Contoh Makalah - Nilai dan Moralitas Remaja
Menulis makalah merupakan aktivitas akademis yang bisa dibilang cukup sulit. Perlu pemahaman terhadap struktur pembentuk makalah, aspek kebahasaan dan juga disiplin ilmu makalah tersebut. Maka dari itu, Artikel Kami menghadirkan Contoh Makalah yang bisa menjadi referensi sobat Artikel Kami.
Contoh Makalah - Nilai dan Moralitas Remaja
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa penjajakan seseorang untuk menemukan jati dirinya. Pada masa ini seseorang mulai mempelajari segala sesuatu tanpa menginginkan adanya campur tangan orang tua, mereka ingin dirinya berperan dan dianggap mampu dalam segala hal. Remaja tidak takut mencoba segala sesuatu dan mereka tidak berpikir apakah akibatnya dalam jangka panjang. Ironinya, masa remaja merupakan masa yang mudah untuk dihasut oleh orang-orang baru. Akibatnya, banyak remaja yang terjebak dalam halam hal-hal yang tidak semestinya. Padahal, peran remaja di berbagai bidang sangat dibutuhkan.
Pada masa remaja, seseorang memiliki tugas perkembangan diantaranya: mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya, mencapai peran sosial pria dan wanita, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, serta memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.
Mengingat betapa pentingnya masa remaja, maka diperlukan sebuah pegangan untuk “peghuni” masa tersebut. Dengan memanfaatkan emosi remaja yang mudah dimasuki hal-hal baru, maka peran orang tua dan lingkungan sangat penting untuk dapat memasukkan nilai-nilai positif yang dapat dijadikan pegangan seorang remaja. Nilai-nilai tersebut penting untuk membentuk perkembangan moral dan sikap remaja menjadi lebih baik.
Oleh karena itu, penulis menyusun makalah yang berjudul “Perkembangan Moral dan Sikap Remaja” agar pembaca mengetahui bagaimana perkembangan moral serta sikap pada masa remaja. Dengan mengetahui itu, maka pembaca dapat menghindari hal-hal yang tidak perlu terjadi dan dapat merencanakan segala kebaikan yang didamba-dambakan. Selain itu, pembaca diharapkan dapat membantu mengurangi “kenakalan remaja” akibat rusaknya moral dan sikap remaja.
B. Rumusan Masalah
Makalah ini akan membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan perkembangan nilai, moral, dan sikap remaja. Rumusan masalahnya sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan nilai dan moral?
2. Bagaimana hubungan antara nilai, moral, dan sikap remaja?
3. Apa sajakah karakteristik nilai, moral, dan sikap remaja?
4. Apa faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan nilai, moral, dan sikap?
5. Bagaimana perbedaan individu dalam nilai, moral, dan sikap?
6. Bagaimana upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap seperti implikasinya bagi pendidikan?
7. Bagaimana implikasi pengembangan nilai, moral, dan sikap remaja terhadap penyelenggaraan pendidikan?
C. Tujuan
1. Memahami apa yang dimaksud dengan nilai dan moral.
2. Menjelaskan hubungan antara nilai, moral, dan sikap remaja.
3. Mengetahui dan memahami karakteristik nilai, moral, dan sikap remaja.
4. Mengetahui dan memahami faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan nilai, moral, dan sikap.
5. Menjelaskan perbedaan individu dalam nilai, moral, dan sikap.
6. Menjelaskan upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap seperti implikasinya bagi pendidikan.
7. Menjelaskan implikasi pengembangan nilai, moral, dan sikap remaja terhadap penyelenggaraan pendidikan.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Nilai dan Moral
Nilai adalah sesuatu yang baik, diinginkan atau dicita-citakan dan dianggap penting oleh warga masyarakat, misalnya kebiasaan dan sopan santun. Menurut Sutikna, 1988:5 (dalam Fatimah, 2010:120) nilai merupakan patookan-patokan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna, 1988:5 dalam Fatimah, 2010:120). Menurut Young, nilai merupakan asumsi-asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang apa yang benar dan apa yang penting.
Menurut Green, nilai merupakan kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap obyek, ide dan orang perorangan. Menurut Woods, nilai merupakan petunjuk umum dan telah berlangsung lama yang mengarah pada tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Jadi, nilai juga dapat diartikan sebagai ukuran/patokan suatu perilaku/pernyataan yang berlaku dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat yang mendasari sikap dan perilaku seseorang.
Moral adalah ajaran tentang baik buruk suatu perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban dan sebagainya (Purwadarminto, 1950: 957 dalam Fatimah, 2010:120). Jadi moral dapat diartikan sebagai ajaran yang mendasari dan mengendalikan seseorang dalam bersikap dan bertingkah laku.
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek sebagai hasil penghayatan terhadap objek tertentu (Fatimah, 2010:121). Dengan kata lain, nilai perlu dikenal terlebihh dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu dan akhirnya terwujud perilaku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek sebagai hasil penghayatan terhadap objek tertentu (Fatimah, 2010:121).
Dengan kata lain, nilai perlu dikenal terlebihh dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu dan akhirnya terwujud perilaku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud.
B. Hubungan antara Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predikposisi atau kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu objek atau sekumpulan objek debagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya.
Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yan dimiliki individu akan menentukan perilaku mana yang harus dilakukan dan yang harus dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap dan perilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya (Ali, M. Dan Asrori, 2006:144).
Bagi Sigmund Freud (Gerald Corey, 1989), yang telah menjelaskan melalui teori psikoanalisisnya, antara nilai, moral, dan sikap adalah satu kesatuan dan tidak dibeda-bedakan. Dalam konsep Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari tiga, yaitu:
1. Id atau Das Es
Id berisi dorongan naluriah, tidak rasional, tidak logis, tak sadar, amoral, dan bersifat memenuhi dorongan kesenangan yang diarahkan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan dan menghindari kesakitan.
2. Ego atau Das Ich
Ego merupakan eksekutif dari kepribadian yang memerintah, mengendalikan dan mengatur kepribadian individu. Tugas utama Ego adalah mengantar dorongan-dorongan naluriah dengan kenyataan yang ada di dunia sekitar. Superego adalah sumber moral dalam kepribadian.
3. Super Ego atau Da Uber Ich.
Superego adalah kode moral individu yang tugas utamanya adalah mempertimbangkan apakah suatu tindakan baik atau buruk, benar atau salah. Superego memprestasikan hal-hal yang ideal bukan hal-hal yang riil, serta mendorong ke arah kesempurnaan bukan ke arah kesenangan.
Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu dalam superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral.
Ini dapat terjadi karena superego yang sudah berkembang dengan baik dapat mengontrol dorongan-dorongan naluriah dari id yang bertujuan untuk memenuhi kesenangan dan kepuasan. Berkembangnya superego dengan baik, juga akan mendorong berkembang kekuatan ego untuk mengatur dinamika kepribadian antara id dan superego, sehingga perbuatannya selaras dengan kenyataannya di dunia sekelilingnya.
C. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Salah satu tugas perkembangan yang harus dilakukan remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari masyarakatnya. Micheal mengemukakan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja, yaitu sebagai berikut.
a. Pandangan moral individu makin lama menjadi lebh abstrak
b. Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah
c. Penilaian moral yang semakin kognitif mendorong remaja untuk berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
d. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral menimbulkan ketegagan emosi.
Makalah Lainnya : Makalah Ekonomi Makro Indonesia
Tokoh yang paling terkenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlbert (1995). Melalui desertasinya yang sangat monumental yang berjudul The Development of Modes of Moral Thinking and Choice in the Years 10 to 16. Berdasarkan penelitiannya itu, Kohlbert (1995) menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut:
a. Penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional.
b. Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya.
c. Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.
Tahap-tahap perkembangan moral yang sangat dikenal diseluruh dunia adalah yang dikemukakan oleh Lawrence E. Kohlbert (1995), yaitu sebagai berikut:
a. Tingkat Prakonvensional
Tingkat prakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu/anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya baik berupa sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan. Tingkat prakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan
Pada tahap ini, akibat-akibat fisik pada perubahan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghidari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.
Tahap 2: Orientasi relativis-instrumental
Pada tahap ini, perbuatan dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia diipandang seperti huubungan di pasar yang berorientasi pada untung-rugi.
b. Tingkat Konvensional
Tingkat konvensional atau konvensional awal adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat. Tingkat konvensional memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 1: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau desebut orientasi “Anak Manis”
Pada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka.
Tahap 2: Orientasi hukum dan ketertiban
Pada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menhormati otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial yang ada. Semua ini dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.
c. Tingkat Pascakonvensional (otonom/berdasarkan prinsip)
Tingkat pascakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut. Tingkat pascakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:
Tahap 1: Orientasi kontrak sosial legalitas
Pada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada utilitarian. Artinya perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai dengan relativisme nilai tersebut.
Terdapat penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan hak adalah masalah nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas, dan kontrak merupakan unsur pengikat kewajiban .
Tahap 2: Orientasi prinsip dan etika universal
Pada tahap ini, hak ditentukan oleh suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsestensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan moral konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas, persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi.
D. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
a. Faktor Keluarga
Perkembanagan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi anak-anak usia 12 dan 16 tahun, gambaran ideal yang berwibawa atau simpatik, orang-orang terkenal, dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri.
Menurut ahli psikoanalisis, moral dan nilai menyatu dalam konsep superego. Superego dibentuk melalui jalann internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintahh yang datang dari luar (khususnya dari orang tua). Oleh karena itu, anak yang tidak memiliki hubungan harmonis dengan orangtuanya di masa kecil, kemungkinan besar tidak mampu mengembangkan superego yangg cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma sosial (Fatimah, 2010: 125-126).
b. Faktor Masyarakat
Teori-teori yang non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan anak-orangtua bukan satuisatunya sarana pembentuk moral. Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Tigkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat si pelanggar (Sarlito, 1992:92).
c. Faktor Lingkungan
Dalam usaha membentuk perilaku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu, jelas bahwa lingkungan memegang peran penting. Di antara segala unsur lingklungan sosial yang berpengaruh adalah manusia-manusia yang langsung dikenal oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini lingkungan sosial terdekat adalah orang tua dan guru mereka (Fatimah, 2010:126).
d. Faktor Kebiasaan yang Berhubungan dengan Nilai Kebudayaan
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi yang dipeoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan degan nilai kebiasaan dan hal-hal lain yang behubungan dengan nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan pada masa anak-anak (Singgih Gunarsa, 1990:202 dalam Fatimah, 2010:126). Anak memang berkembang melalui interaksi sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus dan faktor pribadi anak ikut berperan (fatimah, 2010:126).
E. Perbedaan Individu dalam Nilai, Moral, dan sikap
Sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu kelompok masyarakat sosial tertentu belum tentu dinilai positif oleh kelompok masyarakat lain. Sama halnya, sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu keluarga tertentu belum tentu dinilai positif oleh keluarga lain.
Ada suatu keluarga yang mengharuskan para anggota berpakaian muslimah dan sopan karena cara berpakaian seperti itulah dipandang bernilai dan bermoral. Akan tetapi, ada keluarga lain yang lebih senang dan memandang lebih bernilai jika anggotanya berpakaian modis, trendi, dan mengikuti tren mode yang sedang merak dikalangan selebritis.
Oleh sebab itu, hal yang wajar jika terjadi perbedaan individual dalam suatu keluarga atau kelompok masyarakat tentang sistem nilai, moral, maupun sikap yang dianutnya. Perbedaan individual didukung oleh fase, tempo, dan irama perkembangan masing-masing individu.
Dalam teori perkembangan pemikiran moral dari Kohlberg juga dikatakan bahwa setiap individu dapat mencapai tingkat perkembangan moral yang paling tinggi, tetapi kecepatan pencapaiannya juga ada perbedaan antara individu satu dengan lainnya meskipun dalam suatu kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, sangat dimungkinkan individu yang lahir pada waktu yang relatif bersamaan, sudah lebih tinggi dan lebih maju tingkat pemikirannya.
F. Upaya Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Seperti Implikasinya bagi Pendidikan
Suatu sistem sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan sikap kepada anak adalah keluarga. Ini didorong oleh keinginan dan harapan orang tua yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan perilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua, masyarakat sekitar, dan agama.
Melalui proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang diharapkan. Upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap juga diharapkan dapat dikembangkan secara efektif di lingkungan sekolah.
G. Implikasi Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
Ada individu yang tahu tentang suatu, tetapi hanya menjadi pengetahuan belaka. Tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan moral seperti yang diharapkan, sehingga kita dihadapkan pada masalah pentingnya pembinaan. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral dan sikap remaja adalah sebagai berikut:
a. Menciptakan hubungan komunikasi
Komunikasi didahului oleh pemberian informasi tentang nilai dan moral. Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa bagaimana harus bertingkah laku sesuai dengan norma dan nilai-nilai moral, tetapi ia harus dirangsang agar lebih aktif. Hendaknya ada upaya untuk mengikutsertakan remaja dalam pembicaraan dan pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut secara aktif dalam penentuan maupun keputusan kelompok.
Kita mengetahui bahwa nilai-nilai hidup yang dipelajari memrlukan satu kesempatan untuk diterima dan diresapkan sebelum menjadi bagian dari tingkah laku seseorang. Diketahui pula bahwa nilai-nilai hidup yang dipelajari baru akan berkembang bila telah dikaitkan dalam konteks kehidupan bersama.
b. Menciptakan iklim lingkungan yang serasi
Seseorang yang mempelajari nilai dan moral, kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup, tidak hanya mengutamakan pendekatan intelektual dalam usaha pengembangannya, tetapi juga menciptakan lingkungan yang kondusif. Lingkungan yang kondusif merupakan penjelmaan konkret dari nilai-nilai hidup tersebut. Dalam lingkungan remaja, yang perlu diperhatikan adalah lingkungan sosial terdekat, orang tua dan guru.
Orang tua dan guru perlu memberikan model atau contoh yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang berlaku dan diperjuangkan. Hal tersebut merupakan kebutuhan tersendiri bagi remaja sebagi pedoman atau petunjuk dalam mencari jalan sendiri, menumbuhkan identitas diri, menuju kepribadian yang matang, dan menghindarkan diri dari konflik status serta peran yang selalu terjadi dalam masa transisi (remaja) ini. Lingkungan yang lebih banyak bersifat mengajak, mengundang, atau memberi kesempatan akan lebih efektif daripada lingkungan yang ditandai dengan larangan-larangan dan peraturan-peraturan ang serba membatasi.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Nilai merupakan hal yang perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu dan akhirnya terwujud perilaku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud. Dalam konteksnya, hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu dalam superego. Seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral.
Nilai, moral, dan sikap pada remaja memiliki beberapa karakteristik yang berbeda-beda pada tingkatannya. Tingkatan tersebut yaitu, tingkat prakonvensional, konvensional, dan paskakonvensional. Dalam perkembangannya, nilai, moral, dan sikap dipengaruhi oleh faktor keluarga, masyarakat, lingkungan, dan kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan.
DAFTAR RUJUKAN
Danim, S. 2010. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Alfabeta.
Fatimah, Enung. 2010. Psikologi Perkembangan (Perkembangan Peserta Didik). Bandung: CV. Pustaka Setia.
Kartono, Kartini. 2007. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung: Mandar Maju.
Bagaimana sobat? Apakah sudah mendapat inspirasi setelah membaca makalah ini. Silakan cantumkan uneg-uneg sobat di kolom komentar di bawah ini. Terus pantau update Artikel Kami untuk mendapatkan informasi ilmiah yang menarik. Sampai jumpa.
Post a Comment for "Contoh Makalah - Nilai dan Moralitas Remaja"