Contoh Novel Genre Drama Sekolah: Cinta yang Terlambat
Cinta sering kali datang tanpa aba-aba, tumbuh dalam kebersamaan, lalu meninggalkan jejak yang tak terhapuskan. Dalam perjalanan hidup, ada perasaan yang kita sadari terlambat, ada kata-kata yang tak sempat terucap, dan ada kepergian yang meninggalkan ruang kosong di hati.
Novel Singkat ini mengajakmu menyelami kisah tentang
persahabatan, kehilangan, dan harapan yang tetap menyala meski takdir berkata
lain. Sebuah cerita yang akan menghangatkan sekaligus menggetarkan perasaanmu.
BAB 1
Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai menganggap Dimas
sebagai bagian penting dalam hidupku. Mungkin sejak pertama kali dia
mengulurkan tangannya saat aku tersandung di depan kelas di hari pertama
sekolah. Atau mungkin sejak dia dengan santainya duduk di sebelahku di kantin
tanpa meminta izin, padahal kami bahkan belum pernah berbicara sebelumnya.
Yang jelas, Dimas selalu ada.
Kami bukan sahabat yang menempel satu sama lain setiap saat.
Tapi dia adalah satu-satunya orang yang selalu tahu kapan aku butuh seseorang.
Saat aku gagal dalam ujian Matematika pertama, dia datang dengan satu kotak es
krim dan berkata, “Kalau gak bisa jadi jago, minimal kita bisa jadi kenyang.”
Ketika aku bertengkar hebat dengan mamaku karena aku ingin
kuliah di luar negeri sedangkan mamaku ingin aku tetap di Jakarta, Dimas adalah
satu-satunya orang yang menemaniku menangis di taman apartemenku. Dia tidak
berkata banyak, hanya duduk di sampingku, mendengarkan keluh kesahku, dan pada
akhirnya memberiku selembar tisu yang entah dari mana dia dapatkan.
Dimas adalah tipe orang yang tidak perlu diminta untuk
mengerti.
Kami memiliki kebiasaan-kebiasaan kecil yang hanya kami
berdua pahami. Seperti bagaimana dia selalu membelikan aku teh tarik saat kami
pulang les bareng, karena dia tahu aku tidak suka kopi tapi tetap ingin ikut
nongkrong di kafe. Atau bagaimana aku selalu menyisakan topping keju di pizzaku
untuknya, karena dia pecinta keju sejati.
Kami bukan pasangan. Kami bahkan tidak pernah membahas
tentang cinta atau hal-hal romantis lainnya. Bagiku, Dimas adalah tempat pulang
yang nyaman, seseorang yang membuatku merasa bahwa dunia ini tidak seburuk itu.
Tapi satu hal yang aku sadari sekarang, aku terlalu terbiasa
dengan keberadaannya. Aku selalu berpikir bahwa dia akan selalu ada. Seperti
matahari yang terbit setiap pagi, seperti hujan di musim hujan. Aku tidak
pernah berpikir bahwa suatu hari, mungkin saja dia akan pergi.
Dan mungkin… aku terlambat menyadari sesuatu yang lebih
dalam dari sekadar persahabatan.
Tapi untuk saat ini, aku masih belum siap mengakuinya.
Karena bagi Raina yang dulu, Dimas hanyalah sahabat yang selalu ada.
BAB 2
Aku bukan orang yang terlalu peka. Tapi bahkan aku bisa
merasakan kalau ada yang berbeda dari Dimas.
Semuanya bermula beberapa bulan sebelum kelulusan. Awalnya,
aku hanya berpikir dia sedang sibuk. Mungkin tugas sekolah menumpuk, atau dia
mulai serius mempersiapkan ujian masuk universitas. Tapi lama-lama, aku
menyadari sesuatu—dia tidak lagi seperti dulu.
Dimas yang biasanya selalu menungguku di depan gerbang
sekolah sekarang sering pergi lebih dulu. Dimas yang biasanya selalu membalas
pesanku dengan cepat, kini sering hanya membaca tanpa membalas. Kalau dulu dia
selalu mendengarkan ceritaku dengan penuh perhatian, sekarang dia lebih sering
mengalihkan pandangan atau sekadar tersenyum tipis tanpa berkata banyak.
Aku tidak suka perasaan ini.
Aku mencoba mengabaikannya, mencoba berpikir bahwa aku hanya
terlalu berlebihan. Tapi semakin hari, aku semakin yakin bahwa ada sesuatu yang
salah.
“Aku ngerasa kamu berubah,” kataku suatu hari, saat kami
pulang bersama setelah les. Aku menatapnya, mencoba membaca ekspresinya.
Dimas hanya tertawa kecil. “Kamu aja yang kebanyakan mikir.”
“Enggak. Serius, Dim. Kamu kayak… mulai ngejauhin aku.”
Dia terdiam sejenak, lalu menatap lurus ke depan. “Gak ada
yang berubah, Rain.”
Aku ingin percaya padanya, tapi aku tahu itu bohong.
Dimas bukan tipe orang yang bisa menyembunyikan sesuatu
dariku. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa dia sedang berusaha menjauh,
seolah-olah ada sesuatu yang ingin dia simpan rapat-rapat dariku.
Dan aku benci itu.
Aku mencoba bertanya lagi beberapa kali, tapi jawabannya
selalu sama. Dia selalu bilang dia baik-baik saja. Tapi aku tahu dia tidak
baik-baik saja.
Aku mulai merasa takut. Takut kehilangan sesuatu yang selama
ini kuanggap pasti. Takut kehilangan seseorang yang selama ini selalu ada
untukku.
Tapi aku tidak tahu harus melakukan apa.
Jadi, aku hanya bisa menunggu. Menunggu Dimas untuk kembali
seperti dulu. Menunggu penjelasan yang mungkin tidak akan pernah datang.
Dan di tengah-tengah semua itu, aku tidak menyadari bahwa
perasaan di hatiku perlahan mulai berubah. Aku tidak sadar bahwa aku tidak
hanya takut kehilangan seorang sahabat. Aku takut kehilangan seseorang yang
ternyata jauh lebih penting dari itu.
BAB 3
Aku masih ingat hari pertama kami bertemu.
Waktu itu, aku terlambat masuk kelas di hari pertama MOS.
Aku buru-buru masuk ke dalam ruangan, tapi sialnya, kakiku justru tersandung di
depan pintu. Aku jatuh dengan sangat tidak elegan—tas terbuka, buku berserakan,
dan aku yakin pipiku sudah semerah tomat.
Semua orang menertawaiku, kecuali satu orang.
Dimas.
Dia yang pertama kali membungkuk dan mengulurkan tangannya.
“Gak apa-apa?” katanya dengan ekspresi yang sama sekali tidak menunjukkan kalau
dia ingin menahan tawa.
Sejak saat itu, entah bagaimana, kami menjadi dekat.
Kami mulai duduk bersebelahan di kelas, sering pulang
bareng, dan tanpa direncanakan, kebersamaan kami jadi kebiasaan yang sulit
dihilangkan.
Aku masih ingat ketika kami kabur dari upacara bendera
karena cuaca terlalu panas, dan akhirnya tertangkap guru BK. Atau saat kami
bertaruh siapa yang bisa mendapat nilai lebih tinggi di ujian Biologi—dan aku
kalah telak karena malas belajar.
Tapi di antara semua kenangan itu, ada satu momen yang
selalu teringat jelas di kepalaku.
Itu terjadi di tahun kedua SMA, saat ulang tahunku.
Aku tidak suka perayaan besar-besaran, jadi aku tidak
mengharapkan apa pun. Tapi malam itu, Dimas tiba-tiba muncul di depan
apartemenku. Dia berdiri di sana dengan membawa sesuatu yang aneh—sebuah boneka
beruang kecil dengan syal warna biru.
“Apa-apaan ini?” tanyaku heran.
Dimas hanya tersenyum. “Kamu sering bilang kamu kesepian di
rumah, kan? Jadi ini teman buat kamu.”
Aku tertawa, menganggap itu hanya lelucon. Tapi ketika aku
melihat ekspresi wajahnya yang serius, aku merasakan sesuatu yang aneh di
dadaku.
Sesuatu yang hangat.
Sesuatu yang… aku tidak tahu harus menyebutnya apa.
Aku masih ingat bagaimana aku memeluk boneka itu malam itu,
merasa bahwa ada seseorang yang benar-benar memikirkanku.
Sekarang, setiap kali aku melihat boneka itu di kamarku, aku
bertanya-tanya… apakah saat itu aku sudah mulai menyukainya? Apakah aku hanya
terlalu bodoh untuk menyadarinya lebih cepat?
Karena sekarang, saat dia mulai menjauh, aku baru sadar
betapa berartinya dia.
Dan aku takut semua kenangan ini hanya akan menjadi masa
lalu yang tak bisa kuhidupkan kembali.
BAB 4
Seharusnya aku tahu sejak awal bahwa Dimas menyembunyikan
sesuatu.
Seharusnya aku sadar dari caranya menghindari tatapanku,
dari caranya menghindari percakapan yang terlalu dalam, dari caranya tertawa
tetapi tidak benar-benar tersenyum.
Tapi aku terlalu sibuk menyangkalnya.
Hingga suatu hari, aku mendengar kabar itu dari orang lain.
“Eh, lo tau gak? Dimas keterima di universitas luar negeri.”
Aku berhenti melangkah. Seketika tubuhku terasa membeku.
Aku menoleh ke arah sahabatku, Lia, yang baru saja
mengucapkan kalimat itu dengan santai. “Apa?” tanyaku, berusaha memastikan aku
tidak salah dengar.
Lia mengangkat alis. “Lo belum tau? Dia keterima di
Australia. Katanya abis kelulusan langsung berangkat.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa.
Kenapa aku baru tahu? Kenapa Dimas tidak pernah
memberitahuku? Kenapa orang lain tahu lebih dulu dariku?
Aku menggenggam ponsel di tanganku, jempolku melayang di
atas layar, ingin mengirim pesan padanya, ingin bertanya langsung. Tapi aku
tidak tahu harus berkata apa.
Jadi aku memilih untuk bertemu langsung dengannya.
Sore itu, aku menunggunya di depan gerbang sekolah seperti
biasa—seperti dulu, saat dia masih menungguku setiap hari. Tapi saat dia keluar
dan melihatku, aku melihat ekspresi yang selama ini dia sembunyikan.
Bukan senang. Bukan terkejut. Tapi… bersalah.
Aku tidak membiarkannya menghindar kali ini. “Kita harus
ngomong.”
Dimas menatapku beberapa detik sebelum akhirnya menghela
napas. “Oke.”
Kami berjalan ke taman kecil di dekat sekolah, tempat yang
biasa kami datangi saat ingin mengobrol tanpa gangguan.
Aku menatapnya, mencoba menahan gejolak di dadaku. “Kenapa
lo gak pernah cerita soal kuliah lo?”
Dia diam. Tatapannya tertuju ke tanah, seolah-olah mencari
jawaban di sana.
“Dimas,” panggilku, suaraku lebih lirih dari yang
kuinginkan.
Akhirnya, dia mengangkat wajahnya. “Gue gak mau bikin lo
kepikiran.”
Aku tertawa kecil, tapi bukan karena lucu. “Lo serius? Lo
pikir gue gak akan peduli?”
Dia menggigit bibirnya, tampak ragu sebelum akhirnya
berkata, “Bukan gitu, Rain. Gue cuma… takut.”
“Takut apa?”
Dia menatapku lama, sebelum akhirnya berkata pelan, “Takut
kalau kita berubah.”
Aku merasakan sesuatu mencengkeram hatiku.
“Dimas…” aku mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Kita
udah berubah. Lo udah berubah.”
Dia mengalihkan pandangannya, lalu tersenyum kecil—senyum
yang sama seperti yang dia berikan setiap kali dia menyembunyikan sesuatu.
Saat itu, aku tahu.
Dimas akan pergi.
Dan aku mulai takut kalau aku benar-benar akan kehilangan
dia—bukan hanya sebagai sahabat, tapi sebagai seseorang yang selama ini
ternyata lebih dari itu.
Tapi apa pun yang aku rasakan, aku masih belum berani
mengakuinya.
Belum.
BAB 5
Hari perpisahan datang lebih cepat dari yang aku kira.
Lapangan sekolah dipenuhi wajah-wajah yang tertawa,
menangis, dan berfoto bersama. Seragam putih abu-abu yang biasa kami pakai kini
penuh coretan tanda tangan dan kata-kata perpisahan. Semua orang sibuk
menikmati momen terakhir mereka sebagai siswa SMA, tapi pikiranku hanya tertuju
pada satu hal.
Dimas.
Aku mencarinya di antara kerumunan, mataku menyapu setiap
sudut sekolah. Tapi dia tidak ada.
Aku mencoba menghubunginya, tapi pesanku hanya centang satu.
Aku mulai panik. Aku tidak bisa membiarkan hari ini berlalu
tanpa berbicara dengannya. Aku masih punya banyak hal yang ingin kukatakan.
Aku berlari ke tempat favorit kami di taman belakang
sekolah, berharap dia ada di sana.
Dan ternyata, dia memang ada.
Dimas duduk di bangku kayu, menatap lurus ke depan seakan
menunggu sesuatu. Atau mungkin… menunggu seseorang.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum berjalan mendekat.
“Kenapa lo di sini sendirian?” tanyaku.
Dia menoleh, lalu tersenyum kecil. “Gue cuma lagi
ngelihat-lihat sekolah untuk terakhir kalinya.”
Aku duduk di sampingnya. Untuk beberapa saat, tidak ada yang
berbicara. Yang terdengar hanyalah suara angin dan riuhnya perayaan di lapangan
sekolah.
Akhirnya, aku membuka suara. “Kenapa lo gak bilang lebih
awal kalau lo bakal pergi?”
Dimas menatapku, dan di matanya ada sesuatu yang selama ini
tidak pernah aku sadari—sesuatu yang dalam, sesuatu yang menahan. “Gue takut,
Rain.”
Aku mengernyit. “Takut apa?”
Dia menghela napas, lalu tersenyum pahit. “Takut lo bakal
berubah.”
Aku terdiam.
“Gue gak pernah cerita soal kuliah gue di luar negeri karena
gue gak mau lo ngelihat gue berbeda. Gue gak mau lo merasa harus menjauh karena
gue bakal pergi.”
Aku menggeleng. “Itu alasan yang bodoh, Dim. Kalau lo cerita
lebih awal, mungkin kita bisa menikmati waktu yang kita punya.”
Dia tertawa kecil. “Gue tau.”
Aku mengepalkan tangan di pangkuanku, merasakan jantungku
berdetak lebih cepat. Aku tidak bisa menahan ini lagi.
“Gue gak mau lo pergi.”
Dimas menoleh cepat, ekspresinya berubah.
Aku menggigit bibir, berusaha menahan air mata. “Gue baru
sadar… gue gak cuma takut kehilangan lo sebagai sahabat. Gue takut kehilangan
lo karena…” Aku menarik napas dalam-dalam, lalu berkata pelan, “…karena gue
sayang sama lo.”
Dimas menatapku lama. Aku bisa melihat bagaimana matanya
melembut, bagaimana bahunya menegang, bagaimana dia terlihat ingin mengatakan
sesuatu tapi menahannya.
Akhirnya, dia tersenyum.
Senyum yang tidak seperti biasanya. Senyum yang penuh rasa
sakit.
“Rain…” suaranya nyaris berbisik.
Aku tahu apa yang akan dia katakan bahkan sebelum dia
mengucapkannya.
“Gue juga sayang sama lo.”
Hatiku mencelos. Untuk sesaat, aku merasakan harapan. Tapi
kemudian, dia melanjutkan.
“Tapi gue tetap harus pergi.”
Dan saat itu, aku sadar.
Aku terlambat.
BAB 6
Aku tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang
belum pernah benar-benar kumiliki. Tapi saat itu, di taman sekolah yang hampir
sepi, aku merasakannya dengan sangat jelas.
Aku menatap Dimas, berharap dia bercanda, berharap dia akan
berkata bahwa dia bisa tinggal, bahwa semua ini hanyalah tes kecil untuk
menguji perasaanku. Tapi dia hanya menatapku balik dengan ekspresi yang sama
sekali tidak aku inginkan.
Sedih.
“Apa gak ada cara lain?” suaraku bergetar.
Dimas tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak mencapai
matanya. “Gue udah daftar dari lama, Rain. Dan gue keterima di universitas
impian gue. Gue gak bisa nyia-nyiain kesempatan ini.”
Aku menunduk, menggigit bibirku kuat-kuat untuk menahan
tangis yang mengancam keluar. Aku tidak ingin menangis di depannya. Aku tidak
ingin terlihat lemah. Tapi dada ini terlalu sesak, terlalu banyak yang ingin
aku katakan, terlalu banyak yang ingin aku ubah.
“Kalau lo emang sayang sama gue,” aku berkata pelan, “kenapa
lo gak bilang dari dulu?”
Dimas menghela napas. “Karena gue takut.”
Aku tertawa kecil, getir. “Lo takut apa?”
Dia menatap lurus ke depan, seolah sedang berbicara dengan
dirinya sendiri. “Takut kalau gue bilang lebih awal, kita jadi canggung. Takut
kalau lo gak ngerasain hal yang sama, kita malah menjauh. Gue lebih milih diam
dan tetep ada di samping lo sebagai sahabat, daripada kehilangan lo
sepenuhnya.”
Aku menggigit bibir, berusaha menelan semua emosi yang
bergemuruh di dalam dadaku. Aku ingin marah. Aku ingin berteriak padanya, ingin
mengatakan betapa bodohnya dia karena berpikir seperti itu.
Karena sekarang, aku yang kehilangan dia.
Aku yang harus menghadapi kenyataan bahwa aku mencintainya,
tapi dia akan pergi.
“Jadi… ini akhirnya?” aku bertanya, suaraku hampir tak
terdengar.
Dimas tersenyum tipis. “Bukan akhir, Rain. Hanya… bagian
dari perjalanan.”
Aku ingin mempercayainya. Aku ingin percaya bahwa ini
bukanlah perpisahan selamanya. Tapi aku tahu, hidup tidak pernah sebaik itu.
Akhirnya, aku hanya bisa mengangguk.
Aku menatapnya lama, mencoba menghafal setiap detail di
wajahnya—garis senyumnya, matanya yang selalu penuh kehangatan, cara dia
menatapku seolah aku adalah seseorang yang benar-benar berharga.
Lalu, tanpa berpikir panjang, aku melangkah maju dan
memeluknya.
Untuk pertama kalinya. Dan mungkin untuk terakhir kalinya.
Dimas terkejut sejenak, tapi kemudian aku merasakan
tangannya membalas pelukanku. Hangat. Nyaman. Tapi juga menyakitkan.
“Apa lo bakal lupa sama gue?” tanyaku pelan.
Dimas tertawa kecil. “Lo pikir bisa secepat itu?”
Aku menutup mata, mencoba menikmati momen ini meskipun aku
tahu bahwa waktu kami hampir habis.
Akhirnya, aku melepaskan pelukan itu dan menatapnya. “Kalau
suatu hari kita ketemu lagi…”
Dimas tersenyum. “Mungkin saat itu kita gak akan terlambat
lagi.”
Aku ingin percaya. Tapi saat aku melihatnya melangkah pergi,
aku sadar bahwa aku tidak tahu apakah aku akan pernah melihatnya lagi.
Dan itu adalah hal paling menyakitkan dari semuanya.
Aku terlambat. Tapi perasaanku tidak akan pernah berubah.
BAB 7
Sudah dua bulan sejak hari itu.
Dimas sudah pergi.
Aku masih sering membuka chat lama kami, membaca kembali
percakapan-percakapan yang dulu terasa biasa saja, tapi kini terasa begitu
berharga.
Aku masih menyimpan boneka beruang kecil dengan syal biru
yang pernah dia berikan untukku di ulang tahunku. Boneka itu kini duduk diam di
atas tempat tidurku, menjadi satu-satunya benda yang terasa paling dekat
dengannya.
Aku pikir setelah dia pergi, semuanya akan kembali normal.
Aku pikir, lama-lama aku akan terbiasa dengan ketidakhadirannya. Tapi aku
salah.
Setiap pulang sekolah, aku masih berharap dia ada di
gerbang, menungguku seperti dulu. Setiap ada hal lucu atau menyebalkan yang
terjadi, refleks pertamaku masih ingin mengirim pesan padanya—tapi kemudian aku
ingat, dia sudah di tempat lain, menjalani kehidupan barunya.
Aku merindukannya.
Lebih dari yang seharusnya.
Lebih dari yang bisa kujelaskan.
Tapi hidup terus berjalan. Aku sibuk mempersiapkan
universitas, bertemu teman-teman baru, mencoba menata kembali hariku tanpa
Dimas di dalamnya.
Aku tidak tahu apakah dia juga merindukanku seperti aku
merindukannya. Kami masih bertukar pesan sesekali, tapi rasanya tidak sama. Ada
jeda, ada jarak, ada sesuatu yang hilang.
Namun, satu hal yang aku tahu pasti—aku tidak menyesal telah
mengungkapkan perasaanku hari itu.
Karena meskipun kami tidak bisa bersama, setidaknya dia
tahu. Setidaknya, aku tidak akan menjalani hidup dengan bertanya-tanya,
“Bagaimana jika aku mengatakannya?”
Dimas pernah bilang bahwa ini bukan akhir, hanya bagian dari
perjalanan. Aku ingin percaya itu. Aku ingin percaya bahwa suatu hari nanti, di
waktu yang lebih baik, di tempat yang lebih tepat, kami akan bertemu lagi.
Dan mungkin saat itu, kami tidak akan terlambat lagi.
Untuk sekarang, aku hanya bisa menyimpannya dalam kenangan.
Karena cinta yang sesungguhnya tidak selalu harus dimiliki.
Kadang, cinta hanya perlu diingat.
Dan aku akan selalu mengingatnya.
Post a Comment for "Contoh Novel Genre Drama Sekolah: Cinta yang Terlambat"