Pendekatan Semiotika dalam Karya Sastra
Mungkin sobat masih merasa asing dengan kata semiotika. Memang benar, isitlah ini
merupakan istilah kebahasaan khusus dalam linguistik. Pengertian semiotika
sudah pernah dibahas oleh Artikel Kami pada postingan terdahulu. Untuk
memperlancar pemahaman mengenai semiotika, sobat dapat membaca terlebih dahulu
artikel tersebut. Kali ini, yang menjadi pokok pembahasan adalah Penerapan
Semiotika Pada Karya Sastra. Untuk lebih jelasnya, simak penjelasan berikut.
Aplikasi Pendekatan Semiotika dalam Karya Sastra
Pendekatan semiotika dapat diaplikasikan ke dalam
karya sastra, salah satunya adalah aplikasi dalam puisi. Hal ini disebabkan bahwa
puisi sering didapati rantai penanda yang kosong pada tataran penanda mitis.
Oleh karena itu, dukungan aspek formal terhadap interpretasi
petanda-petandanya memerlukan pengecekan melalui rekuperasi (pewajaran) dan organics
wholes (keseluruhan yang organis).
Sesuatu interpretasi terhadap makna karya sastra, satu sama lainnya harus
dapat me-miliki
keterjalinan secara wajar, artinya korelasi antara bait, baris, makna, dan
intertekstual
harus mendapatkan tempatnya dalam
jaringan keseluruhan yang organis.
Di samping itu, konsep distance and
dexis (jarak dan goyangan acuan makna, kata yang referensinya
berganti-ganti bergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu)
akan membuka peluang bagi pembaca untuk melihat kembali konsep estetika dan
filsafat yang telah mapan dalam persepsi pembaca. Renungan pembaca terhadap
konsep ini akan menghayati segala sesuatu itu sebagai hal-hal yang
bersangkut-paut, transendental dan imanen dalam diri pembaca (Santosa,
1993:64).
Telaah Analisis Semiotika Pada Puisi
Dari uraian tersebut,
puisi “Asmaradana” karangan Goenawan Mohammad
akan dikaji-kan
contoh aplikasi pendekatan semiotika dalam karya sastra dan yang akan dikaji
adalah puisi Asmaradana
yang menitikberatkan pa-da hal-hal yang berlaku dalam interpretasi masalah
pengungkapan makna-makna yang tersirat atas dasar pemakain simbol-simbol
imajinatif.
Puisi karya Goenawan Mohamad yang berjudul Asmaradana merupakan
rekonstruksi
dari puisi klasik Jawa, yakni dari tembang macapat asmaradana. Dalam puisi gu-bahan
Goenawan Mohammad ini tidak seka-dar terjamahan yang harifah, tetapi lebih daripada
itu Goenawan mengubahnya sedemikian rupa sehingga menarik daya empati dan sekaligus
simpati pembaca terhadap karya gubah-annya. Pemutarbalikan esensi cerita pesan
a-tau
amanat dapat kita temukan dalam puisi ini. Namun, Goenawan memiliki kepandaian
mencuatkan lebih jauh kepada lukisan yang benar-benar romantis dan imajis
(Santosa, 1993:64).
Perhatikan puisi “Asmaradana” berikut.
ASMARADANA
Ia dengar kepak
sayap kelelawar dan guyur-guyur sisa hujan dari daun karena angin pada
kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati katika langit bersih
kembali menampakkan bimasakti yang jauh. Tapi di antara mereka berdua tidak ada
yang berkata-kata.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu.
Ia melihat peta, nasib, perjalanan dan sebuah peperangan
yang tak semuanya disebutkan.
Lalu ia tahu peremouan itu tak akan menangis. Sebab bila
esok pagi pada rumput halaman tak ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.
Anjasmara, adikku, tinggallah seperti dulu,
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
(Laraksit, 1971)
Puisi
Asmaradana karya Goenawan Moham-mad
di atas dapat kita bandingkan dengan puisi bentuk aslinya, yaitu bentuk tembang
macapat yang beriramakan asmaradana dan sekaligus terjemahannya dalam bahasa
Indonesia berikut ini.
ASMARADANA
Anjasmara ari mami
mas mirah kulaka
warta
dasihmu tan wurung
layon
aneng kutha
Prabalingga
prang tandhing lan Wurubisma
karia mukti wong
ayu
pun kakang pamit
palastra.
Terjemahan
dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut:
Anjasmara adindaku
permata hati carilah berita
kekasihmu tak urung jadi mayat
berada di kota Prabalingga
bertanding melawan Wurubisma
tinggallah berbagai wahai kekasihku
kakanda mohon diri untuk mati.
Kata asmaradana merupakan
perpaduan kata asmara dan dana. Kata dana merupakan ke-pendekatan
dari kata dahana, yang berarti api. Jadi, kata asmaradana berarti api as-mara.
Sifat sajak ini melambangkan kesedihan, romantisme, sendu, dan rindu dendam
as-mara
percintaan antara Damar Wulan dan Dewi Anjasmara. Tokoh Damar Wulan yang
tersamar sebagai subjek lirik atau aku lirik sedang berpamitan hendak perang
(merantau, berperang, melaksanakan tugas, atau meninggal dunia) meninggalkan
sang kekasih yang dicintainya.
“Asmaradana” ini memang mengisahkan perpisahan Damar Wulan dan kekasihnya,
Dewi Anjasmara. Kekasih Damar Wulan ini adalah putri pamannya sendiri, Patih
Logender.
Ia berkenalan dengan
Anjasmara ketika bertempat tinggal di kepatihan sebagai seorang pemelihara
kuda. Sebagai ksatria titisan Batara Kencana Wungu raja dari negeri Blam-bangan
memberontak terhadap majapahit.
Tugas mulia ini diterima Damar Wulan dengan berat hati karena yakin tidak
akan mampu dapat mengalahkan Menak Jingga. Adipati ini memiliki pusaka sakti
yang dapat dihandalkan kemampuannya, bernama Aji Ga-dha Wesi
Kuning.
Tatkala episode ini ditulis, Damar Wulan pamitan kepada kekasihnya,
Anjasmara, untuk pergi selama-lamanya karena yakin akan mati ditangan musuh
yang sakti.
Baca Juga : Makalah Nilai dan Moralitas Remaja
Kota Prabalingga merupakan benteng keku-asaan Menak Jingga dan balatentaranya, sudah pasti aia
akan hancur tanpa siasat dan strategi perang yang baik. Saat-saat perpi-sahan
inilah yang mengharukan, menim-bulkan
suasana yang romantis, dan bermakna transendental.
Rupanya kisah kasih inilah yang paling menonjol dalam puisi “Asmaradana”
gubahan Goenawan Mohammad.
Aktivitas yang dilakukan Goenawan dalam karyanya ini memang merupakan upaya
untuk menyelamatkan warisan budaya yang cukup berharga dalam khazanah sastra
klasik.
Adapun penyelewengan konsep uniomistiko
yang dilakukan Goenawan ini barangkali karena memandang sesuatu hal yang
transendental itu tidak rea-listik
atau membumi. Baginya yang lebih realistik adalah kisah kasih damar Wulan dan
Anjasmara adalah menghadapi saat-saat perpisahan, yang semalaman baru diguyur
hujan lebat.
Sejumlah modifikasi dan artifisial dalam puisi “Asmaradana” karya Goenawan
Moham-mad
ini dapat dipetakan (bukan sejajar de-ngan
ungkapan: “ia melihat peta, nasib, perjalanan, dan sebuah peperangan yang tak
semua disebutkan”) sebagai berikut.
1.
Perubahan bentuk dari satu bait menjadi
empat bait.
2.
Teknik penulisan dari sebuah tembang macapat,
menjadisebuah puisi naratif, bergaya prosaik denagn irama estetisme formal.
3.
Isi yang hanya merupakan ucapan langsung Damar Wulan kepada
kekasihnya, Anjasmara, diubah dengan isi dan sampiran dengan menekankan
lukisan suasana guna mendukung kisah-kisah Anjasmara dan Damar Wulan yang lebih
romantis
4. Pada puisi Goenawan Mohamad terdapat lukisan alam,
suasana perpisahan, suasana hati Anjasmara yang tiba-tiba murung dan putus asa
atas perpisahan itu, dan nada romantis yang lain sebagai kekhasan ciptaan
Goenawan yang berupa ungkapan-ungkapan kata baru. Sebaliknya, pada tembang
macapat “Asmaradana” yang asli tidak terdapat penggambaran lukisan sua-sana yang
demikian itu.
Barangkali hal-hal tersebut hanya merupakan sebuah tanda
adanaya aktivitas budaya pengarang dalam merespon tantangan budaya. Tindaklah
mengherankan bila banyak penyair yang aktivis karena C.G Jung, seorang ahli
psikologi, menyadari bahwa setiap manu-sia memiliki kesadaran purba yang
berwujud arketipe-artipe. Kesadaran pengarang akan le-bih
menarik kita kaji dalam wujud kesadaran pada hal-hal yang bersifat mistik,
religius, sufistik,
dan hal-hal yang transendental dalam kehidupan manusia (Santosa, 1993:65-68).
Kesimpulan
Sastra merupakan
karya (ciptaan) manusia (sastrawan) yang mencoba memahami dan menggambarkan
kembali realitas yang terjadi dalam masyarakat, diekspresikan melalui media
bahasa.
Sastra merupakan institusi
sosial, dokumen sosial yang mencatat kenyataan sosial budaya suatu masyarakat
pada masa tertentu, sarana memahami realitas sosial, cermin realitas, model
kehidupan.
Semiotik merupakan
salah satu pendekatan untuk mengkaji karya sastra, muncul sejak perhatian pakar
sastra susastra memfokuskan diri pada pada hubungan antara tanda dan petanda dalam
memahami makna melalui proses panjang sebagai kelanjutan dari
pendekatan-pendekatan sebelumnya (Santosa, 1993:1).
Sebagai ilmu tanda, semiotik secara sis-tematik mempelajari tanda-tanda dan lambang. Dalam hal ini sebuah sistem tanda dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mengkaji karya sastra. Pendekatan semiotik dalam mengkaji karya satra tidak dapat terlepas dari unsur-unsur pokok berupa tanda (sign), lambang (symbol), dan isyarat (signal).
Pegamatan masalah
semiotika sebenarnya sudah tumbuh sejak tahun 300-264 SM, yaitu melalui kajian
Zeno, tokoh aliran Stoa yang berasal dari Kition di pulau Cyprus. Ia mengadakan
penelitian lewat tanda-tanda tangis dan tertawa. Hasil penelitian Zeno ini
membuahkan perbedaan tanda dari aspek penanda dan petandanya.
Peirce mengemukakan
teori segitiga makna (triangle meaning)
yang terdiri atas sign (tanda), object (objek),
dan interptetant (interpretan).
Menurut Peirce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah
sesuatu yang dirujuk tanda.
Sedikitnya, ada lima pandangan dari Saussure yaitu pan-dangan
tentang: (1) signifer (penanda) dan signified (petanda); (2) form (bentuk) dan content (isi); (3) langue (bahasa)
dan parole (tuturan, ujaran); (4) synchonic (sinkronik) dan diachronic (diakronik); serta (5) syntagmatic (sintakmatik), assosiative (paradikmatik) (So-bur,
2003:46-54).
Pendekatan semiotika dapat diaplika-sikan
kedalam karya sastra, salah satunya adalah aplikasi dalam puisi. Hal ini
disebabkan bahwa puisi sering didapati rantai penanda yang kosong pada tataran
penanda mitis.
Oleh karena itu, dukungan aspek formal terhadap interpretasi
petanda-petandanya memerlukan pengecekan melalui rekuperasi (pewajaran) dan organics
wholes (keseluruhan yang organis).
Sesuatu interpretasi terhadap makna karya sastra, satu sama lainnya harus
dapat memiliki keterjalinan secara wajar, artinya korelasi antara bait, baris,
makna, dan intertekstual
harus mendapatkan tempatnya dalam jaringan keseluruhan yang organis.
Di samping itu, konsep distance and
dexis (jarak dan goyangan acuan makna, kata yang referensinya
berganti-ganti bergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu)
akan membuka peluang bagi pembaca untuk meli-hat kembali konsep estetika dan
filsafat yang telah mapan dalam persepsi pembaca. Renungan pembaca
terhadap konsep ini akan meng-hayati
segala sesuatu itu sebagai hal-hal yang bersangkut-paut, transendental dan
imanen dalam diri pembaca (Santosa, 1993:64).
Daftar Rujukan
Santosa, Puji.1993. Ancangan Semiotika Dan Pengkajian Susastra.
Bandung: Angkasa.
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: Rosda.
Sobur,
Alex. 2003. Semiotika Komunikasa. Bandung: Rosda.
Universitas
Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: Universitas
Negeri Malang (UM press).
Post a Comment for "Pendekatan Semiotika dalam Karya Sastra"