Gaya Bahasa : Pengertian Majas, Citraan, Diksi, Pola Rima, dan Struktur Kalimat
Ketika
membaca karya sastra, sobat pasti menyadari ada kekhasan atau karakteristik
tersendiri dibandingkan dengan karya nonsastra. Nah, kurang lebih itulah yang
disebut gaya bahasa. Banyak orang
menyamakan gaya bahasa dengan majas. Padahal dua hal tersebut berbeda. Lalu, apa perbedaan gaya bahasa dan majas? Gaya
bahasa mencakup aspek-aspek yang lebih spesifik seperti penjelasan berikut.
Pengertian Gaya Bahasa
Aminuddin
(1987:72) mengatakan bahwa gaya bahasa ialah cara seorang pengarang
menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis
serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual
dan emosi pembaca.
Gaya
bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 2010) ialah (1)
pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis;
(2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; (3)
keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra; dan (4) cara khas dalam
menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan.
Keraf
(2010:112—113) menyatakan bahwa gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan
istilah style. Gaya bahasa atau style merupakan cara mengungkapkan
pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian
penulis (pemakai bahasa).
Berbeda
dengan uraian tersebut, Ratna (2009:416) berpendapat bahwa gaya bahasa (stylistic) merupakan unsur karya sastra
sebagai akibat cara penyusunan bahasa sehingga menimbulkan aspek estetis.
Secara tradisional disamakan dengan majas, secara modern meliputi keseluruhan
cara penyajian karya sastra, termasuk bahasa nonsastra.
Menurut
Keraf (1994:22—23) dalam Sobur (2006:83) dan Sudjiman (1993:13), gaya bahasa
mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, citraan, majas, dan
pola rima yang digunakan seorang sastrawan yang terdapat dalam sebuah karya
sastra.
Gaya
bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual
atau karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik yang tinggi. Cakupan gaya
bahasa tersebut diuraikan sebagai berikut.
Diksi atau Pilihan Leksikal
Menurut
Scott (1980:107) dalam Rosid (2011:37), diksi berasal dari bahasa Latin dicere, dictum yang berarti to say. Diksi berarti pemilihan dan
penyusunan kata-kata dalam tuturan atau tulisan. Diksi yang baik adalah
pemilihan kata-kata secara efektif dan tepat di dalam makna serta sesuai dengan
pokok masalah, audien, dan kejadian.
Sementara
itu, Keraf (2010:87) menyatakan bahwa ketepatan pemilihan kata mempersoalkan kesanggupan
sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca
atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau
pembicara.
Pemilihan
kata selalu disesuaikan dengan kebutuhan penulis. Cara penulis mengungkapkan
gagasannya dalam wacana ilmiah tentu akan sangat berbeda dengan pengarang dalam
cipta kreasi sastra walaupun keduanya mengembangkan sebuah ide yang sama.
Pengarang
wacana ilmiah akan menggunakan gaya yang bersifat lugas, jelas, dan menjauhkan
unsur-unsur gaya bahasa yang mengandung konotatif. Sedangkan pengarang dalam
wacana sastra justru akan menggunakan pilihan kata yang bersifat konotasi,
kata-kata yang indah sehingga memunculkan nilai estetik suatu karya sastra
(Aminuddin, 1987:72).
Perbedaan
itu dapat dilihat dari dua kalimat berikut. Pertama, kalimat dalam karya ilmiah
(a) Pedoman Penulisan karya ilmiah ini
memberikan petunjuk tentang cara menulis karya yang berupa skripsi, tesis,
disertasi, artikel, makalah, tugas akhir, dan laporan penelitian (PPKI UM,
2010:2). (b) Sebagian pakar bahasa
menganggap ini sebagai dialek melayu karena banyaknya kesamaan kosakata dan
bentuk tuturan didalamnya (Yasin,
2011).
Kedua,
kalimt dalam karya sastra (c) … Jempolnya bergerak, mencari satu nama itu.
Dan begitu nama itu muncul di layar, ia tertegun sendirian. Batinnya menyapa
spontan: Apa kabar kamu, Kecil? (Dee “Perahu Kertas”, 2011:213). (d) Misas pun lebih suka menenggelamkan diri
dalam rumahnya yang sepi dan semakin sepi (Zaenal “Zalzalah”, 2009:291).
Kalimat
(a) dan (b) memilih kata-kata yang lugas, jelas, dan tidak bermakna konotatif,
informasi yang disampaikan kalimat dapat diterima pembaca tanpa penafsiran
ganda. Sementara pada kalimat (c) dan (d), kata-kata yang dipilih disusun
seindah mungkin untuk menimbulkan ketertarikan pembaca kepada tulisan penulis.
Kata-kata itu lebih banyak yang bermakna konotatif, misalnya kata “batinnya
menyapa”, dan “menenggelamkan diri”.
Struktur Kalimat
Struktur
kalimat dalam kegiatan komunikasi bahasa, jika dilihat dari kepentingan style lebih penting dan bermakna
daripada kata. Pola kalimat bahasa Indonesia terbentuk dari susunan kata akan memiliki makna yang berbeda jika dilihat dari
konteks kalimat yang berbeda pula. Ada bermacam gaya bahasa yang terlahir dari
penyiasatan struktur kalimat.
Salah
satu gaya bahasa yang banyak digunakan orang adalah yang berangkat dari bentuk
pengulangan, baik yang berupa pengulangan kata, bentuk kata, frasa, kalimat,
maupun bentuk-bentuk yang lain, misalnya gaya repetisi, pararelisme, anafora,
polisindenton, dan alisindenton, antitesis, alitrasi, klimaks, antiklimaks, dan
pertanyaan retoris (sastrawangi, 2012).
Sementara
itu, Aminuddin (1987:72) mengatakan bahwa tatanan kalimat pada karya sastra
menunjukkan adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan
bukan hanya nu-ansa makna tertentu saja.
Berikut adalah contoh struktur kalimat
dalam karya sastra.
Orang-orang
yang tahu keadaan Marni anak-beranak dapat dengan mudah memahami keputusan
perempuan itu. Marni baru berusia tiga puluh tahun, segar, dan cantik. Karena
lama ditinggal suami, banyak lelaki, yang beristri atau tidak, ingin memiliki
dia. Jadi semuanya wajar saja.Karman sendiri dapat menerima hal masuk akal
itu.“Tetapi masalahnya, Marni adalah istri saya!” keluh Karman.Keluhan itu
bahkan tak juga pupus meskipun sudah enam tahun mengendap dalam hatinya.
(Ahmad
Tohari “Kubah”, 1995:13)
Kalimat-kalimat
dalam paragraf tersebut memiliki keterkaitan yang erat untuk dapat memahami
gagasan yang disampaikan pengarang. Ahmad Tohari dalam menggambarkan kedukaan
hati Karman karena istrinya menikah lagi tidak menggunakan kalimat yang biasa
saja.
Melalui
kalimat itu, Ahmad Tohari menggiring pembaca untuk menemukan bahwa perempuan
(Marni) yang tengah dipikirkan Karman adalah istrinya sendiri yang menikah lagi
enam tahun silam. Hal itu tidak akan ditemukan jika pembaca hanya membaca misalnya
kalimat pertama saja pada paragraf tersebut, atau pun kalimat kedua saja dan
seterusnya.
Panjang
pendek kalimat juga bervariasi, ada yang pendek, seperti Jadi semuanya wajar saja. kalimat ini hanya terdiri atas subjek dan
predikat, dan ada yang panjang, seperti Orang-orang
yang tahu keadaan Marni anak-beranak dapat dengan mudah memahami keputusan
perempuan itu. kalimat ini terdiri atas subjek, predikat, dan objek.
Citraan
Menurut
Scott (1980:139) dalam Rosid (2011:39), citraan atau imagery berasal dari bahasa Latin imago (image) dengan bentuk verbanya Imitari (to mitatie). Citraan merupakan gambaran angan-angan dalam puisi.
Penyair
tidak hanya pencipta musik verbal tetapi juga pencipta gambaran dalam kata-kata
untuk mendeskripsikan sesuatu sehingga pembaca dapat melihat, merasakan, dan
mendengarnya.
Gambaran
angan-angan tersebut untuk menimbulkan suasana yang khusus; membuat lebih hidup
gambaran dalam pikiran serta pengidraan juga untuk menarik perhatian.
Sementara
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 2010), citraan ialah cara
membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu dan membentuk kesan atau
gambaran visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat, serta
merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi.
Artikel Lainnya : 4 Kemampuan Berbahasa
Citraan
atau imaji tersebut seolah-olah dapat ditangkap langsung oleh indra manusia,
baik indra penglihatan, indra pendegar, indra penciuman, indra perasa, maupun
indra peraba.
Misal
dalam baris puisi berikut “seorang
pemuda yang gagah akan menangis tersedu” (WS Rendra, “Sajak O-rang Lapar”). Baris puisi Rendra itu membuat pembaca
seolah-olah melihat seorang pemuda yang tengah menangis tersedu.
Majas
Ratna
(2009:164) mengungkapkan bahwa majas (figure
of speech) adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau
pembicara dalam rangka memperoleh aspek keindahan. Majas berfungsi sebagai penunjang
untuk melengkapi gaya bahasa.
Pendapat
serupa dari Tarigan (1986:32) bahwa salah satu yang dapat digunakan oleh para
penyair untuk membangkitkan imaji itu adalah dengan memanfaatkan majasatau figurative language, yang merupakan
bahasa kias atau gaya bahasa. Majas berfungsi untuk memperjelas maksud serta
menjelmakan imajinasi.
Keraf
(1996) dalam Ratna (2009:439—447) menyatakan bahwa secara garis besar majas
dibedakan menjadi empat macam, yaitu: penegasan, perbandingan, pertentangan,
dan sindiran. Kemudian keempat macam majas tersebut dijabarkan sebagai berikut.
·
Majas
Penegasan
Majas
yang termasuk ke dalam jenis majas penegasan antara lain: `, aforisme, alonim, anagram,
antiklimak, apofasis/preterisio, aposiopesis, arkhaisme, bombastis, elipsis,
enumerasio/akumulasio, esklamasio, interupsi, inversi/anastrof, invokasi,
klimaks, kolokasi, koreksio/epanortosis, paralelisme, pararima, pleonasme,
praterio, repetisi, retoris/erotesis, sigmatisme, silepsis, sindeton, sinkope/kontraksi,
tautologi, dan zeugma.
·
Majas
Perbandingan
Majas
yang termasuk ke dalam jenis majas perbandingan antara lain: alegori, alusio,
antonomasia, disfemisme, epilet, eponim, hipalase/enalase, hiperbola, litotes,
metafora, metonimia, onomatope, paronomasia, perifrasis, personifikasi,
simbolik, simile, sinekdok, sinestesia, dantropen.
·
Majas Pertentangan
Majas
yang termasuk ke dalam majas pertentangan antara lain: anakronisme, antitesis,
kontradiksio, oksimoron, okupasi, paradoks, dan prolepsis/antisipasi.
·
Majas
Sindiran
Majas
yang termasuk ke dalam majassindiran antara lain: anifrasis, inuendo, ironi,
permainan kata, sarkasme, dansinisme.
Perrine
(1974:616-17) dalam Waluyo (1994:218) menyatakan bahwa majas digunakan
pengarang untuk: (1) menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) menghasilkan imaji
tambahan sehingga hal-hal yang abstrak menjadi konkret dan menjadikan karya itu
nikmat dibaca, (3) menambah intensitas perasaan pengarang dalam menyampaikan
makna dan sikapnya, dan (4) mengonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan
cara menyampaikan sesuatu dengan bahasa yang singkat.
Pola Rima
Rima
dan ritma merupakan pengulangan bunyi dalam puisi. Dengan pengulangan bunyi
tersebut, puisi menjadi merdu bila dibaca. Bunyi-bunyi yang berulang,
pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi menimbulkan suatu gerak yang
teratur.
Gerak
yang teratur itulah yang disebut ritma atau rhythm. Luxemburg (1989:196)
dalam Rosid (2011: 48—50) menyatakan bahwa rima didasarkan atas permainan unsur
bunyi. Bentuk-bentuk rima yang paling sering muncul adalah aliterasi, asonansi,
dan rima akhir. Aliterasi adalah repetisi bunyi awal pada kata-kata yang berbeda,
biasanya berupa konsonan. Aliterasi berfungsi mendekatkan kata-kata.
Asonansi
merupakan perulangan bunyi vokal. Sementara rima akhir berfungsi memperkuat
susunan tematik sebuah puisi dan menghubungkan larik dengan larik.
Contoh
aliterasi terdapat dalam cuplikan puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” karya Rustam
Effendi sebagai berikut.
bukan beta bijak berperi,
pandai
menggubah madahan syair,
bukan beta budak
negeri,
musti menurut undangan mair.
sarat saraf saya
mungkiri,
untai
rangkaian seloka lama,
beta buang beta
singkiri,
sebab laguku menurut sukma.
susah sungguh saya sampaikan,
...
( Rustam Effendi, “Bukan Beta Bijak Berperi”)
Terjadi pengulangan bunyi konsonan padapuisi
tersebut sebagai huruf awal pada kata-kata yang berbeda. Hal itulah yang
disebut dengan aliterasi. Pada baris pertama misalnya, bukan beta bijak berperi terjadi pengulangan huruf b sebagai huruf pertama kata bukan, beta, bijak, dan berperi.
Contoh asonansi terdapat dalam puisi
“Rumahku” karya Chairil Anwar sebagai berikut.
Rumahku
dari unggun-unggun sajak
Kaca
jernih dari segala nampak
Kulari
dari gedung lebar halaman
Aku
tersesat tak dapat jalan
Kemah
kudirikan ketika senjakala
Dipagi
terbang entah kemana
Rumahku
dari unggun-unggun sajak
Disini
aku berbini dan beranak
Rasanya
lama lagi, tapi datangnya datang
Aku
tidak lagi meraih petang
Biar
berleleran kata manis madu
jika
menagih yang satu
(Chairil
Anwar, “Rumahku”)
Puisi “Rumahku” tersebut banyak mengulang
bunyi vokal /a/, /i/ dan /u/. Misalnya pada baris ke-5 Kemah kudirikan ketika senjakala mengulang bunyi /a/ pada setiap
akhir kata.
Pada baris ke-3 Kulari dari gedung lebar halaman mengulang bunyi /i/ pada kata kulari dan dari. Kemudian, pada baris pertama Rumahku dari unggun-unggun sajak terjadi pengulangan bunyi /u/ pada
kata rumahku, dan unggun.
Contoh rima akhir terdapat dalam puisi
“Doa” karya Chairil Anwar sebagai berikut.
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
mengingat kau penuh seluruh
caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu aku mengutuk
aku tidak bisa berpaling
(Chairil Anwar, “Doa”)
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
mengingat kau penuh seluruh
caya-Mu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintu-Mu aku mengutuk
aku tidak bisa berpaling
(Chairil Anwar, “Doa”)
Puisi
tersebut mengulang bunyi /u/ pada sebagian besar akhir baris. Misalnya, akhir
baris pertama bait pertam Tuhanku, baris
ke-2 Dalam termangu, baris ke-3 Aku masih menyebut nama-Mu, dan pada
baris pertama bait ke-2 pun juga masih mengulang bunyi /u/ Biar susah sungguh.
Pendapat
serupa dinyatakan Tarigan (2011:35) bahwa rima dan ritma memiliki pengaruh
untuk memperjelas makna puisi. Dalam kepustakaan Indonesia, ritme atau irama
adalah turun naiknya suara secara teratur, sedangkan rima adalah persamaan
bunyi.
Kesamaan
bunyi yang dimaksud dapat ditunjukkan dengan cuplikan bait puisi berikut.
Ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela
jari kita
Ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kita mulai
merindukannya
...
(Taufiq Ismail, “Membacca
Tanda-Tanda”)
***
aku bawakan bunga padamu
tapi kau bilang masih
aku bawakan resahku padamu
tapi kau bilang hanya
aku bawakan darahku padamu
tapi kau bilang cuma
aku bawakan mimpiku padamu
tapi kau bilang meski
aku bawakan dukaku padamu
tapi kau bilang tapi
...
(Sutardji Calzoum Bachri, “Tapi”)
Rima pada bait pertama ialah
rima aaaa karena bait tersebut memiliki kesamaan bunyi
akhir, sementara bait kedua menggunakan rima
depan karena terdapat kesamaan kata pada awal baris puisi itu, kata “aku”
dan “tapi” diulang pada awal baris puisi karya Sutardji tersebut.
Daftar
Rujukan
Alisjahbana,
Sutan Takdir. 1937. Layar Terkembang. Jakarta:
Balai Pustaka.
Aminuddin.
1987. Pengantar Memahami Unsur-Unsur
dalam Karya Sastra. Bagian I. Malang: FPBS IKIP Malang.
Aminuddin.
1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa
dalam KaryaSastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Lestari,
Dewi. 2011. Perahu Kertas.
Jogjakarta: Bentang Pustaka.
Parera,
J. Daniel. 1988. Belajar Mengemukakan Pendapat:
Standar, Logis, Pragmatik. Jakarta: Erlangga.
Purba,
Antilan. 2009. Stilistika Sastra Indonesia: Kaji Bahasa Karya Sastra. Medan:
USU Press.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2009. Stilistika: Kajian Puitika
Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Post a Comment for "Gaya Bahasa : Pengertian Majas, Citraan, Diksi, Pola Rima, dan Struktur Kalimat"