi
yang khas sebagai reaksi terhadap penggenderan yang vernacular tersebut.
Jadi, feminisme vernacular muncul sebagai reaksi atas terjadinya
ketidakadilan terhadap penggenderan yang vernacular tersebut.
Jadi, feminisme vernacular muncul
sebagai reaksi terjadinya ketidakadilan terhadap perempuan oleh adat setempat
dan penafsiran agama yang salah pada waktu tertentu.
Tokoh-Tokoh Profeminis
Sebagai tokoh
profeminis yang terutama, Siti Nurbaya mendominasi pembicaraan tentang
ketidakadilan gender. Idenya tentang emansipasi perempuan dan feminisme juga
paling kompleks bila dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain. Ide emansipasinya
muncul sebagai protes terhadap ketidakadilan gender yang telah mendarah-daging.
Namun, idenya tidak radikal.
Ia tidak berniat
untuk merombak semua sistem hubungan antara laki-laki dan perempuan. Yang
diinginkannya adalah pembenahan sekedernya sampai terbina hubungan yang saling
menghargai antara kedua jenis kelamin. Hubungan yang harmonis dapat diandalkan
sebagai hubungan kakak-adik, bukannya hubungan tuan-budak (hlm.208).
Di dalam hubungan kakak adik terdapat
pembagian tugas secara adil, kemauan untuk saling membahagiakan pasangannya,
serta kemauan menjaga hubungan agar tidak sakit-menyakiti. Jika ada masalah,
laki-laki dan perempuan harus merundingkannya untuk men-cari pemecahan, bukan
saling tuding mencari benarnya sendiri.
Karena derajat laki-laki dan perempuan
sama, perempuan harus meningkatkan kualitas dirinya agar dapat mengimbangi kemampuan
laki-laki. Caranya adalah dengan belajar. Jika menjadi orang yang pandai,
perempuan dapat memelihara anak dan suaminya dan terhindar dari bahaya
(hlm.205). manfaat pendidikan bagi perempuan dan kesesatan logika tentang
perempuan yang berpendidikan dijelaskan oleh Siti Nurbaya sebagai berikut.
“sebab itu,
haruslah perempuan itu terpelajar, supaya terjauh ia daripada bahaya, dan
terpelihara anak suaminya dengan sepertinya. Tentu saja kepandaiannya itu dapat
juga dipergunakannya untuk kejahatan. Itulah sebabnya perlu hati yang baik
dan hati sempurna. Bila perempuan itu memang tiada baik tabiatnya atau sebab
salah ajarannya, walaupun ia tak berkepandaian sekolah sekalipun, dapat juga ia
berbuat pekerjaan jahat. Tak adakah perempuan jahat, pada bangsa yang masih
bodoh?” (hlm. 205)
Selain itu, Siti Nurbaya juga menyoroti
masalah perbedaan kecintaan anak kepada ayah dan ibunya. Setelah anak dewasa,
kadang-ka-dang ia tidak mengenal balas budi kepada ibu.
Bahkan, ia sering
tidak mengakuinya sebagai ibu karena ibu hanyalah bangsa perempuan. Anak
laki-laki merasa superior karena keunggulan jenis kelaminnya, sedangkan anak
perempuan tidak dapat berbangga diri sebagaimana laki-laki karena ia tidak
memiliki bentuk fisik seperti laki-laki. Perempuan hanya boleh iri kepada
laki-laki sehingga mereka cenderung merasa inferior.
Hal ini berarti
bahwa dirinya merasa senasib dengan sang ibu. Oleh karena itu, anak perempuan
lebih mampu “bersahabat” dan berempati dengan sang ibu. Tokoh profenis
terpenting setelah Siti Nurbaya adalah Samsulbahri. Pendapatnya tentang peran
kaum perempuan identik dengan pendapat Siti Nurbaya.
Tentang kehidupan
berkeluarga misalnya, ia menghendaki adanya sikap saling menghormati, saling menolong,
dan saling membahagiakan antara laki-laki dan perempuan. Berkenaan dengan
kewajiban suami dalam memberikan nafkah batik kepada anak dan istrinya.
Namun kesamaan
pandangan Samsulbahri dan Siti Nurbaya itu terjadi ketika mereka masih
bersama-sama.setelah mereka berpisah, pendapat Samsulbahri cenderung mengarah
pada peneguhan prasangka gender. Hal ini tampak pada pendapatnya tentang kepandaian
dan pekerjaan perempuan.
Ia berpendapat bahwa
perempuan tidak perlu bekerja sebaga laki-laki, menjabat pekerjaan laki-laki,
dan mempelajari segala ilmu laki-laki. Menurutnya perempuan tidak boleh
melalaikan kewajiban aslinya, yaitu perkara anak, rumah tangga, dan makanan.
Pendapat ini seperti
jalan pikiran masyarakat kebanyakan yang menyatakan bahwa kaum perempuan,
karena kondisi alamiah yang dimilikinya kurang memiliki intelektualitas dan
kemampuan fisik dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu, perempuan dianggap
tidak mampu menjalankanperan dilingkungan publik Hidayat-Amal (1989:86) dalam
Suharto (2010:245).
Pendapat Samsulbahri
yang mengandung prasangka gender itu berdasarkan pada tiga alasan. Yang
pertama, ia tidak dapat menerima adanya keinginan perempuan untuk hidup sendiri
tanpa menikah (hlm.237). kedua, ia mengkhawatirkan terjadinya persaingan dan
permusuhan antar laki-laki dan perempuan akibat adanya perebuta pekerjaan dan
perebutan pengaruh (hlm.237).
ketiga, ia khawatir
jika perempuan bangsanya dengan membuta-tulis meniru semua aturan dan pikiran
perempuan eropa tanpa menimbang baik buruknya dan kecocokannya dengan kehidupan
bangsanya (hlm.238). dengan kata lain, hal ini merupakan antisipasi agar emansipasi
perempuan dan feminisme tidak menyimpang dari ketentuan alam.
Tokoh lain yang
berfungsi sebagaimana Samsulbahri adalah Alimah. Ia setuju setuju dengan
pendapat Sitti Nurbaya tentang ketidakadilan yang menimpa perempuan. Ketika
Sitti Nurbaya bercerita tentang susahnya ibu pada waktu mengandung, melahirkan,
dan menyusui anak, Alimah membenarkan adanya penanggungan tersebut.
Ia dapat memaklumi
perasaan dan penanggungan perempuan yang sudah mempunyai anak karena ia sering
bercakap-cakap dengan mereka (hlm.203). ketika sitti Nurbaya nenyesalkan
tentang anak yang kurang balas budi kepada ibunya, ia mengatakah bahwa yang
sering melakukan hal itu adalah anak laki-laki (hlm. 204)
Dalam hal poligami,
Alimah berpendapat bahwa perempuan harus diperbolehkan bersuami dua atau tiga
jika laki-laki boleh beristri banyak (hlm.205). pendapat ini tidak boleh diartikan
sebagai tuntutan poliandri, tetapi harus diartikan sebagai penolakan poligami.
Gerakan emansipasi
yang menginginkan pengakuan atas kepemilikan the other man I hanya
berlaku dibarat sebagai reaksi atas kepemilikan the other woman oleh
laki-laki yang semakin menjadi. Dalam budaya Indonesia hal itu tidak terjadi.
Alimah berpendapat
demikian karena ia trauma setelah dimadu oleh suaminya. Akibat kejadian itu, ia
tidak akan kawin lagi jika perkawinannya hanya menyusahkan hati, merusakkan
badan, dan menghabiskan harta. Perkawinan itu untuk mencari kesenangan.
Jika hal itu tidak
tercapai, ia lebih memilih menjadi janda, hidup bebas seperti burung tanpa ada
yang menghalangi maksudnya (hlm. 206-208). Hal ini berarti bahwa Alimah telah
menemukan otonominya untuk menentukan apakah ia mau kawin lagi atau tidak.
Tokoh tua yang termasuk dalam
golongan Profeminis adalah Sutan Mahmud, Baginda Sulaiman dan Ahmad Maulana.
Sutan Mahmud adalah tokoh yang menentang poligami. Menurutnya yang pantas
beristri banyak adalah binatang. Baginda Sulaiman pun tidak melakukan poligami.
Bahkan setelah istrinya
meniggal dunia, ia tidak kawin lagi, padahal ia kaya raya. Selain kedua tokoh
tersebut, Ahmad Maulana juga termasuk tokoh yang menentang poligami. Poligami
itu lebih banyak keburukannya daripada kebaikannya (hlm. 192).
Tokoh-Tokoh Kontrafeminis
Tokoh kontrafeminis
adalah tokoh cerita yang bertentangan paham dan tingkah lakunya lakunya dengan
tokoh profeminis. Tokoh kontrafeminis yang pertama adalah Datuk Maringgih. Ia
adalah orang yang gila uang dan gila perempuan. Ia kawin cerai berkali-kali, tidak
dapat dihitung jumlahnya. Hampir disetiap kampung ada anaknya. Setiap melihat
perempuan cantik pasti dipinangnya.
Menghabiskan banyak
uang tidak apa-apa asalkan tercapai maksudnya. Dengan uanglah ia memikat hati
perempuan. Datuk Maringgih menganggap perempuan sebagai mainan yang
dimilikinya. Sebagai pemilik, ia merasa bebas untuk mempergunakan dan membuang
mainan (perempuan) tersebut bila sudah bosan. Hal ini tentu saja merupakan
perendahan terhadap harkat dan martabat kaum perempuan.
Tokoh kontrafeminis
yang lain adalah Sutan Hamzah. Ia juga termasuk laki-laki yang gemar
kawin-cerai. Modalnya untuk menarik hati perempuan adalah kebangsawanannya.
Bagi orang-orang pemegang adat, kebangsawanan merupakan faktor penting untuk
memperbaiki keturunan. Oleh karena itu banyak perempuan yang suka melamar
laki-laki bangsawan.
Setiap kali dilamar,
laki-laki tersebut mendapat uang jemputan yang besar jumlahnya. Hal inilah yang
menyebabkan Sutan Hamzah dapat hidup enak tanpa bekerja sebab setiap habis
uangnya pasti kawin lagi. Lagi pula, kebutuhannya juga dicukupi oleh
istri-istri dan mertuanya. Pikiran mengenai “perkawinan yang disalahgunakan”
itu terdapat pada kutipan berikut ini.
“Apa yang
hamba susahkan?” kata Sutan Hamzah pula. “Biarpun berpulih istri hamba, beratus
anak hamba, belanja tak perlu hamba keluarkan dari kocek hamba, sebab istri
hamba ada orang tua dan mamaknya. Demikian pula anak hamba, bukan tanggungan
hamba. Apabila mertua hamba tiada cakap atau tiada sudi lagi membelanjai hamba,
hamba ceraikan anaknya dan hamba kawini perempuan lain, yang mampu,
tentu dapat hamba uang jemputan dua tiga ratus rupiah dan berisilah pula kocek
hamba.” (hlm.58).
Pikiran Sutan Hamzah
itu bertentangan dengan perjuangan feminisme karena ia tidak hanya menganggap
perempuan sebagai mainan, tetapi juga memeras hartanya untuk kesenangan pribadi.
Perempuan-perempuan
yang mau menjadi istri Sutan Hamzah itu semula menginginkan kebahagiaan, tetapi
nyatanya mereka “tertipu” dan mengalamai semacam perbudakan, Wahyuni (1997:80)
dalam Suharto (2010:255).
Tokoh kontra feminis
selanjutnya adalah Putri Rubiah. Kebangsawananlah yang menyebabkannya harus
selalu taat pada adat. Karena tidak pernah dirugikan oleh adat, segala
kebutuhannya dicukupi oleh saudara laki-lakinya, Putri Rubiah senan tiasa memuja-muja
adat.
Adat menentukan perempuan
tidak perlu bersekolah. Ia pun enggan menyekolahkan anak perempuannya (hlm.21).
Dia juga menghargai bangsawan yang beristri banyak dan mengejek bangsawan yang
hanya mempunyai satu istri.
Penokohan yang Mengandung Prasangka Gender
Di dalam novel Siti
Nurbaya terdapat sebagian kecil penokohan yang mengandung prasangka gender.
Uniknya, penokohan itu menimpa tokoh profeminis juga. Ketika narator menceritakan
keelokan paras Siti Nurbaya, ia berkomentar bahwa kecantikan itu memancing
birahi laki-laki.
Gejala ini tidak dikemukakan
pada penokohan tokoh laki-laki yang sejajar ketokohannya dengan Siti Nurbaya,
yaitu Samsulbahri. Samsulbahri tidak digambarkan sebagai orang yang menarik
hati perempuan di kota padang. Jadi, jelaslah bahwa terdapat ketidakadilan
dalam penokohan laki-laki dan perempuan.
Baca Juga : Prasangka dan Diskriminasi
Dalam
perkembangannya, Siti Nurbaya tidak hanya dicintai, tetapi juga diganggu karena
kecantikannya. Samsulbahri adalah o-rang yang mencintainya secara benar dan kebetulan
Siti Nurbaya dapat menerima cintanya. Artinya, Siti Nurbaya pun mencintai Samsulbahri
sehingga terjadi keseimbangan cinta atau cinta yang berterima antara laki-laki
dan perempuan (hlm.73)
Datuk Maringgih juga
mencintai Siti Nurbaya, tetapi kesukaan itu hanya karena Sitti nurbaya cantik.
Datuk Maringgih hanya ingin memperturutkan nafsunya agar dapat memperistri
gadis yang menjadi kembang kota Padang. Siti Nurbaya tidak dapat menerima
kemauan Datuk Maringgih. Akhirnya, Datuk Maringgih menggunakan cara-cara yang
licik untuk mendapatkan Siti Nurbaya.
Gangguan yang
dilakukan laki-laki terhadap Siti Nurbaya tidak cukup sampai disitu. Ketika
Siti Nurbaya naik kapal, ada dua orang awak kapal yang terpesona oleh kecantikannya.
Awak kapal itu menggangu Siti Nurbaya secara fisik dan psikologis serta menyamakannya
dengan perempuan nakal.
Jadi, sebagai
perempuan, Siti Nurbaya telah menjadi objek dan sekaligus menjadi sasaran
pelecehan seksual yang pada gilirannya mengarah pada pelecehan martabatnya. Persoalan
ini bersumber pada dua hal.
Pertama, mitos kecantikan
yang melekat pada perempuan yang menempatkan mereka pada posisi tereksploitasi.
Kedua, adanya objektivitas perempuan dalam hal seks atau dijadikannya perempuan
sebagai objek pelecehan seksual oleh kaum laki-laki.
Prasangka gender
juga tampak pada penggambaran kualitas tokoh. Samsulbahri digambarkan sebagai tokoh
yang lebih pandai dan lebih cerdas daripada Sitti Nurbaya.
Samsulbahri menjadi
konsultan Siti Nurbaya ketika gadis itu tidak paham akan suatu pelajaran. Boleh
jadi perbedaan kecakapan itu karena kelas Siti Nurbaya lebih rendah daripada
Samsulbahri.
Sementara itu,
perempuan digambarkan sebagai orang yang menguasai pekerjaan-pekerjaan rumah
tangga. Ketika narator menggambarkan tokoh Rukiah, misalnya, perempuan ini
digambarkan sebagai orang yang sedang menjahit dan Sutan Mahmud (laki-laki)
kagum akan pekerjaan rukiah itu.
Jadi, meskipun Siti
nurbaya adalah novel yang mempropagandakan emansipasi perempuan, ternyata
prasangka gender masih muncul dalam penokohan. Tidak jarang tokoh yang
distereotipekan adalah tokoh profeminis, misalnya Siti Nurbaya. Siti Nurbaya
digambarkan sebagai tokoh yang tidak lebih pandai daripada Samsulbahri. Karena
perempuan digambarkan sebagai makhluk yang emosional, sedangkan laki-laki
rasional, perempuan tidak lebih cerdas dan tidak lebih berpengetahuan daripada
laki-laki.
Kesimpulan
Kritik sastra
feminis merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai
respons atas berkembang luasnya feminisme di berbagai penjuru dunia. Menurut
Suharto (2010:11) menyebutkan Beberapa tokoh pelopor Kritik Sastra feminis
ialah Simone de Beauvoir, Kathe Millet, Betty Friedan, dan Germain Greer. Dan
ada beberapa ragam kritik sastra, yaitu: Kritik sastra feminis idiologis,
Kritik sastra feminis sosialis atau kritik sastra marxis, Kritik sastra feminis
psikoanalitik, kritik feminis-lesbian dan lain sebagainya.
Daftar Rujukan
Djajanegara, Soenarjati.2000. Kritik
Sastra Feminis Sebuah Pengantar.Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
Suharto, Sugihastuti.2010. Kritik
Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Penjelasan
yang mendalam bukan? Apabila ada kritik dan saran, silakan sobat bisa
berkomentar pada kolom yang telah disediakan. Terima kasih.
Post a Comment for "Kritik Sastra Novel Siti Nurbaya - Perspektif Gender"