Perkembangan Marxisme dalam Karya Sastra Indonesia
Sudah pernah dibahas
pada postingan Artikel Kami sebelumnya, mengenai teori sosial marxisme dan juga tokoh-tokoh marxisme di dunia. Pada kesempatan kali ini, yang menjadi topik pembahasan
adalah bagaimana paham marxisme
berinfiltrasi di Indonesia, khususnya marxisme
dalam bidang sastra. Penjelasan selengkapnya, simak uraian berikut.
Pandangan Marxisme dalam Karya Sastra Indonesia
Menurut Teeuw dalam
Saraswati (2003: 51) Sastra-sastra sosialis banyak menggambarkan kondisi serta
gejolak masyarakat di masa tersebut. Sastra sosialis banyak muncul di surat
kabar-surat kabar (antara lain yang dimuat secara bersambung) yang dikelola
oleh para aktivis gerakan, serta sebagian lagi diterbitkan oleh
penerbit-penerbit swasta atau badan-badan tertentu (misalnya oleh kantor PKI).
Berikut merupakan perjalanan sastra Marxis di Indonesia.
Marxisme Tahun 1920-an (Angkatan Balai Pustaka)
Karya pertama yang
dapat diperkenalkan dari sastra jenis ini misalnya sebuah karya dari Hadji
Moekti berjudul Hikajat Siti Mariah. Karya ini diterbitkan secara bersambung sebanyak
284 kali di surat kabar Medan Priaji Bandung, dari 7 November 1910 sampai 6
Januari 1912. Cerita bersambung ini menggambarkan secara kompleks pertarungan sosial,
politik dan ekonomi dari berbagai lapisan sosial.
Roman lain yang
dapat dikemukakan, misalnya, muncul dari Tirto Adhi Soerja (1875-1918) dengan
judul Njai Permana (1912) Roman ini terbit menggantikan Hikajat Siti Mariah
sebagai cerita bersambung di Medan Priaji, berkisah tentang seorang anak lurah
(Nyai Permana) yang dipaksa kawin dengan seorang menteri polisi. Ketika
suaminya mengkorup petani saat pembagian tanah, Nyai Permana sampai pada suatu
kesadaran untuk berpihak pada petani. la pergi meninggalkan suaminya, lalu
kembali ke desa. Berkumpul bersama masyarakat petani.
Kadar sosialis yang
lebih tinggi kemudian muncul dalam roman yang terbit di masa-masa selanjutnya. Satu
contoh yang menarik adalah Hikajat Kadiroen (1920) karya Semaoen, seorang tokoh
sayap kiri Sarekat Islam yang kelak menjadi ketua Partai Komunis Indonesia.
Pertama kali Hikajat Kadiroen diterbitkan secara bersambung dalam surat kabar
Sinar Hindia dan pada atahun 1922 diterbitkan kembali oleh kantor PKI dalam
bentuk buku.
Hikajat Kadiroen
menceritakan seorang pemuda cerdas bernama Kadirun yang bekerja sebagai pegawai
negeri dalam pemerintahan kolonial. Seiring dengan kesadaran dirinya melihat
kemiskinan dan penderitaan rakyat, ia merasa kecewa dan mulai berhubungan dengan
prmirnpin-pemimpin PKI yang mengajarinya mengenai teori-teori perjuangan dan perlawanan.
la kemudian menjadi
pendukung moral dan keuangan dalam setiap gerak perjuangan PKI Namun, hal itu kemudian diketahui atasannya yang memberinya
pilihan antara tetap berada di jabatan dan berhenti dari aktivitas partai, atau
bergabung dengan partai yang berkonsekuensi dipecat dari jabatan. Kadirun
akhirnya memutuskan untuk meninggalkan jabatannya dan
menceburkan diri dalam
kegiatan politik, karena hanya dengan cara itu ia yakin bisa
memperjuangkan cita-cita ke-bahagiaan rakyat.
Sastra sosialis
kemudian semakin matang dan lebih jelas terbentuk dalam karya Marco Kartodikromo
(Mas Marco, 1890-1935). Pada tahun 1914 ia menerbitkan sebuah novel
kontroversial berjudul Mata Gelap, yang penuh dengan pornografi.
Setelah mendapat
reaksi keras dari masyarakat, ia menulis sebuah novel lain yang menggambarkan
awal mula lahirnya intelektual Indonesia, yang muncul dari kelas borjuis kecil,
feodal, birokrat yang lemah batinnya, yang beruntung karena memperoleh
kesempatan menempuh pendidikan Barat bahkan sampai ke luar negeri. Novel
tersebut berjudul Student Hidjo (1918).
Mas Marco adalah
seorang wartawan yang juga pernah bergabung dengan Sarekat Islam sebelum
menjadi anggota PKI. Aktivis gerakannya telah mengakibatkan dia ditangkap
beberapa kali, lalu meninggal di tempat tahanan di Boven Digoel. Dalam Student
Hidjo, Mas Marco bercerita tentang seorang pemuda (Hijo) yang jatuh cinta pada
gadis Belanda ketika sedang belajar di negeri itu.
Namun, kemudian
mereka berpisah secara baik-baik dan sang pemuda pun kawin dengan seorang gadis
pribumi sepulangnya ke tanah air.
Metode dialektik
dalam analisis pcrmasalahan sosial masyarakat yang biasa dipergunakan dalam
karya sastra realisme-sosialis modern, mulai muncul dalam novel Rasa Mardika
tersebut.
Hal ini nampak dari
kutipan berikut:
Bahwa
memang benar jugalah didalam dunia yang amat besar dan lebar ini terdiri dari beberapa
golongan bangsa, dan terbagi pula atas tanah kecil-kecil yang oleh orang-orang
dari tempat itu di-sebutnya "vaderland".
Tetapi oleh karena
alat-alat menghasilkan sekarang tergenggam dalam kekuasaan kemodalan, maka
dengan begitu otomatis beberapa tanah-tanah kecil-kecil yang disebut
"vaderland" itu lantas jadi musnah. Sebabnya yaitu: oleh karena
majunya mereka lalu membuka lain-lain tanah untuk jadi pasar-pasar jajahannya."
Melalui tokoh
Sujarmo, novel ini berkisah tentang kemukakan terhadap kehidupan birokrat-feodal
yang membuat Sujarmo memutuskan utnuk menempuh jalannya sendiri memasuki dunia
politik atau pergerakan menurut istilah waktu itu, yang di Indonesia saat
tersebut terpecah menjadi tiga golongan besar: nasionalis, agama dan komunis.
Itulah antara lain
beberapa karya yang bisa dikategorikan sebagai sastra sosialis atau sastra
realisme sosialis dalam tahap awal. Perkembangannya kemudian agak tersendat dan
bisa dikatakan mati mengingat penyaringan (sensor) pemerintah kolonial yang
semakin bertambah.
Faktor lain tentunya
berhubungan dengan kegagalan pemberontakan PKI pada bulan November 1926 yang
secara langsung maupun tidak langsung semakin membuat karya saastra perlawanan
tenggelam.
Sudah tentu, bahwa
dalam realisme sosialis tingkat pertama masih banyak mengandung kekeliruan,
bukan kesalahan. Karena, sekalipun pendasaran filsafat dan teori sudah benar,
karena belum adanya tradisi yang cukup lama, memudahkan orang melukiskan atau
menggambarkan sesuatu yang menyalahi teori marxisme.
Dan terutama sekali
di Indonesia kekeliruan-kekeliruan ini banyak kali berasal dari asal sosial
pengarang bersangkutan, yang masih membebaninya dengan buntut-buntut yang
dibawanya dari asal sosialnya, tak peduli panjang atau pendek. Di Indonesia
pada tahun-tahun belasan, hampir setiap orang menerbitkan karya untuk umum
berasal sosial borjuis kecil, sedang, didikan ideologisnya pun belum kuat atau
belum teratur.
Tidak mengherankan,
apabila dalam karya Samaoen (cuma sinopsis) dan Mas Marco orang biasa menemukan
kompromi antara "happy ending" borjuis yakni sampainya pahlawan dan
pahlawan ke atas ranjang pengantin dengan meningkatkan perjuangan fiktif yang
bersumber pada kedua pahlawan yg telah sampai di ranjang tunggal mereka.
Satu hal yang juga
dicatat, kemuduran sastra sosialis juga dipengaruhi oleh hegemoni Balai Pustaka
yang semakin luas pengaruhnya dalam kesusastraan Indonesia. Balai Pustaka dalam
memperluas pengaruhnya menerbitkan sebuah roman karya Abdoel Moeis berjudul
Salah Asuhan (1928), sebagai suatu usaha menampilkan karaya yang bermutu untuk
melawan karya-karya sastra.
Perlawanan yang
mulai diberangus. Melalui karya tersebut, Balai Pustaka seolah-olah ingin membuktikan
bahwa bisa muncul suatu karya sastra yang baik tanpa harus berurusan dengan
politik. Pandangan seperti itu semakin luas seiring pengaruh besar Balai
Pustaka dalam sastra Indonesia sebelum perang dan berakibat mandulnya komitmen
sosial dalam sastra untuk beberapa waktu.
Dalam keadaan
seperti itu, usaha-usaha baru dalam pembentukan kebudayaan Indonesia (yang
berarti menolak kolonialisme) masih mencoba muncul. Takdir Alisjabana menerbitkan
novel Belenggu (1940). Akan tetapi keduanya masih jauh dari suatu semangat sebagaimana
yang muncul dalam sastra-sastra sosialis, apalagi relaisme sosialis.
Kondisi kejatuhan
sastra sosialis ini berlanjut sampai zaman perang (Perang Dunia Kedua atau
datangnya tentara Jepang 1942). Keruntuhan ini kelak tidak berkonsekuensi terhapusnya sastra
perlawanan dalam sejarah sastra Indonesia, melainkan justru semakin mendorong
sastrawan-sastrawan untuk semakin melihat kenyataan-kenyataan masyarakat
sebagai dasar karya sastra mereka.
Sastra sosialis yang
berwatak utopis telah menjadi catatan dalam sejarah, diganti oleh munculnya
sastrawan-sastrawan yang memiliki land as an ideologi yang lebih kuat di masa
selanjutnya. ini terutama semakin meningkat di masa setelah perang, dan
mencapai pembentukan barunya pada kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra),
sebagai tahap berikutnya dari komitmen sosial dalam seni dan karya sastra.
Marxisme Tahun 1950-an
Bujung Saleh telah
memperlihatkan sikap seorang Marxis pada tahun 1953 waktu dia merumuskan
perbedaan antara pujangga Baru dengan Angkatan 45 dengan cara yang lain
"Pujangga Baru adalah gambaran nyata dari keadaan kesusastraan bourgeois
dengan pertumbuhan".
Kesusatraan itu
dibandingkannya dengan kesusastraan pada waktu ini yang kian lama kian
cenderung akan mempersoalkan hal-hal yang kongkrit yang menjadi masalah rakyat
masalah bangsa dan dunia umumnya, yang pasti akan menyebabkan seni menjadi lebih
bergerak ke arah Leart engagee dengan kata lain seni berisi.
Dia mengungkapkan
juga perbedaan-perbedaan kesusastraan sesudah perang dengan sebutan kesusatraan
beraneka warna: bermula dengan individualisme-anarkisme. Chairil Anwar, protestantisme
dan katolisisme dan dari sifat keislaman hingga pada kesusastraan jembel dengan
lunas-lunas realisme sosialis. Pengarang Lekra yang lain misalnya tokoh dari Medan
Bakri Siregar, Hr. Bandaharo dan Bachtiar Siagian kemudian A.S. Dharta (= Yogarwara,
= Klara Akustia= Kelara Asmara= Rodji) dan M.S. Ashar.
Para seniman Lekra
itu tidak meragukan sama sekali bahwa para seniman mempunyai tugas dan tanggung
jawab yang merupakan khidmat terhadap masyarakat dan lebih tepat lagi kepada
rakyat yang dianggotainya itu. Sebaliknya, menurut pendapat mereka hal ini
bukanlah sesuatu yang baru, karena semua hasil seni yang agung merupakan seni
berisi, untuk mengelakkan penggunaan istilah Tendenz-kunst (seni bertujuan)
yang tidak begitu memuaskan.
Cogan L'art pour
1'art merupakan hasil khusus dari masyarakat borjuis kapitalis yang merasa
takut akan pengaruh besar para seniman terhadap masyarakat sebagaimana yang
berlaku dalam revolusi Perancis, umpamanya.
Masyarakat demikian
bermaksud untuk mencetakkan seniman di atas menara gading yang selamat, untuk
me-misahkannya dari rakyat yang dianggotainya, dan untuk memisahkannya dari
tempat tumbuhnya sendiri, yaitu masyarakat. Dalam hubungan ini, amat menarik
perhatian bahwa orang yang dikatakan Bujung Saleh sebagai contoh khusus bagi
kesusastraan borjuis Pujangga Baru itu jugalah yang pada waktu sebelum perang
merupakan orang yang paling keras menentang sikap 1'art pour 1'art.
Orang itu Takdir
Alisyahbana. Namun, perbuatan menghubungkan semua penulis agung dari Homer
hingga Tolstoy dan dari Dante hingga Shelley dengan cita-cita Lekra yang dilakukan
dengan amat mudahnya itu setidak-tidaknya dapat diaktakan tidak meyakinkan sama
sekali.
Meskipun demikian,
jelaslah cita-cita Lekra untuk Indonesia pada ketika ini. Apa yang dikatakan
kemanusiaan universil dan seniman univorsil yang oleh Jassin dianggap sebagai
cita-cita Angkatan 45 yang sebenarnya, sesungguhnya adalah sebuah universalisme
yang merupakan baju baru bagi 1'art pour 1'art yang lama itu karenanya merupakan
suatu pemilihan yang bertentangan dengan hari esok.
Baca Juga : Apa itu Apresiasi Sastra?
Bebagaimana yang
dinyatakan oleh Klara Akustia (karena seseorang tak dapat bersikap netral,
seseorang hanya dapat menyokong atau menentang). Sebaliknya bagi kita yang
menjadi seniman, tetapi tak kurang menjadi anak zaman kini, yang harus dijadikan
persoalan penting bagi diri kita sendiri ialah hal kebebasan material dan moral
manusia dari penderitaan dan penyiksaan yang disebabkan oleh wujudnya perbedaan
kelas.
Mempercepat
tercapai-nya kebebasan ini merupakan persoalan bagi anak zaman kini, generasi
kita ini. Dalam hal ini Chairil Anwar dan lebih-lebih lagi para pengikutnya,
telah gagal, revolusi sastra mereka sama saja gagalnya seperti gagalnya
revolusi masyarakat mereka. Angkatan 45 sudah mampus.
Pendapat ini
diketahui juga di luar lingkungan itu. Revolusi tahun 45 belum berhasil karena
mencapai kebebasan politik bagi Indonesia, revolusi ini gagal karena tidak
memberikan keadilan sosial, sekurang-kurannya tidak membawakan perubahan menyeluruh
lagi sepenuhnya yang diperlukan oleh Indonesia.
Perasaan ini telah
jelas kelihatan sejak tahunn 1950 dalam sebuah drama Bachtiar Siagian, Lorong
Belakang. Sejak tahun 1950 pula Pramoedya Ananta Toer telah menulis keyakinan
yang agak meluas bahwa revolusi itu gagal.
Dan sekiranya wawancara dengan ahli ilmu
kemasyarakatan Belanda, Wertheim menjelang akhir tahun 1953 itu menarik
perhatian yang di dalamnya Wertheim menyatakan bahwa bcrsama dengan revolusi
politik maka revolusi sastra juga gagal, maka hal itu karena dia mengucapkan
pendapat atau sekuran-kurangnya perasaan orang-orang yang besar jumlahnya.
Sementara itu,
masalah bakti terhadap masyarakat, masalah bertindak sebagai alat pembangunan
kembali, lebih mudah dinyatakan daripada dilaksanakan dalam praktek, terutama
dalam sulu suasana yang tingkat perkembangan rakyat di dalamnya masih sedemikian
rendah, sedangkan oleh berbagai sebab yang wajar para seniman tergolong dalam
golongan orang-orang yang paling tinggi perkembangan intelektual dan kebudayaannya.
Bakri Siregar pernah
mengatakan bahwa para seniman harus menemui rakyat di pertengahan jalan, dia
seharusnya menyelam lebih jauh ke dalam perasaan rakyat, sehingga menimbulkan
perpaduan dan penjelmaan tenaga kreatif yang dapat dipahami rakyat dan dapat
pula mengangkat mereka ke tingkat kerohanian yang lebih tinggi.
Pada prakteknya,
Bakri Siregar sesungguhnya melakukan hal ini di Medan pada awal tahun 1950-an
dengan pelbagai cara, seperti menghasilkan pementasan drama bersama para
pelajar, dan melalui suatu ruangan dalam surat kabar tempat dia membicarakan
hal kebudayaan yang disesuaikan menurut keperluan para pembaca biasa. Tentulah
hal ini dicoba juga dengan perbagai cara di beberapa tempat lain.
Akan tetapi budaya
seniman ini merosot menjadi propagandis sebenarnya dan sepenuhnya terdapat di
mana-mana suatu bahaya yang telah diingatkan oleh Bujung Saleh: Tujuan 1'art
engagee tidaklah untuk merosotkan tingkat seni ke bawah, melainkan untuk
mengangkat perasaan kesenian rakyat ke atas, untuk makin lama meletakkan
syarat-syarat kemutuan yang semakin baik pada perasaan keindahan rakyat.
Akan tetapi bila
kita memeriksa beberapa hasil karya yang dapat dianggap paling jelas
menggambarkan cita-cita Lekra maka tidak dapat kita merasa terlalu gembira oleh
hasilnya. Sanjak-sanjak Bujung Saleh dan Klara Akustia, dan juga sanjak-sanjak
Hr. Bandaharo, umpamanya, merupakan sanjak yang lemah, betapapun terangnya cara
mereka membicarakan cita-cita untuk menentang penderitaan rakyat.
Drama Lorong
Belakang oleh B. Siagian, yang menurut kata pendahuluannya oleh Hr. Bandaharo, tidak
mungkin ditulis setelah bulan April 1950 dan yang lahir dari rasa kecewa karena
gagalnya revolusi dan untuk melukiskan hal itu, amat kecil sekali kejayaan yang
dicapainya sebagai alat untuk pembangunan kembali.
Karya itu merupakan
contoh khusus tentang pengorbanan kemanusiaan kepada utilitarianisme yang
dengan terang-terangan ditolak oleh Bujung Saleh. Tidaklah saya maksudkan bahwa
karya baik yang dihasilkan oleh seniman Lekra tidak pernah ada, karya sastra
yang sesungguhnya dirasakan menggambarkan cita-cita teoritis Lekra hampir seluruhnya
menimbulkan kesan yang tidak begitu baik.
Di dalam Lekra
ideologi sudah ditempatkan di atas seni. Apa yang penting bagi seniman adalah
pemahaman bahwa dirinya tak berbeda dari kaum politik, ilmuwan atau karyawan
terlihat sebagai peserta untuk pembebasan rakyat dari penindasan kelas yang berkuasa.
Seniman yang tak
mampu mengerti bahwa tanggung jawab untuk mereka adalah memperjuangkan rakyat
berarti juga tak punya kesadaran akan tugasnya. Oleh karena itu individualisme
membahayakan dan sengan sendirinya tercela.
Dalam basis seni
secara teoristis, Lekra selalu menekankan tanggung jawab poltik dan moral
seniman terhadap rakyat yang menderita, tetapi hampir tidak pernah memasuki
masalahnya yang penting, yailu bagaimana ideologi itu harus dituangkan di dalam
seni. Suatu karya seni ditimbang atas dasar dampaknya atau dampak yang diperkirakan.
Daftar
Rujukan
Eagleton, Terry. 1977. Marxism and Literary
Criticism, London: Methuen and Co Limited.
Eagleton, Terry. 2002. Marxisme
dan Kritik Sastra. Yogyakarta: Sumbu Yogyakarta.
Faruk. 1999. Pengantar
Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post-Modernisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi
Sastra, Sebuah Pemahaman Awal. Malang: UMM Press.
Post a Comment for "Perkembangan Marxisme dalam Karya Sastra Indonesia"