Psikologi Sastra - Tinjauan Para Ahli
Pada postingan sebelumnya, Artikel Kami sudah pernah membahas mengenai hakikat
sosiolinguistik dan juga sosiologi sastra.
Pembahasan tersebut merupakan penggabungan dari dua disiplin ilmu yang berbeda
dan membentuk cabang ilmu baru. Kali ini, Artikel Kami akan membahas bidang
multidisipliner yang lain, yaitu psikologi sastra Untuk penjelasan
selengkapnya, simak uraian berikut.
Hakikat Psikologi Sastra
Sebelum membahas
hubungan antara sastra dan psikologi atau yang biasa disebut psikologi sastra.
Sebagian pakar menyatakan, sastra dapat didefinisikan menjadi karya tulis yang
bersifat imajinasi yang artinya bukan suatu karya tulis yang berisi sesuatu
yang nyata (fakta).
Sastra sebagai suatu
karya imajinatif yang disampaikan malalui
bahasa dan gaya bahasa yang unik, indah serta mengandung ajaran tentang
nilai-nilai kehidupan.
Adapula yang
mendefinisikan karya sastra dapat membentuk esai yang berisi pemikiran atau
gagasan pengarang yang disampaikan melalui
bahasa dan gaya bahasa yang unik, indah serta mengandung ajaran tentang
nilai-nilai kehidupan.
Terdapat beberapa
pandangan yang menyatakan perkembangan psikologi sastra agak lamban dikarenakan
beberapa sebab. Penyebabnya antara lain: pertama, psikologi sastra seolah-olah
hanya berkaitan dengan manusia sebagai individu, kurang memberikan peranan
terhadap subjek transindividual, sehingga analisis dianggap sempit.
Kedua, dikaitkan
dengan tradisi intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas sehingga para
sarjana sastra kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra.
Alasan itu yang membuat psikologi sastra kurang diminati untuk diteliti Ratna
(2003:341) dalam Minderop (2011:54).
Kendala lain yang
menghambat perkembangan psikologi sastra adalah antusiasme yang berlebihan
ketika peneliti menerapkan pendekatan ini, artinya pembahasan terlalu terfokus
pada segi psikologi sedangkan hakikat sastra kerap kali ditinggalkan.
Kendala lainnya
ialah ketidakmampuan para pengajar sastra memahami konsep-konsep psikologi yang
harus digunakan dlam telaah sastra. Oleh karena itu para pengajar sastra perlu
memahami dan mendalami teori, konsep dan definisi yang terkait dengan
karya-karya sastra Minderop (2011:53)
Ada tiga cara yang
dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu:
a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis,
b) memahami
unsur-unsur kejiwaan para tokoh
fiksional dalam karya sastra, dan
c) memahami
unsur-unsur kejiwaan pembaca.
Pada dasarnya
psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah kejiwaan para tokoh fiksinal
yang terkandung dalam karya sastra (Ratna, 2003:343) dalam Minderop, A
(2011:54).
Selain itu kita
perlu memahami sastra sebagai cerminan kepribadian, sastra dan teori Sigmund
Freud, metode telaah perwatakan, penelitian
psikologi sastra, psikoanalisis
sastra, konsep umum mengenai psikoanalisis
dalam sastra, dan kegunaan psikoanalisis sastra.
Pengertian Psikologi Sastra
Psikologi secara
sempit dapat diartikan sebagai ilmu tentang jiwa. Sedangkan sastra adalah ilmu
tentang karya seni dengan tulis-menulis. Maka jika diartikan secara keseluruhan,
psikologi sastra merupakan ilmu yang mengkaji karya sastra dari sudut kejiwaannya.
Menurut Wellek dan
Austin (1989:90) dalam analis Oeniwahyunie. Istilah psikologi sastra mempunyai
empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai
tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif.
Yang ketiga studi
tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang
keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Pendapat
Wellek dan Austin tersebut memberikan pemahaman akan begitu luasnya cakupan
ilmu psikologi sastra.
Psikologi sastra
tidak hanya berperan dalam satu unsur saja yang membangun sebuah karya sastra.
Mereka juga menyebutkan, “Dalam sebuah karya sastra yang berhasil, psikologi
sudah menyatu menjadi karya seni, oleh karena itu, tugas peneliti adalah
menguraikannya kembali sehingga menjadi jelas dan nyata apa yang dilakukan oleh
karya tersebut”.
Menurut Ratna
(2004:350) dalam analis Oeniwahyunie, “Psikologi Sastra adalah analisis teks
dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis”.
Artinya, psikologi
turut berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja
dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh,
maupun pembacanya.
Dengan dipusatkannya
perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung
dalam karya sastra.. Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra
dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut
dengan “Psikologi Sastra”.
Artinya, dengan
meneliti sebuah karya sastra melalui pendekatan Psikologi Sastra, secara tidak
langsung kita telah membicarakan psikologi karena dunia sastra tidak dapat
dipisahkan dengan nilai kejiwaan yang mungkin tersirat dalam karya sastra tersebut.
Psikologi sastra
adalah sebuah interdisiplin antara psikologi dan sastra Endraswara (2008:16)
dalam Minderop (2011:59) daya tarik psikologi satra ialah pada masalah manusia
yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra,
tetapi juga bisa mewakili jiwa orang lain.
Langkah
dalam Memahami Psikologi Sastra
Setiap pengarang
kerap menambahkan pengalaman sendiri dalam karyanya dan pengalaman pengalaman
itu sering pula dialami oleh orang lain.
Ada tiga langkah
untuk pemahaman teori psikologi sastra:
a) Melalui pemahaman teori-teori
psikologi kemudian dilakukan analisis
terhadap suatu karya sastra.
b) Dengan terlebih dahulu
menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian detentukan
teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan.
c) Secara simultan menemukan teori
dan objek penelitian Endraswara (2008:89) dalam Minderop (2011:59).
Sastra sebagai Cerminan Kepribadian
Sebelum dilakukan
telaah bagainmana hubungan antara kepribadian dan karya sastra, terdapat
beberapa unsur yang perlu diketahui.
a) Kita perlu mengamati si pengarang
untuk menjelaskan karyanya. Telaah dilakukan terhadap eksponen yang memisahkan
dan menjelaskan kualitas khusus suatu karya sastra melalui referensi kualitas nalar, kehidupan,
dan lingkungan si pengarang.
b) Kita perlu memahami isi si
pengarang terlepas dari karyanya; caranya kita amati biografi pengarang untuk
merekonstruksi si pengarang dari sisi kehidupan dan perwatakan.
c) Kita perlu membaca suatu karya
sastra untuk menemukan cerminan kepribadian si pengarang di dalam karya
tersebut Abrams (1979:227) dalam Minderop (2011:61).
Dalam Minderop
(2011:61) terkait dengan antara sastra dan psikologi, terdapat beberapa faktor
yang perlu diperhatikan.
a) Suatu karya sastra harus
merefleksikan kekuatan, kekaryaan dan kepakaran penciptanya sebagaimana
dinyatakan oleh Christopher Marlowe.
b) Karya sastra harus memiliki
keistimewaan dalam hal gaya dan masalah bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaan pegarang.
c) Masalah gaya, struktur dan tema
karya sastra harus saling terkait de-ngan elemen-elemen yang mencerminkan
pikiran dan perasaan individu, tercakup didalamnya: pesan uta-ma, peminatan,
gelora jiwa, kesenangan dan ketidaksenangan yang memberikan kesinambungan dan
koherensi terhadap kepribadian.
Sebelum dilakukan
telaah bagaimana hubungan antara kepribadian dan karya sastra, terdapat
beberapa unsur yang perlu diketahui.
a) Kita perlu mengamati si
pengarang untuk menjelaskan karyanya. Telaah dilakukan terhadap eksponen yang
memisahkan dan menjelaskan kualitas khusus suatu karya sastra melalui referensi kualitas nalar, kehidupan,
dan lingkungan si pengarang.
b) Kita perlu memahami isi si
pengarang terlepas dari karyanya; caranya kita amati biografi pengarang untuk
merekonstruksi si pengarang dari sisi kehidupan dan perwatakan.
c) Kita perlu membaca suatu karya sastra
untuk menemukan cerminan kepribadian si pengarang di dalam karya tersebut
Abrams (1979:227) dalam Minderop (2011:61).
Dalam Minderop
(2011:61) terkait dengan antara sastra dan psikologi, terdapat beberapa faktor
yang perlu diperhatikan.
a) Suatu karya sastra harus
merefleksikan kekuatan, kekaryaan dan kepakaran penciptanya sebagaimana
dinyatakan oleh Christopher Marlowe.
b) Karya sastra harus memiliki
keistimewaan dalam hal gaya dan masalah bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan
pikiran dan perasaan pegarang.
c) Masalah gaya, struktur dan tema
karya sastra harus saling terkait de-ngan elemen-elemen yang mencerminkan
pikiran dan perasaan individu, tercakup didalamnya: pesan uta-ma, peminatan,
gelora jiwa, kesenangan dan ketidaksenangan yang memberikan kesinambungan dan
koherensi terhadap kepribadian.
Tokoh biasa terdapat
dalam karya prosa dan drama; mereka muncul untuk membangun suatu objek dan
secara psikologi merupakan wakil sastrawan. Pesan sastrawan tampil melalui para
tokoh Endraswara (2008:189) dalam Minderop (2011:62).
Tokoh yang menjadi
tumpuan penelitian biasanya tokoh utama;
sedangkan tokoh bawahan, walaupun tidak terlalu dominan tetapi mereka memiliki
peran penting dalam mendukung dan memperjelas watak tokoh utama.
a.
Cerminan Perilaku Baik
Dapat dipahami bahwa
kehidupan seorang penulis bijak akan tampak di dalm karya-karyanya yang dapat
dilihat melalui temperamen, tingkah laku, pola pikir yang gelora perasaan yang
walaupun tersamar setidaknya akan terlihat.
Walaupun seorang
seniman, penyair, atau pengarang, sejatinya menyampaikan ajaran tentang
kebaikan, dalam penyampaian kisah diperlukan berbagi karakter tokoh yang juga
dapat menampilkan tingkah laku yang selalu dapat diambil contoh.
Bila kita membaca
karya-karya sastra yang terkait dengan kepribadian kita harus memperhatikan,
bahwa tiap pengarang memiliki keunikan yang membedakan dengannya dengan
pengarang lain.
Selanjutnya tidak hanya
gaya, tetapi juga para tokoh dan kisahan yang disampaikan pengarang harus
merupakan ekspresi kepribadian pengarang. Karya orisinil mampu mengekspresikan
dinamika temperamen individu melalui membaca kreatif. Minderop (2011:62).
b.
Hasrat dan Karya
Interpretasi
psikoanalisis tidak membuat hal misterius dan rumit menjadi jelas dan sederhana
sebagaimana anggapan orang selama ini. Membahas karya sastra melalui pendekatan
psikoanalisis tidak menghasilkan segalanya menjadi jelas, melainkan membuka suatu
wilayah tak pasti, yakni wilayah hasrat taksadar melalui arti yang mungkin
jelas dan terungkap dalam karya budaya.
Mengatakan bahwa
suatu karya sebagai perwujudan taksadar atau perwujudan mimpi bukan berarti
menerjemahkan apa yang diwujudkannya tetapi memehami apa yang dilakukannya
dalam hubungan psikis dan hasilnya sama sekali tak akan terjangkau secara
langsung.
Keunggulannya ialah
bahwa karya seni atau sastra dapat menampung seluas mungkin kecenderungan
psikis, karena tidak ada-nya penghalang atau sensor dalam penumpang, jadi mirip
dengan suatu permainan.
Dalam kehidupannya
hal ini tidak selalu demikian karena adanya penghalang. Sebagai suatu
permainan, seni mendekatkan seorang seniman dengan kondisi infantil; sedangkan
orang yang berhayal sekedar melepaskan represi.
Cara hasrat
terungkap dalam seni adalah dengan penghayatan,
kondensasi, dan simbolisasi pada
bahasa seniman sebagaiman diterapkannya pada gambaran mimpinya. Semua ini
tampil dalam seluruh tataran bahasa yang dapat dikaji sebagai bahasa taksadar
bila selalu muncul sebagaiman penghayatan interpretasi mimpi.
Dalam karya seni
atau sastra, hasrat tidak hanya mempermainkan kekangan represi melainkan juga
membentuk proses sublimasi bersama represi. Sublimasi menawarkan jalan keluar
bagi hasrat yang terlepas dari represi karena adanya sublimasi.
Baca Juga : Makalah Nilai dan Moralitas Remaja
Sublimasi sendiri
memusatkan hasrat pada objek-objek non-seksual dan mengandung nilai sosial.
Seni menawarkan wilayah yang sangat luas bagi antara seorang seniman dan
sastrawan dengan seorang neurosis atau penghayal yang semata membentuk dunia
fantasme untuk memuaskan hasrat dan diri sendiri.
Sementara itu ada
pula karna seni yang mengandung narsisme yakni hasrat seniman yang hanya
terpukau pada bentuk, gambar-gambar dab bahasa yang dihargai masyarakat.
Menurut Richard
Hard, selaras dengan pragmatik sastra, ia menekankan pada kenikmatan; baginya
sastra merupakan jalan agar seseorang lebih mencapai kesenangan dan kegembiraan.
Berdasarkan pendapat ini dapat disimpulkan bahwa pendekatan psikopragmatik
dalam penelitian sastra memiliki ciri-ciri: pertama, penelitian memperhatikan
aspek kehidupan psikis yang terungkap dalam karya;
kedua, penelitian
seharusnya mampu menangkan apakah karya tersebut memuakkan, menggembirakan,
nikmat, menghibur dan indah, atau sebaliknya;
ketiga, penelitian
hendaknya memperhatikan kegunaan sastra dalam kehidupan psikis, apakah karya
itu merangsangkejiwaan, memberikan jawaban mental dan seterusnya;
keempat penelitian
dapat memengaruhi, menggelorakan keinginan apresiator dan mengundang tawa dan
sebagainya. Singkatnya, pendekatan psikopragmatik penelitian sastra adalah arah
yang menekankan fungsi sastra dalam kehidupan psikis.
Daftar Rujukan
Aminudin.
2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru AlGensindo
Minderop, A. 2011. Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Siswanto,
Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.
Wellek, R. & Werren, A. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Post a Comment for "Psikologi Sastra - Tinjauan Para Ahli"